Pilkada di Jambi
Patroli Akun di Medsos Saat Pilkada, Pantau Agitasi dan Propaganda Politik Pilkada Jambi
Untuk Pemilihan Gubernur Jambi ada 3 pasangangan calon, yakni Fachrori Umar-Syafril Nursal, Al Haris-Abdullah Sani dan Cek Endra-Ratu Munawaroh
TRIBUNJAMBI.COM - Pemilihan kepala daerah (Pilkada) Serentak 2020 sudah masuk tahap verifikasi berkas bakal calon kepala daerah yang telah mendaftar. Perpanjangan pendaftaran ditutup Minggu (13/9/2020) pukul 00.00.
Untuk Pemilihan Gubernur Jambi (Pilgub Jambi 2020) ada 3 pasangangan calon, yakni Fachrori Umar-Syafril Nursal, Al Haris-Abdullah Sani dan Cek Endra-Ratu Munawaroh.
Lima pilkada lagi, di Batanghari dan Tanjab Barat masing-masing yang mendaftar 3 pasangan calon, Tanjab Timur, Bungo dan Sungai Penuh masing-masing yang mendaftar ada 2 pasangan calon.
Bila bakal calon sudah ditetapkan menjadi calon kepala daerah, artinya cakada sudah mulai start kerja keras untuk terus bersosialisasi menarik perhatian masyarakat.
• Polisi Gerebek In Lounge, Sediakan Pemandu Lagu Bisa Layani Tamu Berhubungan Badan di Ruang Karaoke
• 69 Pegawai KPK Dilaporkan Positif Covid-19 Termasuk Kompol Pandu, 1.091 Pegawai Diuji Swab
• Guru Spritual Setubuhi Istri 7 Muridnya, Terungkap Dari Chat Panas WhatsApp Korban Dengan Pelaku
Sosialisasi langsung atau tidak langsung melalui media cetak, online ataupun media sosial.
Sosialisasi lewat media sosial contohnya. Itu tidak saja harus dilakukan kandidat itu sendiri, bisa dilakukan tim sukses atau tim pemenangan masing-masing cakada.
Biasanya, akun media sosial milik cakada atau tim yang resmi akan didaftarkan pada penyelenggara pilkada. Akun resmi ini melakukan kampanye positif untuk menjual kandidat mereka.

Sosialisasi tak resmi juga biasanya dilakukan para pendukung, atau relawan calon kepala daerah.
Pendukung relawan ini gencar sosialisasi di media sosial mereka, dengan akun real atau fake melakukan agitasi dan propaganda menyangkut cakada mereka atau cakada lawan. Isitilahnya melakukan black campaign dan negatif campaign.
Menurut Prof Anwar Arifin, pakar Komunikasi Politik di Unversitas Hasanudin, dalam bukunya 'Opini Publik', opini publik dapat terbina melalui agitasi politik yang sudah lama dikenak sebagai satu bentuk kegiatan komunikasi politik.
• KPU Tolak Pendaftaran Dua Paslon, 736 Bakal Paslon Menunggu Penetapan
• Rahayu Saraswati Ponakan Prabowo Jadi Waketum Gerindra, Gagal Nyaleg Sekarang Maju Pilwako Tangsel
• Partai Gelora Pilih Beri Dukungan ke Anak dan Menantu Jokowi di Pilkada 2020
Agitasi berasal dari bahasa latin, agitare yang berarti bergerak, menggerakan, atauvdakam Bahasa Inggris disebut agitation.
Agitasi juga berarti hasutan kepada orang banyak yang biasanya dilakukan oleh tokoh atau aktivis politik untuk mengadakan gerakan politik.
Orang yang melakukan agitasi itu dinamakan agitator. Napheus Smith menyebut agitator itu sebagai orang yang berusaha menimbulkan ketidakpuasan, kegelisahan atau pemberontakan orang lain.
Agitator politik juga diperlukan melalui tulisan yang persuasif dan provokatif. Berisi hasutan untuk mempengaruhi orang banyak. Namun, agitasi politik untuk menyebarkan sedikit gagasan baik, juga selalu terjadi.
• Bupati Jeneponto Umumkan Dirinya dan Istri Positif Covid-19, Tetap Jalankan Tugas Kepala Daerah
• Saksi Hidup Peristiwa G30S/PKI Ngaku Pernah Dijanjikan Hidup Enak Jika Gabung PKI
• Pertandingan Hampir Baku Hantam, Ulah Rizky Billar Buat Ibnu Jamil Tarik Bajunya: Ngomong Apa Kau!
Jadi, agitasi dan propaganda (Agitpro) tidak dapat dipisahkan, karena keduanya seringkali menyatu dengan menggunakan retorika.
Sebab, propaganda politik diartikan sebagai penyampaian benar atau salah dengan tujuan meyakinkan orang.
Karena propaganda politik dianggap memiliki kekuatan besar melalui pidato maupun media massa, dalam merayu publik untuk pencitraan dan pembentukan opini publik.

Harbery Blumer (1969) menjelaskan, propaganda dapat dianggao sebagai suatu kampanye politik yang dengan sengaja mengajak dan membimbing untuk memengaruhi, membujuk atau merayu banyak orang guna menerima suatu pandangan, ideologi atau nilai.
Propaganda politik ini sudah lama dipraktikan sebagai bentuk aktivitas komunikasi politik.
Agitasi dan propaganda ini bisa menguntungkan kandidat mereka tapi bisa merugikan kandidat lain. Kebanyakan, hal ini dilakukan akun media sosial yang fake alias palsu.
• Misteri Keberadaan Soeharto saat Peristiwa G30S/PKI, Kemana saat Para jenderal Diculik dan Disiksa?
• Kenang Sosok Ade Firman Hakim, Shahnaz Haque Curhat: Cuma Dia yang Bisa Paksa Saya Nonton Film Horor
• Siapa Sebenarnya JK Rowling, Penulis Harry Potter yang Dikecam di Twitter, Pernah Ingin Akhiri Hidup
Dalam hal ini, justru cakada tidak menyarankan ke tim medsos untuk menyerang kandidat lawan. Mereka membuat unggahan untuk mempengaruhi khalayak banyak.
Unggahan itu bisa dilakukan di media sosial seperti Facebook, Twitter atau Whatsapp. Bisa unggahan pribadi ataupun grup-grup medsos yang mereka ikut.
Kebanyakan, akun-akun fake ini bekerja sendiri tanpa diketahui cakada yang mereka dukung atau yang mereka sukai.
Di sinilah perlu tindakan tegas dari pihak terkait, yang masuk dalam sentra gakum terpadu (bawaslu, kepolisian atau kejaksaan).
Minimal pihak-pihak terkait ini memantau atau terus patroli di media sosial untuk mengawasi akun-akun yang membuat unggahan atau komentar terkait soal pilkada, apalagi unggahan dan komentar yang bisa memecahbelah masyarakat.
• Marah Tak Diberi Uang, Pemuda Ini Nekat Bacok Ibu Kandung hingga Nyaris Tewas
• Gegara Ditelpon Tak Direspon, Pengantar Air Galon di Makassar Tewas Usai Ditikam Pelanggannya
• Berbanding Terbalik dari Pengakuan Keluarga, Begini Kata Dokter RSJ yang Periksa Kejiwaan Pelaku
Jika ada ditemukan pelanggaran pidana umum atau pelanggaran UU pilkada, perlu diproses secara hukum guna beri efek jera bagi pemilik akun tersebut, jangan kasih ampun.
Kenapa begitu, tujuannya, agar Pilkada Serentak 2020 yang akan digelar 9 Desember 2020 terutama Pilkada di Jambi dan pilkada 5 kabupaten di Jambi bisa berjalan lancar tanpa ada gangguan yang bisa memecahbelah masyarakat.
Oleh: Rahimin, M.I.Kom