Resistansi Antibiotik atau Mubazir Obat-obatan: Pilih yang Mana?

Seringkali kita menyimpan parasetamol, obat pereda nyeri seperti asam mefenamat, obat pilek batuk, bahkan antibiotik.

Editor: Suci Rahayu PK
ist
Qonita Hansyahfanie Badar 

Begitu pula halnya dengan antimikroba yang memiliki berbagai macam senyawa sebagai berbagai opsi 'senjata' untuk melawan berbagai mikroba patogenik yang menyebabkan penyakit di dalam tubuh manusia.

Sayangnya, banyak dari kita yang tidak mengerti bahwa perbedaan 'senjata' dalam setiap senyawa antimikroba dapat berakibat buruk apabila tidak dipergunakan secara tepat.

Apalagi jika antimikroba tersebut digunakan tanpa terlebih dahulu menerima anjuran dari dokter yang notabene merupakan seorang ahli dalam bidang kesehatan dan tentunya sangat mengerti tentang berbagai macam aturan dalam penggunaan obat-obatan medis.

Senyawa antimikroba dengan ‘senjata’ tersendiri akan menyerang mikroba patogen yang menyebabkan penyakit melalui konsumsi antibiotik atau antimikroba lainnya.

Kemudian, di dalam tubuh kita terjadi perang antara mikroba patogen dengan senyawa antimikroba yang masuk ke dalam tubuh.

Dokter menyuruh kita untuk mengonsumsi antibiotik sampai habis sebagai upaya agar senyawa antimikroba yang masuk ke dalam tubuh kita terus-menerus melawan sampai mikroba patogen akhirnya kewalahan dan mati secara tuntas.

Dalam peperangan, seseorang yang kuat tentunya akan bertahan hingga akhir perang dan hal inilah yang terjadi apabila antibiotik yang kita konsumsi tidak dihabiskan.

Mikroba patogen yang bertahan dari serangan oleh senyawa antimikroba tersebut merupakan mikroba yang cenderung tahan akan paparan antimikroba sehingga mereka akan berkembang biak dengan sifat kuat tersebut, menciptakan fenomena resistansi terhadap antimikroba.

Memang benar, terkadang walaupun antibiotik belum dihabiskan, gejala penyakit yang kita miliki sudah tidak ada sama sekali.

Tetapi, apakah kita bisa memastikan bahwa semua mikroba patogen tersebut sudah kalah tuntas? Tentunya tidak.

Sehingga, itulah yang menjadikan penghabisan antibiotik sampai benar-benar habis merupakan salah satu cara untuk mencegah terjadinya resistansi antimikroba.

Resistansi mikroba juga dapat menjadi berbahaya jika belum ada obat yang ditemukan untuk mengatasi masalah resistansi dan dapat berujung kematian.

Indonesia tercatat memiliki kasus yang bersangkutan dengan resistansi antimikroba cenderung lebih tinggi daripada negara lain di Asia Tenggara seperti India ataupun Bangladesh[2].

Ambillah salah satu contoh penyakit yang tak jarang kita dengar namanya yaitu TBC.

Penyakit TBC atau tuberkulosis merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi bakteri Mycobacterium tuberculosis dengan gejala umum berupa batuk hingga lebih dari tiga minggu yang disertai dengan dahak atau darah.

Halaman
1234
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved