Rukka Sombolinggi: UU Omnibus Law Rampas Wilayah Adat di Tengah Ketidakpastian Pengesahan UU
Di tengah ketiadaan Undang-undang Masyarakat Adat, kondisi Masyarakat Adat saat ini seperti anak kecil yang baru lahir
1. Memang ada klausul yang menyatakan bahwa Ijin di atas wilayah adat baru bisa diberikan jika telah ada persetujuan antara Masyarakat Adat dan investasi. Tapi aturan ini tidak akan berjalan karena faktanya prosedur pengakuan Masyarakat Adat kembali diserahkan kepada kebijakan sektoral (KEMEN LHK, KEMAN ATR, KKP, KEMENDAGRI) yang berbelit- belit, sangat sektoral, dan saling mengeliminasi.
2. Dengan demikian, ketiadaan status hukum sebagai akibat dari tidak bekerjanya prosedur pengakuan itu akan berakibat pada perampasan wilayah adat secara massif untuk kepentingan investasi. Ini diatur misalnya di Pasal 22 (Isu Kelautan).
Anehnya, UU Omnibus Law hanya memberikan sanksi administrative bagi pemanfaatan usaha di Laut tanpa ijin usaha (Pasal 16A).
Meningkatkan Ancaman Kriminalisasi Terhadap Masyarakat Adat:
1. Di dalam Pasal 69, UU Cipta Kerja menghapus pengecualian bagi Masyarakat Adat untuk berladang dengan cara membakar sebagaimana sebelumhya telah diakui di dalam UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
2. Dari data yang dirilis oleh AMAN, bersama PPMAN dan YLBHI jumlah kasus kriminalisasi Masyarakat Adat sepanjang tahun 2019 saja, berjumlah 63 kasus. Mayoritas dikenakan Pasal 108 Jo 69 UU Nomor 41 Tahun 1999 terkait peladangan lokal, kebakaran hutan dan lahan. Artinya UU Cipta kerja dibangun tanpa mempertimbangkan hak asasi manusia Masyarakat Adat yang mana hak-hak itu telah diakui dalam berbagai instrument hukum nasional dan internasional.
UU Cipta Kerja Menggelar Karpet Merah Kepada Investasi:
1. Ijin HGU 90 tahun. Ini artinya wilayah adat yang dirampas hanya baru ada kemungkinan untuk kembali ke Masyarakat Adat setelah 90 tahun. Perlu hampir 2 generasi lamanya.
2. UU Cipta Kerja hanya memberikan sanksi administrative kepada dunia usaha yang melakukan usaha tanpa ijin usaha (Pasal 82A). Dunia usaha yang melanggar Perijinan berusaha dan persetujuan pemerintah hanya dikenakan sanksi administrative. Pendek kata, tidak ada sanksi pidana kepada dunia usaha yang melakukan usaha tanpa ijin atau yang melakukan pelanggaran terhadap ijin usahanya.
3. Pelaku usaha yang menggunakan (merampas) wilayah adat tanpa persetujuan Masyarakat Adat hanya diberikan sanksi administrative (tidak ada sanksi pidana). Ini diatur dalam Pasal 22 cluster Sistem Budidaya Pertanian.
UU Cipta Kerja Mengancam Kebijakan Perlindungan Masyarakat Adat yang telah Ada:
1. Selama ini telah banyak Perda di Kabupaten/Kota, Provinsi yang memberikan pengakuan terhadap Masyarakat Adat. Keberadaan berbagai Perda itu terancam dicabut oleh pemerintah melalui kewenangan yang diberikan oleh UU Cipta Kerja jika keberadaan Perda-perda tersebut menghambat kewenangan pemerintah pusat dalam merubah kawasan hutan menjadi kawasan usaha dan dengan alasan menghalangi investasi.
2. Selain itu, kewenangan Pemerintah Daerah dalam memberikan ijin juga dihapus. Ini artinya ruang pengawasan masyarakat terhadap proses perijinan semakin tertutup. Juga prinsip partisipasi masyarakat dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan menjadi tertutup.
3. Selain itu kewenangan untuk mencabut Perda ini pun bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan bahwa pencabutan perda dan PP harus dilakukan dengan putusan Mahkamah Agung.
UU Cipta Kerja Menghabisi Pekerjaan Tradisional Masyarakat adat:
1. UU Cipta Kerja ini juga berbahaya bagi Masyarakat Adat yang menjalankan pekerjaan tradisionalnya. Hal ini terjadi karena UU Cipta Kerja secara umum mengatur kemudahan berinvestasi salah satunya melalui penyederhaan perijinan. Sementara di sisi lain proses pengakuan Masyarakat Adat masih diserahkan kepada kebijakan sektoral yang berbelit belit dan saling mengeliminasi.
2. Di tengah ketidakjelasan instrumen pengakuan masyarakat adat, maka penyederhaan ijin untuk investasi sama saja dengan mempercepat penghilangan pekerjaan tradisional Masyarakat Adat dan secara umum mempercepat hilangnya penguasaan dan hak Masyarakat Adat atas ruang hidupnya. Padahal pekerjaan tradisional ini adalah salah satu hak yang diakui oleh Konvensi ILO 111 yang juga telah diratifikasi oleh Negara Indonesia. (*)
• Ramalan Zodiak Tentang Cinta, Aries Tidak Menemukan Masalah yang Serius
• Mengenal Sosok Sofyan Djalil Pencetus Omnibus Law, Disebut Luhut Menteri Semua Zaman
• 9 Fraksi di DPRD Kabupaten Merangin Sepakat Tolak UU Omnibus Law