Secara keseluruhan, jumlah penyaluran kredit infrastruktur Bank Mandiri naik signifikan sejak 2015 atau saat mulai efektifnya pemerintah Presiden Joko Widodo.
Total penyaluran pada 2018 sebesar Rp 182,3 triliun melonjak hingga 2,5 kali lipat dari hanya Rp 70,9 triliun pada 2015.
Adapun BNI menyalurkan Rp 110,6 triliun kepada proyek infrastruktur atau bertumbuh 11,4 persen secara tahunan.
Pertumbuhan secara tahunan tersebut juga melambat dibandingkan 2017 yakni 15,2 persen dan 2016 yang mencapai 30 persen.
Direktur Bisnis Korporasi Bank BNI Putrama Wahyu Setyawan menuturkan, penyaluran kredit infrastruktur masih akan menjadi prioritas walaupun sedikit melambat.
Bank BNI masih dalam penyaluran kredit ke jalan tol Jakarta-Cikampek II dan Yogyakarta-Solo, serta di sektor telekomunikasi.
Terkait risiko pemberian kredit, BNI tidak khawatir terhadap kesulitan pembayaran dari BUMN Karya.
Menurut Putrama, pihaknya selalu mengacu terhadap syarat kelayakan kredit. Tentunya juga menaati aturan OJK terkait BMPK sebesar 30 persen.
Salah satu syaratnya adalah rasio utang terhadap modal (debt to equity ratio/DER) yang sehat bagi perusahaan BUMN Karya.
“Syarat kelayakan lain seperti credit ratio, return, net present value,” pungkas Putrama.
Ekonom Center of Reform on Economics Piter Abdullah menegaskan, risiko penyaluran kredit infrastruktur yang ditanggung perbankan masih terukur.
Mereka masih cenderung aman karena aturan BMPK.
“Aturan BMPK merupakan cara efektif menjaga risiko kredit bank BUMN. Dengan itu, OJK memiliki rambu-rambu agar bank tidak terjebak dalam kredit infrastruktur yang bisa membahayakan. Jadi risikonya terhitung,” ucap Piter.
Menurut Piter, BUMN Karya perlu mulai mencari alternatif pembiayaan selain pinjaman dari bank.
“Bisa dengan banyak jalan seperti menerbitkan obligasi dan reksa dana,” sebutnya.
Sebelumnya, perbankan BUMN meminta relaksasi terhadap aturan BMPK karena terjadinya perlambatan kredit.
Namun, OJK menolak tegas itu. Aturan BMPK sudah diatur sedemikian rupa untuk menghindari risiko.
Ketua Dewan Komisioner OJK, Wimboh Santoso, mengatakan ruang penyaluran kredit memang mulai terbatas.
Hal itu disebabkan BMPK sebesar 30 persen dari modal kepada perusahaan BUMN hampir terpakai seluruhnya.
Terkait hal tersebut, Wimboh tidak akan melonggarkan peraturan tersebut.
Sebab, pelonggaran aturan dapat menimbulkan risiko bagi perbankan BUMN, sebagai penyalur kredit.
Peran swasta dibutuhkan
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Bambang PS Brodjonegoro, menuturkan pemerintah mempercepat pembangunan infrastruktur sejak 2014 sehingga penugasan BUMN diprioritaskan.
Hal itu karena BUMN menguasai aset-aset penting, seperti jalan tol, bandara dan pelabuhan.
“Ketika mereka membangun infrastruktur, kebutuhan pembiayaan dipenuhi dari berutang. Namun, yang penting struktur utang dalam koridor aman, sesuai kemampuan bayar dan bertenor jangka panjang,” kata Bambang.
Menurut Bambang, sejauh ini belum ada indikasi BUMN akan gagal bayar utang.
BUMN melakukan kalkulasi cukup cermat antara kebutuhan penarikan utang dan prospek keuntungan proyek.
Pemerintah juga memberi suntikan dana agar kesehatan keuangan BUMN terjaga kendati dibebani penugasan pembangunan sejumlah proyek.
Indonesia diperkirakan butuh dana sekitar Rp 5.500 triliun untuk pembangunan infastruktur pada 2014-2019.
Idealnya kebutuhan dana itu dialokasikan dari APBN sekitar Rp 2.300 triliun (42 persen), BUMN Rp 1.200 triliun (22 persen) dan swasta Rp 2.000 triliun (36 persen).
Namun, saat ini kebutuhan biaya infrastruktur masih dibebankan ke APBN dan BUMN.
Bambang mengatakan, kebutuhan pembiayan infrastruktur akan kembali meningkat pada 2020-2024 menjadi sekitar Rp 6.000 triliun.
Oleh karena itu, pemerintah berupaya mengurangi beban penugasan ke BUMN dengan mendorong keterlibatan swasta.
Salah satunya melalui kerja sama pemerintah dan badan usaha (KPBU) sebagai alternatif pembiayaan.
Sejatinya skema KPBU ada sejak tahun 2015 sesuai Peraturan Presiden Nomor 38 Tahun 2015 tentang KPBU dalam penyediaan infrastruktur.
Namun, menurut Bambang, implementasi KPBU cukup sulit karena proses lebih panjang ketimbang tender proyek APBN atau penugasan BUMN. Skema KPBU saat ini terus dievaluasi agar semakin diminati.
“Mulai tahun 2019 pemerintah daerah semakin berani menggunakan skema KPBU sehingga peran swasta bisa lebih besar,” kata Bambang. (kompas.com)
Subscribe Youtube
Siapa Sebenarnya Sripeni Inten Cahyani? Jokowi Marah dan Langsung Pergi dari Kantor PLN
Istri Tewas Terpanggang di Tangerang, Tragedi Pengantin Baru Korban Kebakaran saat Listrik Padam
Siap-siap, Mulai Hari Ini PLN Padamkan Listrik di Kerinci dan Sungai Penuh, Selama 2 Hari
Begal Naik Honda Jazz Ngebut Dikejar Polisi, Tembak-tembakan Lalu Bawa Kabur Mobil Polisi