Berita Internasional

YAKINNYA Beijing Bahwa Joe Biden Ingin Memulai Perang Usai Armada PLA China Usir Kapal Perang AS

Pertemuan kapal perang Amerika Serikat dan China kembali terjadi, kali ini armada laut Xi Jinping mengusir armada perang dari Joe Biden di wilayah

Editor: Andreas Eko Prasetyo
sosok.grid.id
China marah besar setelah tahu pesawat pengintai masuk wilayah Perairan Laut China Selatan. 

TRIBUNJAMBI.COM - Pertemuan kapal perang Amerika Serikat dan China kembali terjadi, kali ini armada laut Xi Jinping mengusir armada perang dari Joe Biden di wilayah Laut China Selatan.

Hal itu dilakukan oleh Tentara Pembebasan Rakyat China (PLA) yang mengusir kapal perang Amerika Serikat (AS) dari Xisha pada peringatan 5 tahun 'penguasaan' Laut China Selatan.

Pada hari Senin, (12/7/2021), juga menandai sebagai ulang tahun kelima dari apa yang disebut arbitrase Laut China Selatan.

AS pun mengalami pukulan langsung ketika mencoba membuat provokasi di Laut China Selatan.

Seperti dikutip dari Global Times, China juga menyebut bahwa sikap AS itu sepenuhnya sebagai “perusak stabilitas regional.”

Tanpa izin dari pemerintah China, kapal perusak rudal itu berpemandu AS USS Benfold secara ilegal masuk tanpa izin ke perairan teritorial yang diklaim China di Xisha pada hari Senin.

Ilustrasi Kapal China usir kapal AS
Ilustrasi Kapal China usir kapal AS (Xinhua)

Kolonel Senior Tian Junli yang juga  juru bicara komando, mengatakan dalam sebuah pernyataan yang dirilis pada hari yang sama bahwa Komando Teater Selatan Tentara Pembebasan Rakyat China (PLA) turut mengorganisir pasukan laut dan udara untuk melacak,memantaunya dan mengusirnya

Global Times juga menyebut Kepulauan Xisha merupakan wilayah yang melekat pada China.

Langkah militer AS itu secara serius dinilai melanggar kedaulatan dan keamanan China, merusak perdamaian dan stabilitas di Laut China Selatan, dan melanggar hukum internasional dan norma-norma hubungan internasional.

Tian turut menambahkan, ini juga menandai lebih banyak hal yang tak terbantahkan.

Bukti militerisasi AS di kawasan dengan hegemoni navigasi.

Zhang Junshe, seorang peneliti senior di PLA Naval Military Studies Research Institute turut mengatakan kepada Global Times pada hari Senin bahwa langkah AS menunjukkan bahwa pihaknya terus melakukan provokasi atas nama "kebebasan navigasi".

Dengan putusan arbitrase yang ilegal dan tidak sah, tetapi China pun menunjukkan tekad dan kemampuan yang kuat – bahkan lebih dari lima tahun yang lalu – dalam menjaga kedaulatan dan keamanannya.

Baca juga: VIDEO 24 Tahun Terpisah dari Anaknya, Pria di China Tempuh Perjalanan 500 Ribu Kilometer

Baca juga: Dunia Heran Lihat Jet Tempur Uzur China di Langit Taiwan, Tiongkok Disebut Punya Rencana Sangar Ini

Baca juga: MEMANASNYA Laut China Selatan Usai China Usir Kapal AS, Indonesia & Tetangga Lainnya Ikut Terseret

Laporan dari CNN menyebutkan, sebelum langkah provokatif itu, AS turut memperingatkan China bahwa pihaknya mendukung apa yang disebut keputusan Laut China Selatan dalam sebuah pernyataan yang menandai ulang tahun kelima keputusan yang menolak klaim teritorial China atas jalur air itu, yang berpihak pada Filipina.

Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken mengatakan pada hari Minggu (10/7) bahwa AS dapat meminta pakta pertahanan timbal balik AS-Filipina jika ada tindakan militer China terhadap “aset Filipina di wilayah tersebut.”

Chen Xiangmiao, asisten peneliti di Institut Nasional untuk Studi Laut China Selatan di Provinsi Hainan China Selatan, mengatakan bahwa "keputusan Arbitrase Laut China Selatan" lahir di bawah manipulasi politik oleh kekuatan Barat yang dipimpin AS dan berfungsi sebagai alat untuk menahan dan mencoreng China dengan kedok hukum internasional.

AS dan mitranya juga termasuk Jepang dan Kanada berusaha dengan menggambarkan China sebagai "perusak norma internasional dan multilateralisme" dan AS sebagai "pembela" dalam narasi mereka dengan meningkatkan keputusan di Laut China Selatan, kata Chen.

Zhao Lijian, juru bicara dari Kementerian Luar Negeri China, pada hari Senin turut mengecam AS karena pernyataannya mengabaikan fakta.

AS dinilai sudah melanggar dan menyimpangkan hukum internasional, bertentangan dengan komitmen publik lama pemerintah AS untuk tidak mengambil posisi dalam masalah kedaulatan di Laut China Selatan, memprovokasi sengketa di Laut China Selatan dengan sengaja, dan menghancurkan perdamaian dan stabilitas di kawasan itu, yang sangat tidak bertanggung jawab.

Adapun China turut mengklaim telah menganjurkan negosiasi dan konsultasi yang bersahabat untuk bisa menyelesaikan masalah Laut China Selatan, memperlakukan tetangga Laut China Selatan secara setara dan menahan diri secara maksimal ketika menjaga kedaulatan, hak, dan kepentingan kami di Laut China Selatan.

Baca juga: Mendukung Pencapaian Tujuan Berkelanjutan, UIN STS Jambi MoU dengan 4 Non-Govermental Organisation

Baca juga: VIDEO Jelang Hari Raya Idul Adha, Peternak Sapi di Tanjabbar Akui Sepi Pembeli

Baca juga: VIDEO 24 Tahun Terpisah dari Anaknya, Pria di China Tempuh Perjalanan 500 Ribu Kilometer

Sebaliknya, sejak awal tahun ini, pihak AS juga disebut Beijing telah melakukan pengintaian jarak dekat selama hampir 2.000 kali dan lebih dari 20 latihan militer skala besar di laut China Selatan.

"Ini memperlihatkan logika politik kekuasaan dan praktik hegemoniknya," ujar Zhao.

Serangkaian provokasi oleh AS itu terhadap masalah Laut China Selatan telah mengungkap bahwa AS sebenarnya adalah “perusak norma-norma internasional dan multilateralisme,” ujar Chen.

Selama lima tahun terakhir, hubungan antara China-Filipina telah mengalami perkembangan yang baik dan situasi di Laut China Selatan dinilai telah mengalami peningkatan yang stabil, yang tidak disebabkan oleh keputusan ilegal.

Tetapi Chen juga mencatat, kebijakan rasional pemerintah Filipina di Laut China Selatan dan konsensus yang dicapai dengan China untuk mengesampingkan keputusan tersebut dan tidak menganggap keputusan tersebut sebagai prasyarat untuk menangani masalah Laut China Selatan.

Bahkan dalam beberapa tahun terakhir, China dan Filipina juga telah meluncurkan kerja sama di industri perikanan, penegakan hukum kelautan, dan memerangi epidemi, kata Chen.

China dan negara-negara lain terkait di Laut China Selatan pun telah secara efektif mengelola perbedaan melalui dialog dan konsultasi, dan terus-menerus mempromosikan kerja sama praktis, kata Zhao.

Zhao turut menambahkan, China dan anggota ASEAN telah sepenuhnya dan efektif menerapkan Deklarasi tentang Perilaku Para Pihak di Laut China Selatan, dan membuat kemajuan penting dalam memajukan konsultasi tentang kode etik di Laut China Selatan.

Presiden Filipina, Rodrigo Duterte (AFP)
Presiden Filipina, Rodrigo Duterte (AFP) 

Namun, beberapa politisi Filipina ini mencoba menekan pemerintahan Duterte tentang masalah Laut China Selatan untuk keuntungan politik mereka sendiri, klaim Vhina.

Wakil Presiden Leni Robredo pada hari Senin turut mengecam pemerintahan Duterte karena kegagalannya untuk memanfaatkan “kemenangan arbitrase” Filipina melawan China lima tahun setelah keputusan itu, media Filipina melaporkan.

Chen pun mengatakan karena Robredo kemungkinan akan mencalonkan diri sebagai presiden, dia juga mencoba menciptakan citra publik bahwa dia berjuang untuk kepentingan nasional untuk memenangkan lebih banyak dukungan dalam pemilihan 2022.

Minoritas politisi di Filipina ingin mendapatkan dukungan pula dari kekuatan pro-AS dan anti-China terlepas dari kepentingan warga Filipina.

(*)

Berita lainnya seputar China

Berita lainnya seputar Amerika Serikat

SUMBER: SOSOK.ID

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved