Pakar Hukum Nilai Eks Bupati Tanah Bumbu Mardani Maming Tak Layak di Penjara : Putusan Atas Asumsi

Mantan Bupati Tanah Bumbu, Mardani H. Maming, sejatinya tidak layak dihukum dalam perkara korupsi yang menjeratnya. 

Editor: Suci Rahayu PK
Ist
Eksaminasi hukum yang digelar oleh Center for Law and Development Studies (CLDS) Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) menyoroti putusan hukum mantan Bupati Tanah Bumbu, Mardani H. Maming 

“Maming mengeluarkan izin sesuai dengan kewenangannya sebagai bupati. Semua prosedur diikuti dengan benar, dan tidak ada bukti penyalahgunaan wewenang. Ini adalah bukti bahwa dakwaan suap yang dialamatkan kepadanya tidak berdasar,” tegas Topo.

Lebih jauh, Topo juga mengkritisi narasi "kesepakatan diam-diam" yang dibangun oleh jaksa sebagai bukti suap. “Tidak ada istilah kesepakatan diam-diam dalam hukum pidana. Ini hanyalah asumsi yang dibuat jaksa tanpa dasar hukum yang jelas,” tambahnya.

Baca juga: Rekonstruksi Meninggalnya Tahanan di Sel Polsek Kumpeh Ilir, Rekon di Polsek Sei Gelam Muaro Jambi

Baca juga: Disabet Ekor Ikan Pari, Pembunuhan Juru Parkir di Medan oleh Satu Keluarga

Baca juga: 13.200 Orang Dapatkan Pemeriksaan Kesehatan Gratis BRI Peduli di Berbagai Wilayah di Indonesia

Putusan Berdasarkan Imajinasi, Bukan Bukti

Secara keseluruhan, para ahli hukum dalam diskusi eksaminasi ini menyimpulkan bahwa vonis terhadap Mardani Maming adalah hasil dari kesalahan penafsiran hukum yang serius. Tidak ada bukti kuat yang mendukung dakwaan suap, dan seluruh konstruksi kasus ini didasarkan pada asumsi dan imajinasi jaksa serta hakim. 

Bahkan, langkah-langkah yang diambil Maming selama menjadi Bupati Tanah Bumbu, terutama terkait perizinan tambang, sudah sesuai dengan kewenangan yang dimilikinya dan tidak melanggar hukum.

Kekhilafan Hakim yang Nyata: Haruskah Maming Dipenjara?

Putusan kasasi yang tetap memvonis Mardani H. Maming secara jelas menunjukkan adanya kekhilafan yang nyata di pihak majelis hakim. Kesimpulan yang diambil tidak didasarkan pada bukti yang sahih, tetapi pada interpretasi hukum yang keliru dan terburu-buru. 

Kesalahan ini tidak hanya berdampak pada Maming, tetapi juga mencerminkan bagaimana sistem hukum kita masih rentan terhadap kesalahan dalam menegakkan keadilan.

“Jika hukum hanya ditegakkan berdasarkan asumsi, bukan bukti, maka keadilan akan menjadi korban. Maming adalah contoh nyata bagaimana sistem hukum bisa salah dalam menjatuhkan vonis,” ujar Prof. Romli menutup argumennya.

Peninjauan Kembali Wajib Dilakukan

Melihat serangkaian kesalahan dalam proses hukum ini, para pakar hukum sepakat bahwa Peninjauan Kembali (PK) harus segera dilakukan untuk memperbaiki kesalahan fatal ini.

Maming tidak bersalah, dan ia tidak layak mendekam di penjara atas tuduhan yang dibangun di atas imajinasi, bukan bukti.

Kesimpulannya, vonis yang dijatuhkan kepada Mardani H. Maming adalah bentuk ketidakadilan yang harus segera dikoreksi. Jika keadilan ingin ditegakkan, putusan ini harus dibatalkan, dan Maming harus dibebaskan dari segala tuntutan.

Baca juga: Belasan Tahun Jadi Honorer di RSUD Raden Mattaher Jambi Tak Masuk Database BKN, Ini Penjelasannya

Baca juga: 13.200 Orang Dapatkan Pemeriksaan Kesehatan Gratis BRI Peduli di Berbagai Wilayah di Indonesia

Kasus Mardani Maming

Diketahui, pengadilan tingkat pertama sedianya telah memvonis Mardani Maming bersalah dan harus menjalani kehidupan di bui selama 10 tahun, serta denda Rp500 juta.

Halaman
123
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved