Polemik di Papua
KONTAK Tembak Aparat Vs KKB Papua Buat Rakyat Takut dan Trauma, Peran Dewan Jayawijaya Disorot
Kontak tembak antara aparat keamanan TNI-Polri kontra KKB Papua di Kabupaten Jayawijaya, Papua Pegunungan menciptakan horor dan trauma bagi warga.
Penulis: Darwin Sijabat | Editor: Darwin Sijabat
TRIBUNJAMBI.COM - Insiden kontak tembak antara aparat keamanan TNI-Polri kontra Kelompok Kriminal Bersenjata atau KKB Papua di Kabupaten Jayawijaya, Papua Pegunungan menciptakan horor dan trauma mendalam bagi masyarakat sipil.
Di tengah krisis kemanusiaan yang terus mencekam, sorotan tajam dialamatkan kepada para pemangku kebijakan daerah.
Terutama Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Jayawijaya dan Majelis Rakyat Papua (MRP), yang dinilai pasif dan minim empati.
Kritik pedas ini dilontarkan oleh aktivis kemanusiaan Yefta Lengka.
Dia mengecam sikap abai Kepala Daerah, DPR Kabupaten, DPR Provinsi Papua Pegunungan, dan MRP.
Menurut Yefta, mereka terkesan tak acuh terhadap penderitaan rakyatnya.
"Psikologi masyarakat hancur. Mereka hidup dalam ketakutan di tanahnya sendiri, sementara pendatang beraktivitas seperti biasa,” ungkap Yefta, menggambarkan kondisi pilu masyarakat yang terpaksa mengungsi ke hutan dan pegunungan pasca-kontak senjata di Kampung Huseba, Distrik Maima, yang pecah sejak pertengahan Mei 2025.
Yefta menilai para wakil rakyat, yang seharusnya menjadi garda terdepan pembela kepentingan rakyat, justru belum menunjukkan aksi konkret.
Baca juga: SIMBOL Perdamaian Bupati Intan Jaya, Aner Maisini Bersujud di Ugimba, Ajak KKB Papua Bangun Negeri
Baca juga: ISRAEL Serang Iran Siang Bolong: Ledakan Berturut-turut, Diduga Buntut Penangkapan Agen Mossad
Baca juga: KUBU Jokowi Ngotot Tolak Tunjukkan Ijazah Asli, Yakup Hasibuan: Akan Meng-create Chaos
Ia mendesak agar mereka tidak hanya berdiam diri di balik meja, melainkan segera turun langsung ke lapangan untuk meredakan ketegangan dan menenangkan warga.
"DPR bukan dipilih oleh negara, bukan hasil aklamasi, tapi dipilih oleh rakyat untuk memperjuangkan kepentingan rakyat,” tegasnya, mengingatkan kembali esensi mandat para legislator.
Tak luput dari kritik, Yefta juga menyoroti peran MRP yang secara spesifik dibentuk untuk melindungi hak-hak Orang Asli Papua (OAP).
"MRP hadir karena sejarah perjuangan Papua. Lalu mengapa mereka diam ketika rakyatnya hidup dalam ketakutan dan trauma?” kritiknya pedas.
Selain kekerasan fisik, Yefta mengungkapkan bahwa para pembela HAM juga menjadi sasaran teror psikologis melalui media sosial dan "operasi senyap."
Ia menyebut manipulasi dan intimidasi oleh oknum tak bertanggung jawab telah memperparah keresahan masyarakat.
Menutup pernyataannya, Yefta mendesak DPR dan MRP Papua Pegunungan untuk segera membentuk tim investigasi independen.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.