TRIBUNJAMBI.COM - Awalnya, Asep Saputra merupakan tukang bakso keliling di Kabupaten Intan Jaya, Papua.
Tapi peristiwa pembacokan oleh KKB (kelompok kriminal bersenjata), membuatnya harus meninggalkan Tanah Papua untuk merantau Jambi.
Asep Saputra nyaris kehilangan nyawa akibat serangan KKB Papua di Intan Jaya, Papua.
Intan Jaya merupakan satu di antara daerah dengan kekerapan konflik bersenjata cukup tinggi.
Asep menjadi bagian dari program transmigrasi ke Papua pada masa pemerintahan Presiden Soeharto.
Dia dan keluarga, merintis kehidupan baru di buni Cenderawasih.
Peristiwa itu terjadi saat bulan Ramadan 2021.
Dengan tatapan mata nanar, Asep menceritakan kisah tiga tahun lalu itu kepada Tribunjambi.com.
Kala itu, Asep bekerja sebagai tukang bakso keliling di Intan Jaya, Papua.
Dia tiba-tiba diserang anggota KKB menggunakan senjata tajam.
Serangan itu hampir merenggut nyawanya.
"Waktu itu saya sedang bersiap untuk berjualan. Tiba-tiba saya diserang.
Tidak ada yang berani menolong karena mereka KKB."
Demikian Asep menceritakan kisah tiga tahun lalu itu kepada Tribun dengan tatapan nanar.
Sejumlah luka serius dialami Asep.
Kondisi itu membuatnya harus mendapat perawatan selama beberapa bulan.
Saat kondisinya belum sepenuhnya pulih, cobaan kembali menghampirinya.
Istri Asep, yang selalu merawat dengan iklas, meninggal dunia.
Asep semakin terpuruk dalam kesedihan mendalam.
Baca juga: 5 Berita Populer di Jambi, Kelanjutan Video Enak Yank yang Sempat Heboh
Dalam kondisi yang tertekan, Asep memutuskan meninggalkan Papua, kemudian merantau ke Jambi tiga tahun lalu.
Namun, kehidupannya di Jambi tidaklah mudah.
Dia mencoba membangun kembali kehidupannya di Kota Jambi.
Di Jambi, Asep mencoba berbagai pekerjaan, mulai dari membuka cucian motor hingga menjadi montir panggilan.
Tapi memang berat.
Kondisi kesehatannya yang belum pulih sepenuhnya, membuat Asep tidak bisa melakukan pekerjaan berat.
"Saya sudah tidak bisa bekerja berat lagi dan sering sakit. Jadi, kalau badan sehat baru saya ambil pekerjaan," tuturnya.
Asep tidak mematok harga untuk jasa montir panggilannya.
Suatu kali, dia memperbaiki beberapa alat elektronik di rumah seorang warga dari siang hingga malam, tetapi hanya diberi upah Rp15 ribu.
"Padahal kerjanya seharian," katanya sambil tertawa kecil.
Meski penghasilan yang diterimanya sering kali kecil, Asep tetap bersyukur.
"Kita syukuri saja. Buktinya masih bisa makan," tambahnya dengan logat Papua yang kental.
Di Langgar
Di luar pekerjaan, Asep mengabdikan diri sebagai imam di Langgar Ar-Rahman di Kelurahan Kenali Asam, Kecamatan Kota Baru, Jambi.
Selain menjadi imam, Asep juga mengajarkan anak-anak mengaji tanpa memungut biaya.
"Kita itu disuruh untuk belajar dan mengajarkan Alquran, bukan mencari uang dari Alquran," tegasnya.
Rindu Tanah Papua
Asep Saputra lahir di Jawa.
Dia menjadi bagian dari program transmigrasi ke Papua pada masa pemerintahan Presiden Soeharto.
Bersama keluarganya, ia merintis kehidupan baru di tanah Cenderawasih.
Meski sempat bertekad tidak ingin kembali ke Papua karena trauma, Asep mengaku mulai rindu terhadap tanah kelahirannya dan orang tua yang masih tinggal di sana.
"Awal dulu saya tidak ingin kembali ke Papua, rasanya sakit sekali.
Tapi sekarang ada rasa rindu, terutama kepada orang tua yang masih di sana," tuturnya menutup percakapan.
85 Kasus Setahun Kemarin
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Perwakilan Papua mencatat 85 kasus kekerasan yang terjadi di Papua dari 1 Januari-9 Desember 2024.
Ketua Komnas HAM Papua, Frits B Ramandey, mengatakan 85 kasus itu didominasi peristiwa kontak senjata dan penembakan (kontak tunggal).
Dari total kasus tersebut, terdapat 55 kasus penembakan, 14 kasus penganiayaan, 10 kasus perusakan, dan 6 kasus kerusuhan.
Peristiwa kekerasan itu menyebabkan lebih dari satu tindakan kekerasan di Papua.
Kabupaten Puncak tercatat sebagai daerah dengan jumlah kasus tertinggi, yaitu 13 kasus, diikuti oleh Kabupaten Intan Jaya dengan 11 kasus, serta Yahukimo dan Paniai masing-masing 10 kasus.
Kabupaten Puncak Jaya mencatat sembilan kasus, Pegunungan Bintang tujuh kasus, dan Nabire lima kasus.
Sementara Jayawijaya, Dogiyai, Mimika, dan Keerom masing-masing mencatat tiga kasus.
Di Kabupaten Nduga dan Maybrat dua kasus. Kemudian Lanny Jaya, Mamberamo Tengah, Manokwari, dan Kota Jayapura masing-masing satu kasus.
Akibat berbagai kasus kekerasan tersebut, ada 114 orang menjadi korban.
Terdiri dari 71 orang meninggal dan 43 orang luka-luka.
Dari jumlah tersebut, 68 orang merupakan warga sipil, dengan 40 orang meninggal dan 28 orang luka-luka.
Selain itu, 26 aparat keamanan juga menjadi korban, di mana 15 orang meninggal dan 11 orang luka-luka.
Terdapat pula 19 anggota Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat-Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM) yang menjadi korban, dengan 15 orang meninggal dan empat orang luka-luka, serta satu warga negara asing yang meninggal dunia.
Frits mewakili Komnas HAM Perwakilan Papua menyampaikan duka cita yang mendalam kepada seluruh keluarga korban yang meninggal, dan luka-luka akibat rentetan kekerasan yang terus terjadi.
Dia menekankan pentingnya perhatian dari semua pihak, terutama Pemerintah, untuk mengambil langkah-langkah strategis dalam mengakhiri atau meminimalisasi konflik kekerasan di Papua. (m yon rinaldi)
Baca juga: Dugaan Gratifikasi Penerimaan Honorer di Damkar dan Satpol PP Bungo, Kejari Minta Keterangan Saksi
Baca juga: Pendaftaran PPPK 2024 Tahap 2 Diperpanjang hingga 15 Januari 2025, Berikut Cara Mendaftarnya