Pilkada di Jambi

Kampanye Tatap Muka Masih jadi Andalan di Jambi pada Pandemi Covid-19, Begini Analisis Pengamat

Sosiolog Politik STISIP Nurdin Hamzah, Dr Pahrudin HM MA tidak menampik, cara berkampanye seperti itu masih efektif dilakukan di Indonesia, khsususnya

Tribunjambi/darwin
Pahrudin, Direktur Eksekutif Public Trust Institute (PUTIN) Jambi 

TRIBUNJAMBI.COM, JAMBI - Hingga kini, kampanye yang dilakukan calon kepala daerah di Provinsi Jambi sebagian besar masih dilakukan secara tradisional.

Pasangan calon kepala daerah, baik di tingkat provinsi mau pun kabupaten masih mengandalkan kampanye tatap muka dan langsung turun ke masyarakat.

Sosiolog Politik STISIP Nurdin Hamzah, Dr Pahrudin HM MA tidak menampik, cara berkampanye seperti itu masih efektif dilakukan di Indonesia, khsususnya di Provinsi Jambi.

"Dalam konteks Indonesia, khsusunya Jambi, yang secara infrastruktur komunikasi masih terbatas, kampanye dengan mendatangi konstituen memang lebih efektif," ulasnya, melalui sambungan seluler, Senin (26/10/2020).

Baca juga: Ini Jadwal Debat Tiga Paslon Bupati dan Wakil Bupati Tanjabbar

Baca juga: LINK LIVE STREAMING Pesparani 2020, Paduan Suara Gereja Katolik Se-Indonesia 28 Oktober-10 November

Baca juga: Seperti Kubangan Kerbau, Jalan Kabupaten Menuju Kota Muara Bungo Rusak Parah

Jika dibandingkan dengan kampanye secara daring, menurutnya, kampanye dengan cara tradisional ini mampu lebih memikat masyarakat.

Alasannya, karena calon kepala daerah yang menjumpai masyarakat dapat secara langsung mendengarkan apa yang menjadi aspirasi.

Apa lagi mengingat kondisi masyarakat di Provinsi Jambi yang tidak sepenuhnya melek teknologi dan media sosial.

Beberapa daerah pelosok justru hanya bisa dijangkau dengan didatangi secara langsung.

Bahkan situasi pandemi Covid-19 tidak menjadi pantangan dalam kampanye dengan tatap muka langsung.

Hanya saja, ada sejumlah tantangan yang harus dihadapi pasangan calon, di antaranya larangan mengumpulkan massa dalam jumlah banyak.

"Jadi yang dilakukan saat ini, tetap ada tatap muka, tapi dalam jumlah kecil. Itu cukup strategia untuk menyiasati larangan pengumpulan massa dalam jumlah banyak," jelasnya.

Sayangnya, itu juga menjadi beban dari sisi kandidat.

Alasannya, menurut akademisi ini, karena membutuhkan biaya yang lebih besar, waktu yang lebih banyak, hingga tenaga yang lebih terkuras.

Dikemukakan pengamat politik STISIP NH ini, karena tidak diizinkan mengumpulkan massa yang banyak, kandidat harus mendatangi kelompok-kelompok massa yang berkumpul dalam lingkup kecil di lokasi yang berbeda.

Hal itu memaksa, baik kandidat mau pun tim sukses, untuk bergerak lebih ekstra.

Halaman
12
Sumber: Tribun Jambi
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved