Suara Transpuan Ikut Menentukan, Tapi Kehadirannya Diabaikan

Banyak transpuan atau waria di Indonesia menanggung berbagai persoalan sepanjang hidup

|
Penulis: HR Hendro Sandi | Editor: Heri Prihartono
istimewa
transpuan ikut Pemilu 

TRIBUNJAMBI, JAMBI - Banyak transpuan atau waria di Indonesia menanggung berbagai persoalan sepanjang hidup.

Mulai dari ditolak keluarga, tidak bisa mengakses pendidikan, tidak diterima bekerja, hingga harus sendirian di hari-hari terakhir hidupnya.

Transpuan juga tidak pernah masuk dalam kelompok rentan, hal itu menurut kriteria yang ditetapkan pemerintah. Karena itu banyak program-program bagi kelompok rentan, tidak menyentuh transpuan.

Kriteria kelompok masyarakat rentan ditemukan pada UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU No. 39). Dalam peraturan tersebut, kelompok rentan adalah orang lanjut usia, anak-anak, fakir miskin, wanita hamil, dan orang dengan disabilitas. UU No. 39 tidak memberi definisi atau keterangan lebih lanjut tentang kelompok rentan.

Di musim politik, transpuan juga kerap menjadi kelompok yang diasingkan dan kerap tak dianggap. Padahal, mereka juga memilik hak yang sama sebagai warga negara Indonesia. Bahkan beberapa kasus yang ditemukan di Jambi, transpuan memilih golput setiap kali Pemilu.

Hal itu pernah dialami Mia, bukan nama sebenarnya yang merupakan seorang transpuan warga Jambi, tepatnya di Kabupaten Tanjung Timur. Terlahir sebagai seorang pria pada 1988 lalu, Mia bersedia bercerita dengan terbuka dan bersahabat.

Ditemui di sebuah rumah kontrakan berdinding papan dan berlantai semen, dirinya mengaku pernah mengalami hal yang dianggapnya tak adil jika mendekati musim politik. Satu diantaranya adalah tak pernah diperhitungkan hak suaranya.

"Memilih dan tidak memilih sama saja. Karena tidak pernah dianggap tak ada yang mendorong untuk harus memilih ke TPS," ungkapnya.

Apalagi, sudah terbenam dalam pikirannya bahwa siapapun yang akan menjadi pemimpin dan wakil rakyat, tak akan merubah hidupnya dari permasalahan sosial yang dialami.

Seiring berjalannya waktu, Mia kini mengaku tak begitu mempersoalkan hal itu. Terlebih dia juga menjadi tak tertarik dengan dunia politik, dan tak banyak tahu nama-nama calon legislatif yang maju di 2024, kecuali calon-calon presiden.

"Taunya ada Angel Lelga yang nyalon di Jambi kan bang? Yang artis itu. Kalau presiden taulah, dan sudah ada sih pilihan sebenarnya," sebut Mia.

Meski demikian, Mia masih menyisakan ruang di dalam dirinya untuk mengambil peran dan berpartisipasi sebagai pemilih, pada Pemilu 2024 mendatang. Walaupun nantinya harus menempuh jarak 1,5 jam perjalanan dari Kota Jambi menuju Kota Sabak, tempat hak pilihnya sesuai KTP.

"Pulang ke daerah asal. Meskipun saya ngga terlalu punya harapan besar terhadap calon pemimpin tapi diusahakan akan nyoblos,” jelas Mia.

Di musim politik tahun ini, diakui Mia belum ada caleg yang mulai mendekati dan memberikan janji-janji untuk dipilih. Tapi dia mengaku pernah diberikan bantuan uang pada musim politik tahun-tahun sebelumnya.

Dia juga bercerita bahwa ada beberapa rekan sesama transpuan, yang dijanjikan sesuatu dari caleg. "Tapi itu beberapa tahun lalu bang. Banyak kawan sesama Waria cerita. Kalau saya sendiri belum pernah. Saya juga pernah golput. Karena waktu itu ngga tertarik milih siapa," ungkapnya.

Masalah-masalah ini adalah masalah yang dihadapi oleh transpuan yang kerap diabaikan dan selalu berulang. Jaminan akan keamanan ataupun mendapatkan jaminan kesehatan yang sama dengan warga negara lainnya, nampaknya tidak terasa bagi mereka.

Senada dengan seorang transpuan lain bernama Abai. Warga Palembang ini memiliki rambut panjang asli berwarna hitam sebahu, yang mengaku sudah cukup lama tinggal di Jambi. Dia sengaja merantau ke Jambi dengan kerja sampingan yakni bagian dekorasi di acara-acara pernikahan.

Tanpa segan, Abai mengaku adalah seorang transpuan bongkar pasang. Hal itu disebutkan untuk dirinya sendiri dengan artian tak selamanya berpakaian wanita. Karena pada siang hari, dia berpakaian dan gaya seorang pria tulen.

"Saya ini waria bongkar pasang bang. Jadi bukan seperti waria lain kan ada yang setiap hari sudah berdandan wanita dan pasang silikon. Kalau saya cuma malam aja yang dandan mirip wanita," kata Abai sambil tersenyum ramah.

Berbeda dengan Mia, Abai mengaku tidak tertarik dengan politik. Apalagi kata dia, tak ada caleg maupun calon pemimpin yang memiliki janji politik ingin memperhatikan kaum-kaum yang kerap menjadi korban diskriminasi seperti dirinya. Dia pun hampir memastikan tidak memberikan hak suaranya pada 2024 mendatang.

"Yang ada kami malah jadi bahan kampanye mau dibersihkan bang. Dan semakin jadi bahan diskriminasi masyarakat," ungkapnya.

Keselamatan, keamanan dan bullying yang tinggi menjadi pertimbangan kelompok transpuan dalam memberikan hak pilihnya pada pesta demokasi, sehingga golput atau tidak memilih menjadi pilihan mereka.

Abai mengaku punya rasa takut dan was-was saat Pemilu nanti, karena status gendernya sebagai transpuan. Akan banyak rundung dan cibiran yang didapat sebagai transpuan. Belum lagi ketika pandangan sinis orang-orang di TPS seakan menghakimi.

"Saya pemilu sebelum-sebelumnya pernah alami kejadian tak mengenakan di TPS. Saya pas di lokasi di soraki sama orang-orang. Padahal saya bukan penjahat. Ada juga yang seperti berkata-kata dengan candaan tapi itu pasti mengarah ke hinaan," ujarnya.

Terlebih lagi, maraknya konten-konten di media sosial yang kerap menyudutkan transpuan, hingga mengarah ke disinformasi membuat dirinya semakin tak percaya diri, untuk ikut berpartisipasi ke TPS. Label HIV dan penyakit lain yang biasa dituduhkan, menjadi bahan gunjingan yang paling sering didapat.

"Tak semua waria sama. Pernah ada saya baca di medsos bahwa waria itu identik dengan HIV, atau penyakit menular lainnya. Padahal tak semua begitu. Kami-kami waria juga ada yang sebenarnya bekerja halal tapi dibalik layar," kata dia.

Pria kelahiran 1990 ini berharap, negara bisa melihat sebagai warga negara, menghormati keberagaman, dan mensetarakan dengan identitas gender lainnya. Apalagi setiap warga negara dilindungi Undang-undang.

Koordinator Daerah Organisasi Perubahan Sosial Indonesia (OPSI) Jambi, Antoni mengatakan, transpuan yang disebutkannya Pekerja Seks Waria (PSW), memang rawan menjadi bahan politik jika sudah masuk ke musim Pemilu. Ada yang sekedar menjanjikan, namun ada juga yang menjurus pada diskriminasi untuk memperolah dukungan dari masyarakat yang benar-benar anti minoritas.

"Tentu rawan sekali. Kalau ditanya ada, pernah ada. Apalagi sampai mengancam hak hidupnya. Semisal janji saat kampanye akan membasmi waria, dengan membawa-bawa agama," kata Antoni, saat ditemui di sekretariat OPSI perwakilan Jambi, Kecamatan Telanaipura, Kota Jambi.

Saat ini, terdapat 30 orang transpuan yang tergabung di OPSI Jambi. Jumlah itu akan terus bertambah, mengingat terdapat ratusan lagi yang sudah diperiksa dan dicek kesehatannya, namun belum ikut bergabung.

Hingga saat ini, diakui Antoni sudah ada caleg-caleg yang berusaha mendekat dan berharap dukungan dari anggota OPSI, yang juga menaungi PSK. "Ada, tapi kami tidak bisa juga memberikan janji dan menerima sesuatu. Karena OPSI tidak boleh terlibat politik apalagi sampai memihak ke satu calon," katanya.

Kelompok minoritas, khususnya transpuan yang tergabung di OPSI, diakui Antoni banyak yang tidak lagi tertarik dengan politik. Termasuk ikut berpartisipasi dalam Pemilu. Satu diantara banyak alasan, adalah para transpuan kebanyakan berasal dari luar daerah, dan tidak bisa mencoblos sesuai dengan tempat dia tinggal saat ini.

"Kalau transpuan itu, kebanyakan bukan dari Kota Jambi asli. Mereka mayoritas dari daerah. Misal dari kabupaten-kabupaten yang merantau ke Jambi. Jadi mereka kadang tidak mau pulang kampung kalau cuma untuk nyoblos. Tapi bagaimana pun tidak ada alasan bagi kami pengurus OPSI Jambi menyarankan mereka untuk tetap menggunakan hak suaranya di Pemilu 2024 besok," ungkapnya.

Informasi yang diperoleh dari pemberitaan Kompas.id, pendataan berita media daring menunjukkan sebagian besar tidak berperspektif jender dan tidak melindungi hak kelompok LGBT. Pemberitaan itu berpotensi memperparah persekusi dan kekerasan terhadap LGBT.
Pemantauan dari Aliansi Jurnalis Independen Indonesia (AJI), Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (Sejuk), dan Arus Pelangi, organisasi non-pemerintah yang membela hak LGBT, memeriksa 113 berita di media daring berskala lokal dan nasional dengan kata kunci LGBT.

Hasilnya, 100 berita menunjukkan tidak berperspektif jender, lima netral, dan delapan berperspektif jender. Media sering mengutip pernyataan yang diskriminatif dari tokoh organisasi masyarakat sebanyak 35 kali serta komentar anggota DPRD 31 kali.

Media daring itu juga banyak menggunakan diksi yang mengandung stigma, seperti LGBT perilaku menyimpang sebanyak 29 kali, LGBT dilarang oleh agama 28 kali, dan LGBT melanggar norma susila atau budaya 13 kali.

Komnas HAM menyebutkan, kaum minoritas seperti transpuan yang masuk dalam kelompok LGBT, tetap harus mendapat perhatian khusus. Dikutip dari situs resminya, Komisioner Komnas HAM Pramono Ubaid Tanthowi mengatakan, setelah melakukan Pra Pemilu sejak April sampai Mei 2024, mendapati adanya seruan anti-LGBT yang berpotensi untuk menggaet suara.

Bahayanya, para kondidat yang mempolitisasi LGBT tak peduli dampak yang akan didapat oleh kelompok itu. Menurut Komnas HAM, mereka bisa menyebabkan kelompok tersebut mendapat diskriminasi dan persekusi yang lebih parah. Padahal mereka tetap punya hak yang sama.

Politisasi LGBT juga menyebabkan hak-hak mereka terancam, terutama hak politik. Kelompok LGBT merasa malu dan berkecil hati ketika datang ke TPS saat memilih. Komnas HAM berharap, pemerintah dan KPU harus memberikan perhatian khusus terkait hal tersebut.

Ketua Bawaslu Provinsi Jambi, Wein Arifin mengatakan, pihaknya sudah mengadakan ada beberapa sosialisasi di tengah masyarakat, dengan harapan kelompok minoritas secara umum, yang memiliki hak pilih untuk berpartisipasi dalam Pemilu 2024 ini. Apalagi mereka sesama warga negara Indonesia yang wajib diperhatikan sama dengan yang lain.
"Kita sudah melalukan sosialisasi terkait hal itu. Jadi tidak ada yang dibedakan. Kelompok minoritas seperti Waria juga sudah kita dorong agar ikut memilih nantinya," kata Wein Arifin.

Terkait adanya beberapa pengakuan dari PSK maupun Waria yang mengungkapkan lebih memilih golput, Wein minta agar pada pemilihan tahun 2024 ini, untuk menyampaikan haknya. Karena bisa jadi suara kelompok minoritas dapat menentukan seseorang terpilih menjadi anggota legislatif maupun presiden.

Memasuki tanggal pemilihan yang semakin dekat ini, belum ada laporan yang masuk ke Bawaslu menyangkut diskriminasi atau pun tekanan kepada kelompok minoritas di Jambi.

Menurut Wein, kaum transpuan juga harus diperhatikan dan jangan menjadi bahan politik. Hak mereka juga harus diakomodasi demi meningkatkan partisipasi di Pemilu 2024. Mereka juga dianjurkan menggunakan hak pilihnya sesuai dengan identitas di KTP yang dimiliki.

Wein meminta seluruh lapisan masyarakat mengawal dan menjaga keadilan pemilu, tidak terkecuali kelompok minoritas. Selain itu perlu untuk memberi motivasi mereka yang lain untuk berpartisipasi aktif dalam pelaksanaan Pemilu 2024.

“Peran penting kelompok minoritas seperti Waria dan lainnya dalam pengawasan partisipatif sangat dibutuhkan, sampai hari H pemilihan. Selain itu, saling memotivasi yang lain untuk berperan aktif dalam Pemilu 2024, sehingga jumlah partisipasi kelompok ini dapat meningkat,” katanya.

Sementara Fahrul Rozi mengatakan, pihaknya tidak membedakan antara kelompok minoritas maupun prioritas. Karena, menurut Anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi Jambi ini, mereka semua adalah warga negara Indonesia, memiliki hak yang sama di setiap pentas politik.
Apalagi, baik itu kelompok minoritas seperti Waria merupakan warga negara yang tercantum dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017, tentang Pemilihan Umum. Dalam UU itu disebutkan bahwa warga pemilih adalah warga negara Indonesia yang sudah genap berusia 17 tahun atau lebih, sudah kawin, atau sudah pernah kawin.

"Namun tetap ada prosedurnya, diataranya harus punya KTP elektronik dan datanya harus jelas. Jadi mereka bisa gunakan haknya jika sudah terdata. Jangan sampai ada yang tidak memilih. Tapi kalau secara data tidak ada, ya tidak bisa diakomodir," katanya.

Meski demikian, pihaknya hingga saat ini terus melakukan sosialisasi di tengah masyarakat. Seperti mengadakan forum-forum, menyebarkan melalui media sosial hingga sebaran berbentuk spanduk dan poster.

Dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) Provinsi Jambi, jumlah pemilih mencapai 2.676.107. Diantaranya ada 1.350.151 pemilih laki-laki, dan pemilih perempuan 1.325.956. Dari jumlah itu, KPU berharap partisipasi pemilih perempuan tahun ini meningkat mencapai 84-86 persen.

"Kalau tahun 2019 lalu, pemilih perempuan kan cuma 82 persen. Nah di tahun 2024 ini kita targetkan jadi 84-86 persen," sebutnya.

Dirinya berharap, tak ada pihak-pihak atau kelompok yang mendiskriminasikan kaum minoritas, seperti Waria di pemilu 2024. Karena tentu hal itu bisa menurunkan partisipasi mereka ke TPS. Informasi-informasi hoax dan menjurus ke disinformasi terhadap minoritas, diharap mantan anggota Bawaslu Provinsi Jambi ini tidak terjadi di Jambi.

"Sejauh ini belum ada, tapi tetap kita berharap mereka (kaum minoritas waria) tidak dibedakan, atau menjadi bahan kampanye caleg. Karena mereka memilihi hak yang sama untuk menentukan pilihannya," kata pria yang akrab di sapa Paul.

Dr. Nuraida Fitri Habi, Ketua Jaringan Demokrasi Indonesia (JADI) Provinsi Jambi menilai, penyelenggara Pemilu harus memiliki peran aktif dalam keadilan terhadap semua golongan termasuk kaum Minoritas. Tidak ada diskriminasi terhadap mereka, salah satunya adalah transpuan yang menjadi tanggungjawab penyelenggara Pemilu dalam hal ini KPU dan Bawaslu.

"Isu-isu seperti minoritas itu memang rawan ya, apalagi dijual dalam Pemilu dan dimanfaatkan. Tentu kita sebagai masyarakat juga harus bersama mengawasi itu. Para kontestan politik juga jangan sampai memanfaatkan mereka, termasuk politik identitas," ungkapnya.

Menurutnya, media pemberitaan hingga media sosial pun memiliki kewajiban ikut mengkampanyekan bahwa kelompok minoritas punya hak yang sama setiap musim politik. Tidak harus selalu disudutkan hingga membuat mereka tidak tertarik ikut serta dalam pesta demokrasi.

"Jadi mereka yang selama ini tidak pernah memilih, pada Pemilu kali ini ikut memilih dan tertarik ke TPS. Ajak mereka menggunakan hak suaranya," katanya.

Menurut wanita yang juga seorang dosen Fakultas Syariah di UIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi ini, tahapan kampanye merupakan tahapan yang paling rawan menyudutkan kaum minoritas. Karena para kontestan termasuk relawannya, bisa saja menjadikan minoritas tersebut menjadi bahan kampanye.

"Mereka bisa mengambil kesempatan untuk memojokan lawan politiknya, dengan memakai isu agama, berbau kebencian, hingga hoax. Karena seperti transpuan termasuk PSK itu mudah sekali menjadi korban. Yang jelas mereka juga punya hak yang sama untuk menentukan pilihannya di 2024 ini," katanya.

Baca juga: Bawaslu Tanjab Barat Ingatkan Peserta Pemilu Tidak Melakukan Money Politik Selama Pemilu

Baca juga: Bawaslu Tanjab Barat Ajak Masyarakat Awasi Pelanggaran Pemilu

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved