Resistansi Antibiotik atau Mubazir Obat-obatan: Pilih yang Mana?

Seringkali kita menyimpan parasetamol, obat pereda nyeri seperti asam mefenamat, obat pilek batuk, bahkan antibiotik.

Editor: Suci Rahayu PK
ist
Qonita Hansyahfanie Badar 

Mungkin kita tak jarang mendengar bahwa penderita TBC perlu mengonsumsi obat dalam jangka waktu yang panjang.

Penanganan yang tidak tepat dapat memperbesar resiko terjadinya resistansi Mycobacterium tuberculosis terhadap OAT (obat antituberkulosis), kasus resistansi ini disebut pula sebagai MDR-TB (multidrug resistance tuberculosis) apabila terjadi resistansi pada lebih dari satu jenis antimikroba.

Salah satu contoh jenis antibiotik yang digunakan dalam pengobatan TBC lini pertama adalah rifampisin. Antibiotik rifampisin merupakan senyawa antimikroba yang mengganggu metabolisme Mycobacterium tuberculosis dengan cara menghambat pembentukan protein oleh RNA polimerase.

Cara rifampisin bekerja inilah yang dianalogikan sebagai ‘senjata’ yang dimiliki oleh antimikroba.

Mycobacterium tuberculosis yang tetap bertahan walaupun pasien telah diberi pengobatan akan memperbanyak diri dengan sifat resisten terhadap rifampisin.

Akibat timbulnya resistansi ini, maka pasien menjadi tidak kunjung sembuh dan memerlukan konsultasi dengan dokter lebih lanjut agar dapat dilakukan pengobatan lanjutan menggunakan antibiotik dengan ‘senjata’ yang berbeda dengan yang rifampisin miliki, seperti halnya strategi perang yang memiliki berbagai macam rencana cadangan.

Selain TBC, masih banyak penyakit lainnya yang menjadi sulit ditangani akibat terjadi resistansi antimikroba pada patogen penginfeksi seperti misalnya pada kasus malaria di Papua[3], ataupun kasus resistansi terhadap antibiotik ciprofloxacin yang biasa digunakan dalam pengobatan infeksi saluran kemih[4].

Maraknya fenomena resistansi antimikroba ini tentunya merugikan mengingat biaya pengobatan dapat menjadi lebih mahal akibat pengobatan yang memerlukan diagnosis lebih lanjut agar dapat diresepkan obat yang sesuai.

Selain itu, tenaga medis menjadi perlu bekerja lebih dalam pengobatan infeksi tersebut, berhubungan pula dengan biaya yang perlu pasien bayar untuk mendapatkan perawatan maksimal.

Efektivitas perawatan kesehatan menjadi menurun akibat banyaknya prosedur medis yang tidak dapat dijalankan secara maksimal akibat terdapatnya resistansi, selain itu, infeksi oleh antimikroba yang resisten ini dapat menjadi masalah serius jika tersebar pada suatu populasi besar.

Dalam suatu studi kasus yang Siahaan et al.[4] lakukan, banyak tenaga medis yang mengaku bahwa pasien memaksa mereka untuk memberikan antibiotik agar mereka cepat sembuh.

Hal ini menjadi salah satu stigma serius yang perlu untuk diluruskan. Sebagai masyarakat, kita dapat mencegah penyebaran mikroba patogen yang resisten melalui pendekatan cermat.

Pencegahan tersebut dapat dilakukan dengan mematuhi anjuran dokter untuk menghabiskan antimikroba, ataupun tidak sembarangan mengonsumsi obat antimikroba tanpa melalui resep dokter. Tak lupa untuk rutin meminum antimikroba sesuai dengan anjuran dokter.

Agar tidak lupa, kita bisa meminta sanak saudara atau teman-teman kita untuk bantu mengingatkan.

Jadi, apakah menurutmu lebih baik kita mencegah terjadinya resistansi antimikroba atau masih menyayangkan antibiotik yang terbuang?

Halaman
1234
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved