Permohonan Uji Materi dari Gus Dur di MK soal UU Penodaan Agama Ditolak Mahfud MD, Ini Alasannya
Permohonan uji materi dari KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur di Mahkamah Konstitusi soal UU Penodaan Agama ditolak Mahfud MD, ini alasannya.
TRIBUNJAMBI.COM, JAKARTA - Permohonan uji materi dari KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur di Mahkamah Konstitusi soal UU Penodaan Agama ditolak Mahfud MD, ini alasannya.
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD menceritakan alasannya menolak permohonan uji materi dari almarhum KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan sejumlah lembaga swadaya masyarakat soal Undang-Undang Penetapan Presiden No.1 Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama.
Mahfud yang dahulu bertindak sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi pada sidang MK 19 April 2010 itu menilai, undang-undang itu dibuat untuk melindungi kepentingan umat beragama, terutama untuk kalangan minoritas.
Mahfud bercerita, pada waktu UU Penodaan Agama itu digugat karena pemohon berpandangan adanya diskriminasi terhadap agama minoritas dalam undang-undang tersebut.
Baca juga: Ada yang Janggal, Fadli Zon Minta Eksekutor Penembakan 6 Laskar FPI Pengawal MRS Tak Disembunyikan
"Waktu itu digugat ke MK, bunyi kalimat ini: 'kok, yang lain disebutkan, kok, yang lain dibiarkan?' Saya katakan, yang pertama secara hukum itu urusan bahasa yang dibuat oleh DPR, oleh Bung Karno-lah, pada tahun 1965," kata Mahfud.
Mahfud memandang undang-undang tersebut tidak menyalahi konstitusi Undang-Undang Dasar 1945 karena kata 'dibiarkan' pada kalimat 'selain agama yang diakui' itu berarti agama tersebut 'tidak diganggu' atau 'diberlakukan sama pembinaannya' dengan agama yang diakui negara.
"Kalau dibiarkan 'kan anggapannya diskriminatif, yang satu dibina, yang satu dibiarkan begitu. Saya bilang tidak. Sebenarnya dibiarkan artinya dilindungi yang agama-agama yang lain itu," kata Mahfud.
Ketua MK periode 2008—2013 itu kemudian mengusulkan agar pemohon dapat mengajukan perubahan bahasa kepada pihak yang mengesahkan undang-undang, yaitu DPR RI.
Baca juga: Berawal Tak Miliki Gedung, Perpustakaan Sumber Harapan Masuk Kategori Terbaik Nasional dari Jambi
"Diubahnya di DPR saja karena ini soal bahasa. Bukan soal substansi, begitu. Dan tidak ada yang salah dari itu," kata Mahfud pada forum yang membahas riset para profesor LIPI tentang Mewujudkan Harmoni dalam Kebinekaan: Masalah dan Solusinya tersebut.
Mahfud mengatakan bahwa bangsa Indonesia memiliki banyak agama dan aliran kepercayaan yang sama-sama berperan membangun kehidupan bermasyarakat yang harmonis di Indonesia.
Namun, adanya nilai-nilai yang berbeda di dalam agama dan aliran kepercayaan yang banyak itu harus terus ditata dengan asas berkeadilan oleh Negara agar keharmonisan bermasyarakat terus berjalan baik.
"Kunci keharmonisan itu, yaitu kita mau hidup bersama di dalam keberbedaan, dengan menyepakati tata nilai," kata Mahfud.
Baca juga: BLT Guru Honorer & Madrasah Cair Awal Desember, Cek Lewat Siagapendis.com & simpatika.kemenaga.go.id
Baca juga: Fokus Pendekatan Minat Baca, Perpustakaan Sumber Harapan Harumkan Nama Jambi di Nasional
Tata nilai yang kita angkat, kata Mahfud, kita ekstraksi dari berbagai perbedaan-perbedaan itu, kita angkat tata nilai yang kita sepakati bersama.
"Lalu itu yang kita sebut ideologi negara Pancasila," kata Mahfud.
Menurut Mahfud, Pancasila itu adalah bentuk penataan nilai-nilai yang masih bisa dikompromikan agar bisa disepakati oleh seluruh bangsa Indonesia.