Rukka Sombolinggi: UU Omnibus Law Rampas Wilayah Adat di Tengah Ketidakpastian Pengesahan UU
Di tengah ketiadaan Undang-undang Masyarakat Adat, kondisi Masyarakat Adat saat ini seperti anak kecil yang baru lahir
Rukka Sombolinggi: UU Omnibus Law Rampas Wilayah Adat di Tengah Ketidakpastian Pengesahan UU Masyarakat Adat
TRIBUNJAMBI.COM - Di tengah ketiadaan Undang-undang Masyarakat Adat, kondisi Masyarakat Adat saat ini seperti anak kecil yang baru lahir.
Tanpa sehelaipun perlindungan dari serbuan investor yang menginvansi wilayah Adat.
RUU Masyarakat Adat dan RUU Omnibus Law sebelum disahkan menjadi UU sama-sama masuk dalam program legislasi nasional tahun ini.
RUU Masyarakat Adat sudah dua periode DPR RI dibahas, namun gagal sampai tahap pengesahan.
Sedangkan RUU Omnibus Law dibuat dengan sangat cepat bahkan dinilai tergesah-gesah dalam pengesahannya, sehingga menimbulkan banyak kontroversi.
• Sinopsis Record of Youth Episode 10, Hye Jun Diminta Menjadi Saksi Kematian Charlie Jung
• Pose Seksi Amanda Manopo di Ranjang Mendadak Heboh, Pacar Billy Emosi Dikaitkan Prostitusi Online
• Punggung Tangannya Berurat, Lee Do Hyun Ungkap Cara Instannya Demi Keperluan Syuting 18 Again
Undang-Undang Omnibus Law memang sudah disahkan, namun tidak memiliki legitimasi karena dibuat tanpa partisipasi Masyarakat Adat serta bertentangan dengan mandat Konstitusi Negara Republik Indonesia.
Sekjen AMAN, Rukka Sombolinggi mengatakan “Undang- undang Omnibus Law yang baru disahkan, tidak hanya bicara soal urusan tenaga kerja, tapi juga memastikan investor untuk lebih leluasa masuk dan merampas wilayah adat dan diberikan karpet merah ditengah ketidakpastian kapan Undang-undang Masyarakat Adat disahkan”.
Dari sisi proses maupun isinya, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) jelas MENOLAK UU Cipta Kerja yang sangat merugikan Masyarakat Adat, diantaranya: Dalam proses pembentukan:
1. Tidak pernah ada konsultasi dan dialog dengan Gerakan Masyarakat Adat. Ini berarti bahwa UU Cipta Kerja telah dibahas tanpa partisipasi rakyat termasuk Masyarakat Adat. Padahal partisipasi rakyat termasuk Masyarakat Adat dalam pembentukan hukum adalah hal yang esensial dalam negara demokrasi.
2. Pembahasan yang super cepat dan dilakukan secara diam-diam telah menunjukkan sikap tidak etis DPR dan Pemerintah, dengan memanfaatkan situasi pandemi Covid-19 untuk membatasi ruang pemantauan dan partisipasi masyarakat dalam pembentukan hukum.
UU Cipta Kerja Bertentangan dengan UUD 1945 dan Hukum HAM, dan juga anti demokrasi:
1. UU Cipta Kerja jelas bertentangan dengan penghormatan UUD 1945 terhadap Masyarakat Adat. Ini dibuktikan dengan hapusnya ketentuan di dalam UU Perlindungan dan Pengelolaan lingkungan Hidup yang mengecualikan aktivitas perladangan dengan cara membakar sebagai ekspresi kebudayaan dan kearifan lokal Masyarakat Adat. Penghapusan pasal pengecualian tersebut dari UU PPLH jelas menunjukkan sikap anti terhadap Masyarakat Adat yang menjalankan kearifan lokal dan budayanya dalam mengelola wilayah adat. Penghapusan pengecualian tersebut jelas merupakan pengingkaran dan pelanggaran terhadap UUD 1945 khususnya Pasal 28I ayat (3).
2. Sikap anti demokrasi ditunjukkan oleh UU Cipta Kerja yang menghapus keharusan untuk mendapatkan persetujuan DPR RI dalam melakukan pelepasan Kawasan hutan. Padahal DPR adalah representasi rakyat termasuk Masyarakat Adat.
Sebelumnya UU Kehutanan mengatur keharusan tersebut di dalam Pasal 19 UU Kehutanan, yang oleh RUU Cipta Kerja dihapus.
Memperluas dan memperkuat ancaman perampasan wilayah adat: