Human Interest Story

Juliana Perempuan Pertama Suku Anak Dalam Jambi yang Jadi Sarjana, Seri V

Juliana perempuan pertama dari komunitas Suku Anak Dalam (SAD) di dusun itu yang berhasil meraih gelar sarjana. 

Penulis: Khusnul Khotimah | Editor: asto s
Tribun Jambi/Khusnul Khotimah
Juliana, sarjana pertama dari Suku Anak Dalam di Dusun Dwi Karya Bhakti, Kabupaten Bungo, Provinsi Jambi. 

HAMPIR setahun lalu, 9 September 2024, Juliana lulus dai Universitas Muhammadiyah Jambi

Dia perempuan pertama dari Suku Anak Dalam yang meraih gelar sarjana.

Kini, dari Kabupaten Bungo, tepatnya di Dusun Dwi Karya Bhakti, sebuah cerita baru mulai ditulis. 

Bukan lagi tentang keterbelakangan, ketertinggalan, atau kesenjangan. Tapi tentang seorang perempuan muda yang menapaki jalan yang belum pernah dilalui siapa pun di komunitasnya.

Namanya Juliana

Dia perempuan pertama dari komunitas Suku Anak Dalam (SAD) di dusun itu yang berhasil meraih gelar sarjana. 

Sebuah pencapaian yang tidak hanya menjadi kebanggaan pribadi, tetapi juga simbol dari harapan baru bagi komunitas adat yang selama ini hidup di pinggiran sejarah pembangunan.

Lulus dari Universitas Muhammadiyah Kota Jambi, Juliana menjadi titik terang dalam ikhtiar panjang pemerintah Kabupaten Bungo untuk mendorong inklusi dan pemberdayaan masyarakat hukum adat.

“Saya tantang dia. Ayo Juliana, kita naikkan levelnya. Kita ingin dia bukan hanya selesai kuliah, tapi bisa menciptakan sesuatu yang bermanfaat bagi dusun dan kabupaten,” kata Iman Setiawan, Sekretaris Bappeda Kabupaten Bungo, Kamis (24/7/2025).

Dari Dusun Terpencil Menuju Kampus

Juliana lahir dan besar di tengah komunitas SAD yang sudah mulai berbaur dengan masyarakat umum. 

Namun, identitas budayanya tetap kuat. Hidup dalam lingkungan yang masih memegang adat istiadat, pendidikan bagi sebagian orang di komunitasnya masih dianggap sebagai hal sekunder, jika bukan kemewahan.

Namun Juliana menembus batas itu. Ia membuktikan bahwa menjadi bagian dari masyarakat adat bukan alasan untuk tak melangkah maju. 

Sebaliknya, ia menjadi wajah baru dari Suku Anak Dalam yang bisa berdiri sejajar dengan masyarakat lainnya, tanpa harus menanggalkan akar budaya.

Landasan Regulasi, Tantangan Implementasi

Secara regulasi, Kabupaten Bungo sudah memiliki Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2006 tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat. 

Perda ini menjadi pijakan hukum bagi upaya pembinaan komunitas adat, termasuk SAD.

Namun seperti banyak aturan di negeri ini, implementasinya belum sepenuhnya optimal. 
Pemerintah masih terus menyusun strategi, termasuk rencana baru berupa Perda tentang tata cara identifikasi dan verifikasi masyarakat adat yang masuk dalam program RPJMD.

Saat ini, terdapat sekitar 506 jiwa SAD yang tersebar di Bungo dalam 114 kepala keluarga. 
Sebagian besar telah memiliki KTP, namun tidak sedikit pula yang masih hidup berpindah-pindah. Situasi ini menyulitkan pendataan serta penyaluran bantuan sosial.

Lebih dari Bantuan: Mencari Kesinambungan

Iman Setiawan menegaskan bahwa dukungan pemerintah terhadap SAD tidak bisa bersifat karitatif semata. 

“Kalau kita terus mikirkan mereka tapi mereka tidak memberi manfaat balik, ya percuma. Harus ada kesinambungan,” ujarnya.

Karena itu, Bappeda menaruh harapan besar pada sosok seperti Juliana untuk menjadi penggerak. 

Bukan sekadar menjadi simbol, tapi juga agen perubahan di komunitasnya.

“Keberhasilan Juliana bukan hanya capaian pribadi, tapi bukti bahwa masyarakat adat bisa maju tanpa kehilangan jati dirinya,” ujar Iman.

Mendobrak Stigma, Membangun Citra

Di luar pendidikan dan infrastruktur, tantangan besar lain bagi komunitas SAD adalah stigma. 

Produk kerajinan atau makanan yang dibuat warga SAD masih kerap dipandang sebelah mata. Rasanya tidak dianggap, kualitasnya diragukan.

Menghadapi hal ini, Bappeda dan Dinas Sosial aktif mempromosikan produk komunitas SAD melalui berbagai acara dan pameran.

“Setiap ada acara kami selalu libatkan mereka. Tujuannya supaya produk mereka dikenal, dihargai, dan disukai oleh masyarakat luas,” kata Iman.

Langkah ini perlahan mulai mengubah cara pandang masyarakat terhadap komunitas SAD. Bahwa mereka bukan hanya bagian dari masa lalu, tetapi juga bagian dari masa depan.

Perempuan yang Menyala

Dusun Dwi Karya Bhakti yang dulu terpencil, kini mulai menggeliat. Pemerintah telah membeli lahan 6,8 hektare untuk permukiman tetap SAD sejak 2013. 

Dukungan demi dukungan terus mengalir, namun semuanya bergantung pada satu hal: keberanian untuk berubah.

Juliana telah memulainya. Ia berjalan di depan, menyentuh tanah yang pernah ditinggikan oleh adat, sekaligus menyentuh langit yang selama ini terasa terlalu jauh.

Baginya, pendidikan adalah pintu. Tapi bukan pintu keluar dari adat, melainkan pintu untuk kembali dengan kekuatan baru, membangun dari dalam.

Dan kini, dari Dusun Dwi Karya Bhakti, suara perempuan muda dari Suku Anak Dalam telah terdengar. Bukan hanya sebagai sarjana, tapi sebagai harapan. (khusnul khotimah)

Baca juga: Kisah Orang Rimba di Merangin Jambi Lepas dari Tuberkulosis, Seri III

Baca juga: Orang Rimba di Pelakar Jaya Kabupaten Merangin Mulai Beternak, Seri II

Sumber: Tribun Jambi
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved