Aktivis KAMI Dipertontonkan dan Diborgol Saat Jumpa Pers, Politisi PAN: Memperburuk Citra Polisi

Perlakukan polisi pada aktivis KAMI hingga harus dipertontonkan dan diborgol dianggap keterlaluan seperti menghadapi koruptor atau teroris.

Editor: Rohmayana
ist
Deklarator KAMI, Anton Permana (tengah), Jumhur Hidayat (kiri), dan Syahganda Nainggolan (kanan), saat rilis pengungkapan kasus di Bareskrim Polri, Jakarta, Kamis (15/10/2020). 

TRIBUNJAMBI.COM, JAKARTA -- Perlakukan polisi pada aktivis KAMI hingga harus dipertontonkan dan diborgol dianggap keterlaluan seperti menghadapi koruptor atau teroris. 

Hal itu diungkapkan legislator PAN Guspardi Gaus menyoroti soal penangkapan sejumlah aktivis Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) oleh kepolisian terkait rangkaian aksi unjuk rasa Omnibus Law UU Cipta Kerja.

Aktivis KAMI yang dimaksud yakni Syahganda Nainggolan, Jumhur Hidayat, Anton Permana, dan lain-lainnya.

Baca juga: Detik-detik Pernikahan Taqy Malik-Sherel Thalib Sore Ini, Salmafina Sunan Posting Ayat di Alkitab

Baca juga: 3 Artis Tertangkap, Reza Alatas, Tio Pakusadewodan, NS Diduga Terjerat Narkoba, Ini Kronologinya

Baca juga: Nia Ramadhani Blak-blakan ke Mikhayla soal Ciuman Sama Pria Lain, Buat Sang Anak Sulung Jadi Heboh

"Perlakuan Mabes Polri terhadap mereka dalam kasus ini sangat tidak tepat dan "offside". Mereka itu bukan penjahat, bukan koruptor, bukan juga tahanan politik, apalagi teroris," kata Gaus dalam keterangan yang diterima Tribunnews, Minggu (18/10/2020).

Polisi sebagai pengayom masyarakat, dikatakan Gaus, seharusnya lebih bijaksana dalam mengambil tindakan dan menegakkan keadilan

"Kalau cara seperti ini memperlakukan para aktivis atau "mereka yang berbeda pendapat" seolah-olah penjahat dan dipertontonkan dimuka umum, tindakan itu di luar batas kepatutan, di mana acara konferensi pers tersebut diliput dan disiarkan oleh berbagai media dan ditonton oleh masyarakat luas," lanjutnya.

Pasalnya, Gaus mengatakan tindakan mempertontonkan para tersangka berbaju tahanan dan tangan yang terikat atau diborgol justru akan memperburuk citra korps kepolisian di mata publik, juga akan menimbulkan image hanya jadi alat kekuasaan.

"Meskipun para anggota KAMI tersebut telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan pelanggaran Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), sebaiknya mereka diperlakukan jangan seperti penjahat kriminal kelas berat," katanya.

tribunnews
Syahganda Nainggolan saat memprediksi pemerintahan Jokowi akan jatuh 6 bulan lagi. Video ditayangkan Februari namun hingga 6 bulan lebih, Jokowi masih presiden. (Reaktita TV)

Baca juga: Katalog Promo Hypermart Periode 16-19 Oktober 2020 Tawarkan Produk Elektronik Harga Hemat

Dia berharap kepolisian bisa menjadikan ini sebagai autokritik terhadap korp kepolisian agar bertindak lebih humanis.

"Jangan membuat citra Polri yang dicintai sebagai pengayom dan pelindung masyarakat jadi makin turun di mata masyarakat," kata anggota Komisi II DPR RI tersebut.

Seperti diketahui, ketiga aktivis diduga melanggar pasal tentang ujaran kebencian hingga hoaks di sosial media.

Dalam rilis yang diungkap Bareskrim Polri, Jumhur dipersoalkan karena menyebarkan ujaran kebencian terkait dengan Omnibus Law UU Cipta Kerja.

Salah satu cuitan yang dipersoalkan adalah tudingan regulasi itu titipan Tiongkok.

Sementara itu, Anton Permana diketahui menggunggah status yang menyebut NKRI sebagai Negara Kepolisian Republik Indonesia di akun sosial media Facebook dan YouTube pribadinya.

Baca juga: Penertiban Jam Malam di Bungo, Tempat Hiburan Langgar Aturan Langsung Disuruh Tutup

Selain itu, Anton juga menyebutkan omnibus law sebagai bukti negara telah dijajah. Dan juga regulasi itu menjadi bukti negara telah dikuasai oleh cukong.

Selanjutnya, Syahganda Nainggolan diduga menyebarkan gambar dan narasi yang tidak sesuai dengan kejadian di akun Twitternya.

Gambar yang disebarkan berkaitan dengan aksi unjuk rasa buruh menolak Omnibus Law.

Ketiganya kini masih mendekam di Rutan Bareskrim Polri, Jakarta Selatan.

Baca juga: Ibadah Umrah Telah Dibuka, 29 Jamaah Batanghari Menjadi Prioritas

Relawan pendukung Joko Widodo (Jokowi) mendukung langkah polisi menangkap para perusuh Undang-undang Cipta Kerja pada Kamis 8 Oktober 2020.

Ketua Relawan Jokowi Mania (JoMan) Immanuel Ebenezer (Noel) meminta aparat membongkar siapa dalang di balik aksi kerusuhan tersebut. 

“Kami mendukung sikap tegas kepolisian dalam menindak perusuh yang merusak dan mengganggu ketertiban umum."

Baca juga: Taqy Malik akan Nikahi Sherel Thalib, Sempat Menikah 3 Bulan dengan Salmafina Sunan lalu Bercerai

"Tapi ungkap juga dong sumber dananya, dari mana itu berasal dan siapa aktor intelektualnya. Kalau itu terjadi, baru jempol,” katanya saat dihubungi, Jumat (16/10/2020).

Meskipun demikian, Noel menyayangkan kepolisian menangkap sejumlah aktivis KAMI, yakni Jumhur Hidayat dan Syahganda Nainggolan.

Menurutnya, tidak perlu ada penangkapan terhadap para aktivis yang pro terhadap demokrasi, apabila hanya menyampaikan kritikan.

Baca juga: 15 Orang Pasien OTG di Muarojambi Dinyatakan Sembuh

“Kami sesalkan penangkapan para aktivis yang pro demokrasi, yakni Jumhur Hidayat dan Syahganda Nainggolan oleh aparat kepolisian,” tuturnya.

Agar UU Cipta Kerja ini tidak simpang siur, Noel meminta Presiden Jokowi bertemu dan berdiskusi dengan para aktivis mahasiswa, buruh, dan aktivis pro demokrasi.

Juga, menjelaskan maksud dari UU Cipta Kerja dan mengakomodir masukan dari akar rumput.

Baca juga: 15 Orang Pasien OTG di Muarojambi Dinyatakan Sembuh

“Apalagi, Pak Jokowi juga minta para aktivis 98 untuk mengkritisi kebijakannya agar benar-benar pro rakyat.

UU Omnibus Law ini baik untuk semua rakyat, tapi memang ada beberapa pasal yang perlu dikritisi supaya bisa mengakomodir semua kelompok."

"Kalau UU ini bisa mengakomodir untuk semua, pastinya baik untuk investasi,” paparnya.

Baca juga: Detik-detik Pernikahan Taqy Malik-Sherel Thalib Sore Ini, Salmafina Sunan Posting Ayat di Alkitab

Sebelumnya, Bareskrim Polri mengungkap alasan menciduk tiga deklarator Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI), yakni Syahganda Nainggolan, Jumhur Hidayat, dan Anton Permana.

Syahganda Nainggolan ditangkap karena cuitan di akun Twitter pribadinya.

Diduga, unggahan tersebut berisi konten berita bohong alias hoaks.

Kadiv Humas Polri Irjen Argo Yuwono menyebut Syahganda menyebarkan gambar dan narasi yang tidak sesuai kejadian di akun Twitternya.

Gambar yang disebarkan terkait aksi unjuk rasa buruh menolak Omnibus Law.

"Tersangka SN, dia menyampaikan ke Twitter-nya, yaitu salah satunya menolak Omnibus Law, mendukung demonstrasi buruh, belasungkawa demo buruh."

Baca juga: 15 Orang Pasien OTG di Muarojambi Dinyatakan Sembuh

"Modusnya ada foto, kemudian dikasih tulisan, keterangan tidak sama kejadiannya."

"Contohnya ini. Ini kejadian di Karawang, tapi ini gambarnya berbeda," kata Argo di Bareskrim Polri, Jakarta, Kamis (15/10/2020).

Argo mengatakan ada sejumlah gambar yang dibagikan oleh Syahganda tidak sesuai kejadiannya.

Menurutnya, motif tersangka membagikan gambar itu di sosial media, karena mendukung aksi buruh.

"Ada beberapa dijadikan barang bukti penyidik dalam pemeriksaan. Juga ada macam-macam, tulisan dan gambarnya berbeda."

"Dan motifnya mendukung dan men-support demonstran dengan berita tidak sesuai gambarnya," terangnya.

Syahganda dijerat pasal 28 ayat 2, 45A ayat 2 UU ITE, pasal 14 ayat 1 dan 2 dan pasal 15 UU 1/1946. Ancaman hukumannya 6 tahun penjara.

Jumhur Hidayat

Jumhur Hidayat ditangkap terkait ujaran kebencian melalui akun sosial media Twitter.

Kadiv Humas Polri Irjen Argo Yuwono menyampaikan, Jumhur diduga menyebarkan ujaran kebencian terkait Omnibus Law UU Cipta Kerja.

Salah satu cuitan yang dipersoalkan adalah tudingan regulasi itu titipan Tiongkok.

"Tersangka JH di akun twitternya menulis salah satunya UU memang untuk primitif."

"Investor dari RRT dan pengusaha rakus."

"Ada beberapa tweetnya. Ini salah satunya," papar Argo.

Menurutnya, unggahan tersebut diklaim menjadi pemicu adanya kerusuhan saat aksi demo tolak Omnibus Law UU Cipta Kerja di daerah.

Dia bilang ungkapan itu merupakan hasutan kepada masyarakat.

Ia juga menyampaikan unggahan itu disebutkan memuat berita bohong dan mengandung kebencian berdasarkan SARA.

"Akibatnya anarkis dan vandalisme dengan membuat kerusakan-kerusakan ini sudah kita tangani. Pola dari hasutan," jelasnya.

Dalam kasus ini, polisi menyita sejumlah barang bukti berupa handphone, KTP, harddisk, hingga akun Twitter milik Jumhur.

Polisi juga menyita spanduk, kaus hitam, kemeja, rompi, dan topi.

Jumhur Hidayat dijerat pasal 28 ayat 2 kita juncto pasal 45A ayat 2 UU 19/2016 tentang ITE, dan pasal 14 ayat 1 dan 2, dan pasal 15 UU 1/1946. Ancamannya hukumannya 10 tahun penjara.

Baca juga: Hanafi Rais Kecelakaan dan Mengalami Luka Berat, Mobil Mewahnya Terpental dan Tabrak Kendaraan Lain

Anton Permana

Anton Permana ditangkap karena unggahannya di sosial media Facebook dan YouTube pribadinya.

Dia melanggar pasal penyebaran informasi yang bersifat kebencian berdasarkan SARA.

Anton Permana menggunggah status yang menyebut NKRI sebagai Negara Kepolisian Republik Indonesia, di akun sosial media Facebook dan YouTube pribadinya.

Baca juga: Viral Mobil Mewah Kelewat Banyak hingga Jalan Penuh, Penghuni Rumah Ngamuk Digeruduk Puluhan Satpam

"Ini yang bersangkutan menuliskan di FB dan YouTube."

"Dia sampaikan di FB dan YouTube banyak sekali."

"Misalnya multifungsi Polri melebihi dwifungsi ABRI, NKRI jadi negara kepolisian republik Indonesia," papar Argo.

Baca juga: Mobil Ambulans Ditembaki Gas Air Mata Bukan Milik Pemprov DKI, Ini Penjelasan Ahmad Riza Patria

Anton Permana juga menggunggah status yang menyebutkan Omnibus Law sebagai bukti negara telah dijajah.

Selain itu, regulasi itu menjadi bukti negara telah dikuasai oleh cukong.

Menurutnya, unggahan itu sebagai bentuk penyebaran informasi bersifat kebencian dan SARA.

Baca juga: Razia di Tebo, Seratusan Orang Terjaring Karena Tidak Memakai Masker

"Disahkan UU Cipta Kerja bukti negara telah dijajah. Dan juga negara tak kuasa lindungi rakyatnya, negara dikuasai cukong, VOC gaya baru," beber Argo.

Dalam kasus ini, polisi menyita flashdisk, ponsel, laptop, dan dokumen-dokumen berisi screenshot dari media sosial.

Anton Permana dijerat pasal 45A ayat 2 juncto pasal 28 ayat 2 UU ITE serta Pasal 14 ayat 1 dan ayat 2 serta pasal 15 UU Peraturan Hukum Pidana Nomor 1 Tahun 1946 dan juga Pasal 207 KUHP. Dengan ancaman penjara 10 tahun. (Taufik Ismail)

Artikel ini telah tayang di Tribunnews.com dengan judul Dipertontonkan dengan Tangan Diborgol, Perlakuan Polri Terhadap Aktivis KAMI Dinilai Berlebihan, 

Artikel ini telah tayang di Wartakotalive dengan judul Aktivis KAMI Dipertontonkan Saat Jumpa Pers, Politisi PAN: Itu Akan Memperburuk Citra Polisi, 

Sumber: Warta Kota
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved