Opini

Tim Ekonomi Andalan Presiden Prabowo untuk Pertumbuhan 2 Digit

PRABOWO Subianto, Presiden RI 2024-2029 terpilih, ditantang oleh sejumlah menteri negara tetangga.

Istimewa
Tim Ekonomi Pertumbuhan 2 Digit 

Oleh: Antony Z Abidin

PRABOWO Subianto, Presiden RI 2024-2029 terpilih, ditantang oleh sejumlah menteri negara tetangga. Jika dalam 5 tahun pemerintahannya sekali saja pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 8 persen, mereka akan mentraktir makan malam. Jika terjadi sebaliknya, Prabowo Subianto-lah yang akan traktir.

Tantangan itu ditanggapi dengan enteng: setuju. Karena tantangan tersebut sudah menjadi obsesi yang internalized, mendarah daging dalam proses sosialisasi seorang putra begawan ekonomi dari keluarga pejuang. Leluhurnya, kakek, ayah, dan dua pamannya yang gugur dalam perjuangan kemerdekaan adalah pejuang sejati.

Pertumbuhan ekonomi yang ingin dicapainya adalah rata-rata 7 persen pada 5 tahun pertama dan periode 5 tahun berikutnya tumbuh 10 persen atau dua digit selama sepuluh tahun berturut-turut, seperti tertuang dalam buku karangannya “Paradoks Indonesia dan Solusinya” (cetakan pertama 2017, cetakan ketiga 2022).

Bagaimana Presiden ke-8 itu mewujudkan misi perjuangannya? Tentulah pertama-tama dengan menyusun Tim Ekonomi yang kuat dan tangguh. Acuannya tidak jauh dari apa yang dilakukan Pak Harto, mertua dan kakek putra tunggalnya Didit Hediprasetyo. Misalnya, Menteri Pertahanan Kabinet Pembangunan I (1968-1973) adalah langsung Presiden RI Jenderal Suharto. Jabatan itulah yang dipegang Prabowo Subianto ketika bergabung dalam pemerintahan Presiden Jokowi sampai ia terpilih menjadi presiden.

Role model Tim Ekonominya tidak akan jauh dari apa yang didesain Prof. Sumitro bersama mantan murid-muridnya. Ayahnya, yang pernah menduduki berbagai jabatan penting sepanjang tahun 50-an selain menjadi pendidik sebagai Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (1951-1957), berseberangan pendapat dengan Presiden Sukarno. Prof. Sumitro bersama Sjafrudin Prawiranegara, Letkol Ahmad Husein, dan lain-lain pada 15 Februari 1958 mendeklarasikan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI).

Setelah berakhirnya pemerintahan Sukarno, digantikan pemerintahan Orde Baru, Presiden Suharto memanggil Prof. Sumitro untuk menduduki jabatan Menteri Perdagangan pada Kabinet Pembangunan I (1968-1973). Pada saat yang sama, Prof. Widjojo Nitisastro, murid begawan ekonomi itu, menempati posisi Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional merangkap sebagai Ketua Bappenas.

Tim Ekonomi pemerintahan awal Orde Baru didominasi para ekonom UI, anak didik Prof. Sumitro ketika menjadi Dekan FEUI. Mereka adalah Widjojo Nitisastro, Ali Wardhana, M. Sadli, Emil Salim, dan Subroto yang ditempatkan sebagai menteri dalam Kabinet Pembangunan I. Prof. Sumitro bagaikan “Godfather” dari para muridnya yang sebelumnya melanjutkan studinya di University of California, Berkeley.

Sejak saat itu, pertumbuhan ekonomi Indonesia melaju. Tahun 1984, Indonesia dari pengimpor beras terbesar dunia mulai swasembada. Periode Widjojo menjadi Menko EKUIN 1973-1978 dan Menko EKUIN merangkap Ketua Bappenas 1978-1983, pertumbuhan ekonomi sangat cepat, di atas minimum 5 persen.

Pada tahun 1988-1991, produk domestik bruto (PDB) Indonesia tumbuh rata-rata 9 persen setiap tahun. Tahun 1991-1994 melambat rata-rata 7 persen, namun setelah itu meningkat lagi. Sampai datang bencana Krisis Keuangan Asia yang merambat ke Indonesia dengan puncaknya kejatuhan Orde Baru pada tahun 1998.

Prabowo Subianto mengecam resep IMF yang keliru ketika itu: menyerahkan rupiah ke mekanisme pasar, BUMN harus dijual, perdagangan luar negeri harus dibuka lebar, serta dukungan pemerintah dalam pengembangan industri strategis antara lain industri agro dan industri penerbangan harus dihentikan. “Setelah 1998, sebagai bangsa, kita melupakan jati diri kita. Kita tinggalkan pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945, kita tinggalkan ekonomi Pancasila” (Prabowo Subianto dalam buku Paradoks Indonesia).

Sebagai negara yang kaya dengan sumber daya alam dan sumber daya manusia namun sejak lama kekayaan itu mengalir deras ke luar negeri, mengakibatkan rakyat Indonesia setelah hampir 80 tahun merdeka masih tetap belum merdeka secara ekonomi. Bank Dunia menaksir kekayaan sumber daya alam Indonesia mencapai USD 1,5 triliun, sekitar Rp 22.000 triliun, terkaya ke-11 dunia dari sisi sumber daya alam.

Dulu kekayaan Indonesia dinikmati penjajah, sehingga VOC bisa menjadi perusahaan dengan nilai tertinggi di dunia. Sekarang, kekayaan Indonesia hanya dimiliki segelintir orang saja. Suatu paradoks, Indonesia hanya memiliki 1/3 dari cadangan devisa Singapura USD 370 miliar, negara kecil tetangga Indonesia yang tidak memiliki sumber daya alam. PDB per kapita Singapura USD 59.797 setara dengan Rp 70 juta per bulan. Sebaliknya, pendapatan rata-rata rakyat Indonesia hanya sekitar Rp 4,5 juta per bulan. Malaysia USD 10.401, sekitar Rp 12 juta per bulan.

Kondisi ini membuat Indonesia terancam dalam kondisi yang dinamakan “middle income trap,” perangkap hanya tetap pada status negara berpenghasil menengah, tidak bergerak maju. Indonesia menurut Prabowo Subianto harus segera mencapai pertumbuhan ekonomi dua digit, rata-rata 10 persen secara berkelanjutan. Hanya dengan pertumbuhan dua digit selama 10 tahun berturut-turut, yang diawali dengan pertumbuhan rata-rata 7 persen selama 5 tahun, Indonesia bisa keluar dari kondisi “middle income trap” tersebut.

Dengan fondasi ekonomi awal Orde Baru yang ditanamkan begawan ekonomi Prof. Sumitro Djojohadikusumo beserta murid-muridnya, di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto yang dimulai 20 Oktober 2024, ekonomi Indonesia diharapkan bisa tumbuh kembali dan bahkan dipacu maksimal.

Halaman
12
Sumber: Tribun Jambi
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved