Adapun utang PT Pembangunan Perumahan Tbk, PT Hutama Karya, PT Adhi Karya Tbk, dan PT Wijaya Karya Tbk, meningkat 3-4 kali lipat pada 2014-2018.
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Mohammad Faisal mengatakan, kinerja BUMN secara agregat terus membaik.
Hal itu dilihat dari sejumlah indikator, seperti peningkatan aset, kemampuan membayar utang atau liabilitas, pendapatan, dan laba tahun berjalan.
“Tetapi, beberapa BUMN, khususnya BUMN Karya yang fokus di sektor infrastruktur, kinerja keuangannya masih tetap riskan,” kata Faisal.
Hal itu mengacu pada kemampuan perusahaan BUMN membayar utangnya, dilihat dari indikator rasio utang terhadap ekuitas (debt to equity ratio/DER).
Sebagai contoh, pada 2018, DER PT Waskita Karya Tbk sebesar 3,53; PT Hutama Karya 3,22; PT Adhi Karya 1,34; PT Wijaya Karya 1,11, dan PT PP 0,72.
Pada 2014, DER PT Waskita Karya Tbk hanya sebesar 1,11; PT Hutama Karya 5,04; PT Adhi Karya 1,38; PT Wijaya Karya 0,78; dan PT PP 1,13.
Data itu diambil dari laporan keuangan masing-masing BUMN, yang dihimpun Lembaga Penyelidikan Ekomomi dan Masyarakat (LPEM) Universitas Indonesia.
“Kalau rasionya di atas dua atau tiga kali itu artinya kesehatan BUMN sudah mengkhawatirkan. Tetapi, pengecualian untuk BUMN perbankan,” tutur Faisal.
Kepala Pusat Kajian Ekonomi Makro LPEM Universitas Indonesia, Febrio Kacaribu, mengatakan peran swasta dalam pembangunan infrastruktur selama empat tahun nyaris tidak ada.
Hampir semua proyek dibangun BUMN sehingga utang mereka naik signifikan.
Meski demikian, penarikan utang masih dalam batas aman.
Selain itu, rasio rasio profitabilitas (Return on Equity/ROE) semua BUMN karya di atas 10 persen.
“Utang naik cukup tajam, tetapi digunakan untuk membangun proyek-proyek yang laku,” kata Febrio.
Peran swasta dalam pembangunan infrastruktur selama empat tahun nyaris tidak ada.