Kisah Anggota Kopassus

Kisah Anggota Kopassus, Berpesan Bisa Survive Saat Berada di Hutan Walau Berbekal Pisau Komando

Setiap prajurit Kopassus, walau hanya bersenjata sebilah pisau komando, harus bisa memenangkan pertempuran.

Editor: Muuhammad Ferry Fadly
ist
anggota Kopassus 

TRIBUNJAMBI.COM - Nama Kolonel Moeng telah dikenal sejak pasukan elite TNI AD masih bernama Resimen Para Komando Angkatan Darat ( RPKAD).

Pada masa itu, pelatihan untuk anggota Para Komando dirintis.

Pada masa itu juga, terjadi perubahan warna baret Kopassus dari cokelat menjadi merah darah.

Perubahan warna baret Kopassus itu memiliki cerita tersendiri, di tengah kondisi Republik Indonesia yang masih berumur muda.

Baca juga: Kisah Anggota Kopassus, Mengalami Hal Aneh Saat Bertugas di Hutan Papua

Baca juga: Kisah Anggota Kopassus, Maju Sendirian Menerjang 300 Orang Milisi Fretilin

Baca juga: Kisah Anggota Kopassus, Prajurit Kopassus Ini Hidup Di Empat Zaman dan Disegani

Kolonel Moeng merupakan komandan yang terkenal keras dan disiplin. Dia dikenal gemar menerapkan hidup sederhana.

Moeng pernah menjabat sebagai Komandan RPKAD dengan pangkat letnan kolonel.

Pelantikkannya berlangsung di Manado, pada 3 Agustus 1958.

Kala itu Moeng Pahardimulyo langsung terjun ke medan operasi memimpin RTP 1 untuk merebut Kota Tondano.

Dalam masa kepemimpinan itu terjadi perubahan baret prajurit dari warna cokelat (seperti baret artileri) menjadi warna merah.

Pada masa Moeng juga, diciptakan pakaian pakaian dinas lapangan (PDL) loreng khusus "darah mengalir", mengantikan seragam PDL loreng lama yang digunakan prajurit para komando.

Siapa sebenarnya Moeng Pahardimulyo?

Pria ini memiliki prinsip yang sangat keras.

Setiap prajurit Kopassus, walau hanya bersenjata sebilah pisau komando, harus bisa memenangkan pertempuran.

Kolonel Moeng juga berpesan supaya pasukan khusus bisa survive ketika sedang berada di hutan selama berhari-hari hanya berbekal pisau komando.

Dalam soal survival, Kolonel Moeng memang bukan hanya bisa memberikan perintah. Dia langsung memberikan contoh nyata.

Para siswa kaget

Suatu kali, Kolonel Moeng melaksanakan inspeksi ke lokasi pendidikan siswa komando di Citatah, Bandung, Jawa Barat.

Dalam suatu latihan survival, siswa komando berhasil menangkap ular sanca.

Setelah dikuliti, ternyata terdapat sekira 20 telur di dalam perut ular sanca itu.

Telur sanca berbentuk untaian seperti batang rokok berderet memanjang itu masih terbungkus balutan lemak yang tebal.

Tak diduga, Kolonel Moeng lalu mengambil enam untaian telur sanca dan lemaknya, lalu menelannya mentah-mentah dalam sekejap.

Semua siswa komando dan para instrukturnya hanya bisa terbelalak melihat ‘keganasan’ Kolonel Moeng saat menelan untaian telur sanca.

Para siswa dan pelatih hanya bisa menjawab, ‘Siap...!’, ketika diperintahkan untuk menelan telur-telur sanca yang masih terbalut lemak dengan cara seperti dilakukan oleh Kolonel Moeng.

Jejak karier di RPKAD (Kopassus):

Danyonif Linud 305/Tengkorak (1949 - 1953)

Komandan RPKAD (1958 - 1964)

Pangkat terakhir: Mayor Jenderal TNI (Purn.)

Tempat tanggal lahir: Yogyakarta, 11 Januari 1925

Meninggal: Jakarta, 28 Desember 2012

Kisah tersebut pernah diulas Intisari yang mengambil sumber buku berjudul: Sintong Panjaitan Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando, Hendro Subroto, Penerbit Buku Kompas, 2009.

Anak didik yang berhasil

Letjen TNI (Purn) Sintong Hamonangan Panjaitan atau biasa dipanggil Sintong Panjaitan lahir di Sumatera Utara, 4 September 1940.

Minat Sintong pada bidang militer muncul saat berumur tujuh tahun.

Saat itu rumahnya kerap terkena bom pesawat P-51 Mustang Angkatan Udara Kerajaan Belanda.

Itulah yang membuat Sintong ingin masuk angkatan udara.

Sintong Panjaitan merupakan TNI lulusan Akademi Militee Nasional (kini Akademi Militer) tahun 1963.

Karier di bidang militer:

Penasihat Militer Presiden BJ Habibie

Sesdalopbang (Sekretaris Pengendalian Operasional Pembangunan)

Pangdam IX/Udayana

Danjen Kopassus

Pengalaman Sintong Panjaitan

Sintong Pandjaitan menerima 20 perintah operasi/penugasan di dalam dan luar negeri selama karier militernya. Dia pernah "tersandung" lantaran peristiwa Santa Cruz di Dili.

Pada 1969, Sintong dikutsertakan dalam upaya membujuk kepala-kepala suku di Irian Barat untuk memilih bergabung bersama Indonesia dalam Penentuan Pendapat Rakyat.

Berbagai prestasi Sintong di kesatuan khusus TNI-AD ini mengantarkannya ke kursi Komandan Kopassandha di periode 1985-1987, menggantikan Brigjen Wismoyo Arismunandar.

Sintong Panjaitan merupakan pemimpin Grup-1 Para Komando yang terjun dalam operasi pembebasan sandera saat pembajakan pesawat Garuda Indoensia DC-9 Woyla, pada 31 Maret 1981.

Saat itu pangkatnya letnan kolonel. Walaupun terdapat dua korban jiwa (satu pilot dan satu anggota Para Komando), operasi tersebut dinilai sukses oleh pemerintah Indonesia karena selamatnya seluruh awak dan penumpang pesawat yang lain.

Sintong Panjaitan dan timnya dianugerahi Bintang Sakti dan dinaikkan pangkatnya satu tingkat.

Ikuti kisah pasukan elite TNI AD Kopassus di tribunjambi.com. (*)

Baca juga: Apa Beda Koopssus dengan Kopassus? Viral Mobil Taktisnya Berhenti depan Markas FPI, Ini Kekuatannya

Baca juga: Kisah Anggota Kopassus, Korbankan Diri Demi Membela Ibu Pertiwi, Namun Tetap Cerdas Di Ujung Napas

Baca juga: Kisah Anggota Kopassus, Nyamar Jadi Mahasiswa yang Sedang KKN Dalam Jalani Misi

Sumber: Tribun Jambi
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved