Human Interest Story
Bian Merintih Perlahan dan Anaknya Terbangun, Kisah Orang Rimba yang Terpaksa Mencampo Adat
Dari pantulan kaca itu ia melihat bintik-bintik merah kecil, bentuknya seperti telur ikan. Paginya ibu empat anak itu bercerita ke Nek Sahar dan ...
Penulis: Dedy Nurdin | Editor: Edmundus Duanto AS
*Asa Jaminan Kesehatan Orang Rimba
KESEJUKAN udara masih terasa di bawah Sudong menjelang pagi di pertengahan 2015. Kicau burung bersahutan di antara rimbunan sawit milik Irwan di Desa Rejo Sari, Kecamatan Pamenang, Kabupaten Merangin.
Beberapa anak dan menantu Temenggung Sahar masih terlelap. Tak jauh dari sudung, asap masih mengepul mengikuti arah angin, mengusir nyamuk yang menggangu sejak malam.
Sayup-sayup terdengar rintihan Bian, istri Sahar yang menahan sakit sembari memegang pipi kanannya. Beberapa anaknya juga ikut terbangun.
Karena tak tahan dengan rasa sakit yang mengganggunya. Bian perlahan bangun, menyeka rambut lalu mencari kaca kecil. Dengan kaca itu ia mencoba melihat apa yang menyebabkan timbulnya rasa sakit di gusi kananya.

Dari pantulan kaca itu ia melihat bintik-bintik merah kecil, bentuknya seperti telur ikan. Paginya ibu empat anak itu bercerita ke Nek Sahar dan menantunya Runcing Merapo. Namun rasa sakit itu masih ia tahan.
Baca juga: Kisah Penjaga Rimba Terakhir Dalam Buku, Berkat Sepotong Ubi Rebus dan Jasa Gus Dur Bagi Orang Rimba
Ia sempat mengkonsumsi ramuan tradisional untuk mengobati rasa perih di mulutnya. Namun itu tak berpengaruh banyak. Beberapa ramuan sudah dicoba namun hasilnya tak berpengaruh banyak.
Bian enggan berobat keluar karena itu merupakan pantangan bagi adat orang Rimba, berobat keluar atau ke puskesmas sama dengan ‘mencampo’ atau membuang adat.
Hari-demi hari dilalui Bian untuk bertahan melawan sakit di mulutnya, sampai akhirnya ia terpaksa mencampo adat. Runcing Merapo dan beberapa keponakannya membawa wanita 45 tahun itu ke Puskesmas Pamenang.
Hasil pemeriksaan di Puskesmas, Bian hanya nengalami sariawan. Ia diberi obat sariawan dan vitamin. Sepulang dari sana, Runcing Merapo dan Bian merasa sedikit lega.
Apalagi setelah beberapa hari mengkonsumsi obat pemberian dokter Bian sudah bisa beraktivitas seperti biasanya. Namun, beberapa hari kemudian rasa sakit itu kembali muncul.
Ia juga diberikan ramuan herbal yang biasa digunakan Orang Rimba untuk mengobati penyakit demam. Kombinasi pengobatan ini dianggap cukup efektif. Beberapa saat rasa sakit reda namun terkadang kembali muncul.
Baca juga: Cita-cita Jarang dan Inam, Anak-anak Orang Rimba di Sarolangun Ingin Jadi TNI dan Polisi

Sementara, bintik merah di sekitar gusi dan pipi bagian dalam wanita paruh baya itu tak kunjung padam. Kondisi berlangsung selama hampir tiga tahun lamanya. Dalam ingatan Runcing, tiga kali ia bolak-balik mengantar ibu mertuanya ke Puskesmas Pamenang.
Ia dan anggota kelompoknya yang saat itu dipimpin Nek Sahar sebagai Temenggung beberapa kali membujuk Bian untuk dibawa ke Rumah sakit. Namun ia menolak, berat baginya berpisah dengan anak dan cucunya. Terlebih jika harus dirawat.
Bian mulai berubah tak lagi seperti biasanya yang cekatan mengurusi aktivitas di keluarga. Sehari-hari Bian lebih banyak berdiam diri, mengamati benjolan-benjolan kecil di gusinya yang terus berkembang.
Hari demi hari perjuangan Bian melawan penyakit aneh itu kian sulit, semua anggota kelompok Orang Rimba pimpinan Temenggung Sahar menaruh iba. Sosok yang selalu terlihat dengan senyum sewaktu-waktu terlihat meringis.
Sekitar bulan Juni tahun 2018, Bian tak kuasa lagi memasung rasa sakitnya. Bintik merah kecil itu sudah berubah menjadi benjolan di bagian bibir luar hingga ke pipinya. Rasa sakit yang ditimbulkan juga lebih kuat.
Pagi-pagi sekali dia meminta diantar ke Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Merangin. Permintaan itu disampaikan Sahar kepada fasilitator KKI Warsi di sana.
Selama tiga tahun terakhir Bian menolak dibawa ke rumah sakit. Kata Runcing, Bian termasuk Orang Rimba yang tidak begitu familiar dengan pergaulan dengan masyarakat luar.
Ia berat meninggalkan perkampungannya, apalagi harus berpisah dengan anggota keluarganya. Berobat di luar komunitas merupakan pantangan bagi Orang Rimba. Namun tak ada pilihan lain baginya.
Upaya membawa Bian berobat keluar juga bukan hal mudah. Kelompok Orang Rimba Temenggung Sahar belum terdaftar sebagai peserta penerima fasilitas kesehatan BPJS atau KIS.

Mereka juga belum memiliki KTP dan KK. Meski pemerintah Kabupaten Merangin sudah memberi fasilitas kesehatan gratis bagi Orang Rimba, untuk mendaftar harus menggunakan NIK (Nomor Induk KTP) atau KK.
Baca juga: Mengenal Sosok Tegas Mayjen TNI Dudung Abdurachman, Pernah Jadi Loper Koran Hingga Jualan Kue
“Harus ngurus itu dulu, setelah bolak-balik baru bisa ditangani di Rumahsakit Kabupaten,” kata Astrid Manurung, Fasilitator KKI WARSI di Pamenang, Minggu (25/10/2020).
Setelah semua persyaratan yang diminta pihak rumah sakit dilengkapi, Bian akhirnya bisa ditangani di sana. Dia sempat dirawat beberapa hari. Runcing Merapo, Temenggung Sahar dan beberapa keluarga lainnya juga ikut menemani Bian menginap di sana.
Hasil pemeriksaan dokter di RSUD Kolonel Abunjani Merangin, Bian didiagnosa mengidap kanker mulut. Selang tiga hari ia dirawat di sana, dokter menyarankan agar dirujuk ke Rumah Sakit Umum Raden Mattaher di Kota Jambi.
Tubuh Bian semakin lemas beriringan dengan kondisi kesehatan yang menurun digerogoti kanker. Dengan ditemani menantu dan keponakannya. Bian dibawa ke RSUD Raden Mattaher, pemeriksaan rumah sakit mempertegas hasil pemeriksaan awal bahwa ia mengidap kanker mulut.
Sekitar satu bulan lamanya dirawat di RSUD Raden Mattaher, Bian juga menjalani operasi penanganan kanker di mulutnya. kondisinya lumayan membaik setelah menjalani penanganan kesehatan khusus. Bian diperbolehkan pulang.
Satu tahun kemudian, rasa sakit itu kembali. Juni tahun 2019 lalu Bian dibawa kembali ke RSUD Raden Mattaher. Hasilnya tidak mengenakkan. Kanker mulut yang diderita Bian sudah berada pada stadium 4.
Dokter di RSUD Raden Mattaher menyarankan agar Bian dibawa ke Rumah Raskit Khusus yang menangani kanker di Jakarta.
“Pihak Rumah sakit di Jambi waktu itu menyarankan agar dirujuk ke Jakarta, Dokter spesialis Estetik menyarankan untuk dibawa ke Jakarta karena akan sulit mengganti wajah yang rusak karena kankernya,” kata Astrid Manurung.
Bian menolak untuk dirujuk ke Rumah Sakit Jakarta, anggota keluarga yang ikut menjaga di Rumah Sakit juga merasa berat. Pertimbangannya karena tidak adanya biaya dan fasilitas jaminan kesehatan. "Kalau bagi orang rimba ketika ada anggotanya yang sakit maka yang ikut menjaganya juga ramai. Dan ini butuh biaya juga keputusannya waktu itu Bian juga minta dibawa pulang," kata Astrid.
Dengan kondisi tubuh yang masih lemas, Bian pun dibawa pulang kembali. Di sana Bian menjalani tradisi Besesandingon, proses isolasi mandiri bagi orang sakit. Tradisi ini sudah turun temurun dijalankan orang rimba.

Jika ada penyebaran penyakit di Desa sekitar tempat tinggal, Orang Rimba melakukan Besesandingon. Menjaga jarak dari orang luar komunitas. Dan mengasingkan orang yang tertular penyakit di komunitasnya.
Baca juga: Benar Gisel? Polda Metro Jaya Rilis Forensik Wajah Pemeran di Video Syur 19 Detik Viral Hari Ini
Dengan kondisi kesehatan yang terus menurun, Bian diantar ke Rimbo untuk Besesandingon. Lokasinya hanya berjarak sekitar 3 kilometer. Tempat Bian Besesandingon dulunya hutan adat, namun kini berubah menjadi areal perkebunan Karet milik orang rimba kelompok ini.
Orang-orang transmigrasi di Desa Rejosari menamakan lokasi itu dengan areal A3. Lokasinya juga jauh dari pemukiman warga. Selama pengasingan, Bian menempati sesudungan kecil, ditemani anak perempuan bungsunya.
Hari-hari dilalui Bian dalam kesunyian ditemani si bungsu. Februari 2020, si bungsu terlihat keluar dari Rimbo menuju pemukiman kelompoknya. Tak ada kata yang ia sampaikan, orang-orang yang melihat kedatangannya seorang diri tahu kalau itu adalah isyarat.
Perjuangan Bian berakhir sudah, ia wafat dalam pengasingan melawan kanker yang dideritanya selama ini. Sosok penyang itu kini sudah beristirahat, jauh di alam yang tak kasat oleh mata. Runcing Merapu yakin, Mendingan kini bisa tersenyum tanpa rasa sakit lagi.
Kepergian mendiang Bian ternyata menyisakan kesedihan mendalam. Beberapa hari setelah kembalinya si Bungsu dari Rimbo A3, Sahar lebih banyak berdiam diri. Ia mengudurkan diri dari jabatannya sebagai temenggung di kelompoknya.
Sahar bukanlah temenggung pertama yang harus melepas jabatannya karena tak lagi bisa menjalankan perannya sebagai pemimpin kelompok. Roni adalah pemegang temenggung sebelum Sahar.
Ia harus melepas jabatannya karena tak lagi bisa menjalankan tugasnya. Kehilangan istri, mendiang Renun akbiat penyakit kanker mulut menyisakan rasa sedih yang teramat dalam.
Renun lebih dahulu meninggal dalam pengasingan akibat penyakit yang sama. Renun adalah adik dari mendiang Bian yang meninggal sekitar tahun 2015 lalu.

Ia meninggalkan anak-anaknya yang masih kecil. Renun meninggal menahan sakit tanpa sempat dibawa ke rumah sakit. Rasa kehilangan pendamping hidup akhirnya membuat depresi Roni hingga ketemengungannya harus digantikan Sahar kala itu. Kini Sahar digantikan oleh Minan sebagai Temenggung.
*Terdampak Dari Kerusakan Hutan*
Nek Musai (70), sesepuh di Kelompok Orang Rimba ini cukup heran dengan adanya penyakit yang dialami dua anggota Temenggung Minan selama hidupnya. Musai baru melihat ada penyakit seperti itu yang membuat dua kakak beradik Bian dan Renun meninggal.
"Kami dulu dak pernah ada meninggal karena penyakit macam ini. Paling sakitnya demam kuro (malaria), Mencret itu bae. Sekarang aneh- aneh penyakitnya," kata nek Musai.
Penyakit-penyakit aneh ini menurut Musai baru bermunculan sejak 20 tahun terakhir. Ketika ada anggota kelompok yang sakit biasanya hanya diberi ramuan yang diperoleh dalam hutan.
Baca juga: Ramalan Keberuntungan Shio Babi - Ramalan Shio 2021 di Tahun Kerbau Logam
Seperti pasak bumi untuk obat malaria atau akar beluru yang bisa ditemukan di dalam hutan. Tumbuhan ini hidup sebagai gulma di pepohonan besar, akarnya memilit di dahan pohon.
“Kulit Akar Beluru ini diambil dibersihkan baru disepah (kunyah) itu biasanya untuk obat mencret,” katanya.
Orang Rimba juga menggunakan batang terap sebagai obat, untuk pengolahannya cukup mudah. Bagian kulit batang pohon terap dikupas kemudian dipukul-pukul dengan kayu lalu direndam. Air rendaman ini yang diminum untuk berbagai penyakit.
Ada banyak jenis tanaman yang biasa dimanfaatkan untuk pengobatan. Namun, sebagian jenis tumbuhan obat tak bisa lagi ditemukan. Lokasi yang ia tempati bersama anak menantunya kini sudah berubah menjadi hamparan perkebunan Sawit.
Musai dan anggota kelompok Orang Rimba Temenggung Minan ini kini hidup menumpang di lahan sawit milik Warga Desa Rejo Sari bernama Iwan. Musai berkisah, jauh sebelum tumbuhnya sawit, mereka sudah tinggal di lokasi itu.
Bahkan Musai masih mengingat persis letak pohon-pohon besar yang ada di sana. setiap hari orang rimba riang gembira menjalani hidup. Gadung tumbuh dimana-mana sehingga untuk kebutuhan makan tidak sulit.
Orang Rimba juga tak perlu pergi jauh-jauh untuk berburu karena hewan buruan masih mudah ditemukan. Rotan dan rumabai melimpah untuk dijual ke warga desa.
“Daerah ini hutan lebat dulunya, kami sudah tinggal di sini jalan lintah bahkan masih jalan tanah. Beburu, ngambek rotan. Makanan melimpah, tanaman obat mudah dicari,” katanya.
Seiring dengan berubahnya lingkungan tempat tinggal ini juga mempengaruhi kemampuan Orang Rimba dalam meramu obat tradisional. Perubahan tersebut juga diduga berpengaruh membawa penyakit menular seperti hepatitis, hingga penyakit kronis lain seperti hipertensi dan kanker.
Berbagai penyakit baru yang ditemukan di kalangan orang rimba ini mulai terdeteksi sejak tahun 2010. Ketika Orang Rimba mulai berinteraksi dengan masyarakat terang. Lambat laun Orang Rimba mulai terpengaruh pola hidup dan konsumsi. Seperti penggunaan Monosodium Glutamat (MSG) untuk masakan.
Berkaca dari pengalaman, meski sudah ada jaminan kesehatan dari pemerintah Kabupaten Merangin, Astrid Manurung, fasilitator KKI WARSI di Pamenang menilai jaminan kesehatan bagi orang rimba merupakan kebutuhan yang dianggap paling penting. Terutama pada situasi pandemi Covid-19.
“Jaminan kesehatan bagi orang rimba untuk saat ini hanya berlaku di rumah sakit pemerintah. Namun tidak berlaku untuk Rujukan keluar daerah Jambi dan rumah sakit swasta,” katanya.
“Orang rimba juga rentan dengan kecelakaan kerja, seperti kasus tertembak saat berburu itu juga sering ditemukan. Belum lagi oknum nakal yang terkadang meminta biaya meski pemerintah sudah menyebut gratis, tetap saja ada biaya, seperti biaya sewa ambulans ketika mengantarkan mereka pulang,” katanya.
Baca juga: Wisata Arum Jeram Dibuka di Batang Asai, Bentuk Partisipasi Warga Kembangkan Daerah
Namun, Abdai selaku Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Merangin menjamin tidak pernah ada pungutan biaya pada orang rimba. Hingga kini, ia mengklaim belum mendapat laporan mengenai dua orang dari Kelompok Temenggung Minan yang meninggal akibat kanker.
Kendati begitu Abdai tak menampik upaya memberikan fasilitas kesehatan bagi orang rimba selama ini cukup sulit. Mengingat, masih banyak orang rimba yang aktif melangun, hidup berpindah-pindah tempat baik dari satu desa ke desa lain ataupun ke Kabupaten Sarolangun.
“Orang Rimba termasuk kelompok rentan terserang penyakit dengan pola hidup saat ini. Pemerintah baru bisa melakukan sosialsisasi pola hidup sehat melalui puskesmas setempat. Itupun kadang tim turun mereka tidak ditempat, sudah pindah,” kata Abdai.

Untuk menjadi peserta JKN baik BPJS maupun KIS, Orang Rimba harus didaftarkan terlebih dahulu. Baik secara pribadi maupun secara individu. ”Syaratnya harus memiliki NIK (Nomor Induk KTP) untuk terdaftar,” kata Rizki Lestari, Kepala Kantor BPJS Kesehatan Jambi, Jumat (13/11/2020).
Sebagai badan penyelenggara yang ditunjuk pemerintah pusat untuk memastikan penyelengaraan kesehatan berjalan, Rizki menilai Orang Rimba punya hak yang sama dengan masyarakat lainnya. Namun yang dijamin dalam Undang- Undang adalah peserta yang terdaftar.
Sementara untuk melakukan pendataan, itu di luar dari kewenangan BPJS. “Kita tidak punya kemenangan untuk mendata, pemerintah daerah yang semestinya mendaftarkan. Atau bisa juga secara individu,” pungkas Rizki.
Kepala Dinas Sosial Kabupaten Merangin Junaidi mengakui, sejauh ini memang belum dilakukan pendataan secara khusus. Ia beralasan timnya tengah dalam tahap pengerjaan validasi data. Catatan pada 2018 di Kabupaten Merangin menunjukkan, Orang Rimba atau yang juga dikenal sebagai Suku Anak Dalam terdata sebanyak 1.287 jiwa terdiri atas 353 Kepala Keluarga (KK).
Orang Rimba tersebar di enam dari 24 kecamatan Kabupaten Merangin. Yaitu Kecamatan Bangko, Bangko Barat, Pamenang, Renah Pamenang, Tabir Selatan dan Kecamatan Nalo Tantan. Meski sudah terdata, namun belum didaftarkan sebagai peserta JKN.
“Pendataan sudah dilakukan, Masih ada yang sedang diurus Kartu Identitasnya. Setelah semua selesai baru didaftarkan,” katanya.
*Orang Rimba Dalam Kepungan Penyakit*
Disamping ketidakpastian jaminan kesehatan, hidup para Orang Rimba rupanya juga dibayang-bayangi ancaman pelbagai penyakit. Hasil Penelitian Lembaga Biologi Molekuler (LBM) Eijkman bekerjasama dengan KKI WARSI pada 2016 menemukan prevalensi hepatitis B pada Orang Rimba dari jumlah keseluruhan orang yang sakit sebesar 33,9 persen, dengan kata lain, empat dari 10 Orang Rimba yang sakit disebabkan oleh Virus Hepatitis B.
Studi dilakukan dengan mengambil sampel darah Orang Rimba. Penderita tertinggi berada pada kelompok umur produktif. Yaitu 17 sampai dengan 55 tahun. Penelitian juga dilakukan untuk penyakit malaria dan enzim G6PD (Glukosa 6 Fosfat Dehidrogenase).
Hasil studi malaria pada Orang Rimba juga sangat tinggi. Dengan tingkat prevalensi mencapai 24 persen, hasil ini lebih tinggi dibandingkan dengan prevalensi malaria Provinsi Jambi di angka 0,84 persen dari 1000 penduduk.
“Dari penelitian itu menunjukkan kasus malaria pada Orang Rimba lebih tinggi dibandingkan masyarakat Provinsi Jambi lainnya,”kata Sukma Reni, Manajer Komunikasi KKI WARSI.
Di sisi lain, hutan yang ditempati bermukim kini berubah menjadi areal perkebunan. “Secara tradisi mereka tidak mengenal obat tradisional untuk penyakit baru ini. Dan pengetahuan tentang obat tradisional mulai berkurang karena mereka tidak lagi hidup di hutan,” katanya.
Pengaruh kerusakan lingkungan dan perubahan pola hidup cukup besar. Misalnya air bersih yang sulit didapat, kondisi lingkungan di kebun kelapa sawit berbeda dengan hutan.
Resapan air di kawasan perkebunan lebih rendah dibandingkan ketika masih hutan. Sehingga muncul banyak genangan air tempat berkembangnya jentik nyamuk malaria.
“Orang Rimba juga mulai berintegrasi dengan masyrakat desa. Mereka terpengaruh dengan pola konsumsi dan mereka disinggahi penyakit yang mereka tidak tahu pengobatannya seperti apa,” kata Reni.
Dengan tingkat kerentanan berbagai penyakit ini “Fasilitas kesehatan dan kemudahan akses layanan menjadi sangat penting bagi mereka,” katanya.
Putri Mushandri Pratami, Koordinator Proyek Peningkatan Layanan Kesehatan dan Pendidikan KKI WARSI menilai, harus ada perhatian khusus dari pemerintah dengan munculnya berbagai kasus penyakit pada Orang Rimba.
Wacana ditiadakannya Jamkesda di tingkat provinsi hingga kabupaten akan memunculkan persoalan baru. Jika program penjamin kesehatan ini di integrasikan ke BPJS Kesehatan ataupun KIS.
Sementara untuk menerima layanan dan fasilitas kesehatan ini, orang rimba harus memiliki Nomor Induk Kependudukan.
Baca juga: Edi Kaget Lihat Mayat Dicabik-cabik Biawak di Sungai Citanduy, Kondisi Sudah Hancur
Berdasarkan hasil pendataan yang dilakukan KKI WARSI sejak tahun 2018, jumlah populasi Orang Rimba di Provinsi Jambi mencapai 5.250 jiwa. Tersebar di empat kabupaten, yakni Kabupaten Sarolangun, Batanghari, Tebo dan Merangin.
Jumlah ini setara dengan populasi satu desa di Jambi, “Jika didaftarkan sebagai penerima fasilitas kesehatan rasanya tidak akan menyedot dana APBD yang besar,” katanya.
Namun menurut Putri di beberapa kabupaten sudah ada Orang Rimba yang terdaftar sebagai penerima KIS, seperti di Kabupaten Sarolangun jumlahnya mencapai 1.166, di Kabupaten Tebo 140 jiwa dan di Kabupaten Merangin melalui bank data terpadu NIK terdata 563 sudah memiliki KIS terutama di daerah Makekal.
“Kabupaten Batanghari setahu kita belum punya sama sekali, selama ini masih pakai Kartu Batanghari Sehat (KBS) dan Jamkesda. ini yang mau kita lakukan pedataan karena masih belum banyak yang punya KTP dan NIK,” kata Putri.
Baca juga: Ramalan Shio 2021 di Tahun Kerbau Logam - Shio Kerbau Perubahan Keberuntungan Besar
Baca juga: Ramalan Keberuntungan Shio Babi - Ramalan Shio 2021 di Tahun Kerbau Logam
WARSI mendorong pemerintah segera merapikan pendataan Kartu Identitas bagi Orang Rimba agar dapat terdata secara administratif. Hal ini akan memungkinkan Orang Rimba diakui oleh Negara sehingga mendapat jaminan layanan kesehatan, pendidikan hingga kehidupan sosial yang layak.
Pada akhirnya, lanjut Putri, perlindungan dan pemenuhan jaminan tersebut merupakan tanggung jawab Negara. (Dedy Nurdin)