Kiai Abdul Wahid Hasyim Berpulang, Ini Sosok, Profil, dan Sumbangsih Luar Biasa Bagi Indonesia
Sang kyai, ulama, tokoh bersejarah, pahlawan, dan sosok berjasa bagi Indonesia itu kini sudah berpulang. Indonesia kehilangan salah satu tonggak
Ayah Para Gus Berpulang, Ini Sosok, Profil, dan Sumbangsih Luar Biasa Wahid Hasyim Bagi Indonesia
TRIBUNJAMBI.COM
Innalillahi wa inna ilaihi rajiun...
Sang kyai, ulama, tokoh bersejarah, pahlawan, dan sosok berjasa bagi Indonesia itu kini sudah berpulang. Indonesia kehilangan salah satu tonggak penyeimbang kehidupan berbangsa dan bernegara ini.
Dialah yang menjadi tonggak kelahiran para Gus berjasa di Indonesia.
Sosoknya tak hanya dikenang sebagai pahlawan namun juga ayah dari para Gus tersebut.
Dia dikenal dan disebut KH Abdul Wahid Hasyim.
Ia merupakan anak pertama dari 15 orang anak Hadratus Syeikh KH M. Hasyim Asy’ari dan Nyai Nafiqah.
Dilansir dari Tribunnewswiki.com, Wahid Hasyim lahir di Jombang pada 1 Juni 1914. Pada usia ke 25, Wahid Hasyim menikah dengan Solichah, putri K.H. Bisri Syansuri yang saat itu masih berusia 15 tahun.
Pasangan ini dikarunai enam anak putra, yaitu Abdurrahman ad-Dakhil (mantan Presiden RI), Aisyah (Ketua Umum PP Muslimat NU, 1995-2000), Shalahudin al-Ayyubi (Insinyur lulusan ITB dan Pengasuh PP. Tebuireng Jombang, sesudah K.H. Yusuf Hasyim), Umar Al-Faruq (dokter lulusan UI), Lilik Khadijah dan Muhammad Hasyim.
• Cara Terbaik Menyimpang Daging Kurban, Jangan Langsung Dimasukkan ke Kulkas, Ini Aturan Sederhananya
• Langkah-langkah Membuat Alamat Email Baru, Ikuti dan Lima Menit Anda Sudah Punya Email Baru
• Cara Restoran Buat Sambal Bawang Enak Terbongkar, Ternyata Gampang Banget
Wahid Hasyim meninggal di usia ke 39, tepatnya tanggal 19 April 1953 setelah sehari sebelumnya mengalami kecelakaan mobil ketika sedang dalam perjalanan menuju Sumedang untuk menghadiri rapat NU.
Riwayat Pendidikan
K.H. Abdul Wahid Hasyim tidak pernah mengenyam pendidikan di bangku sekolah milik pemerintah Belanda.
Pendidikannya ia habiskan di pondok pesantren dan dua tahun di Mekah.
Selama belajar di pondok pesantren dan madrasah, Wahid Hasyim banyak mempelajari sendiri kitab-kitab dan buku berbahasa Aeab.
Wahid Hasyim mendalami syair-syair berbahasa Arab hingga hafal di luar kepala beserta maknanya.
Wahid Hasyim kecil merupakan anak yang cerdas. Saat usia 5 tahun, ia sudah belajar Al-Quran pada ayahnya bahkan berhasil khatam di usia yang masih sangat belia.
Selain belajar pada sang ayah, Wahid Hasyim juga belajar di Madrasah Salafiyah di Pondok Pesantren Tebu Ireng.
Pada usia 12 tahun, Wahid Hasyim tamat dari madrasah dan mulai ikut mengajar adiknya, A. Karim Hasyim kitab ‘Izi saat malam.
Sejak kecil Wahid Hasyim sudah sangat suka membaca, terutama buku kesusasteraan Arab.
Wahid Hasyim banyak menghimpun syair-syair Arab dalam sebuah buku tebal.
Lulus dari Madrasah, Wahid Hasyim kemudian pergi belajar ke Pondok Pesantren Siwalan, Panji, Sidoarjo milik mertua ayahnya.
Di sana, Wahid Hasyim mempelajari kitab-kitab Bidayah, Sullam al-Taufiq, Taqrib, dan Tafsir Jalalain pada Kiai Hasyim sendiri dan Kiai Chozin Panji.
Namun ia hanya bertahan selama 25 hari sebelum akhirnya pindah ke Pondok Pesntren Lirboyo di Kediri.
Di Lirboyo, Wahid Hasyim malah hanya bertahan beberapa hari saja.
Pulang dari Lirboyo, K.H. Wahid Abdul Hasyim tidak melanjutkan ke pesantren lain, melainkan memilih untuk tinggal di rumah.
Sang ayah membiarkan saja pilihan tersebut, K.H. M. Hasyim Asy’ari menilah K.H. Abdul Wahid Hasyim sudah bisa menentukan sendriri bagaimana harus belajar.
Meski sudah menguasai Bahasa Arab dan kitab-kitab berbahasa Arab, tapi K.H. Abdul Wahid Hasyim belum bisa membaca tulisan latin.
Wahid Hasyim baru belajar huruf latin ketika ia menginjak usia 15 tahun. Kendati demikian, ia tak butuh lama untuk bisa menguasai baca tulis menggunakan huruf latin.
Pada 1932, ketika usianya menginjak 18 tahun, Wahid Hasyim kemudian dikirim ke Mekkah untuk menunaikan rukun Islam kelima serta mempredalam cabang ilmu agama.
Ditemani oleh Muhammad Ilyas, sepupunya, K.H. Abdul Wahid Hasyim menuntut ilmu selama dua tahu di tanah suci.
Wahid Hasyim menguasai 3 bahasa asing, yaitu Arab, Inggris, dan Belanda. Dengan demikian, ia semakin leluasa untuk membaca buku dari berbagai Bahasa.
Setelah kembali dari Mekkah, Wahid Hasyim merasa perlu mengamalkan ilmunya dengan melakukan memodernisasi, baik di bidang sosial, keagamaan, pendidikan dan politik.
Riwayat Karier
K.H. Abdul Wahid Hasyim mulai berkecimpung mengelola pesantren pada 1916 ketika ia membantu K.H. Ma’sum, menantu K.H. Hasyim Asy’ari dalam mengelola pesantren.
Wahid Hasyim membantu memasukkan sistem Madrasah ke dalam sistem pendidikan pesantren dimana ada tujuh jenjang kelas dan dibagi menjadi dua tingkatan.
Pada tahun 1919, kurikulum madrasah tersebut ditambah dengan Pendidikan umum, seperti Bahasa Indonesia (Melayu), berhitung, dan Ilmu Bumi.
Pada 1926, K.H. Muhammad Ilyas memasukkan Bahasa Belanda dan sejarah ke dalam kurikulum madrasah atas persetujuan K.H. Hasyim Asy’ari.
Namun ternyata tidak semua pihak setuju dengan pengembangan pesantren seperti itu.
Banyak orang tua santri memindahkan anak-anaknya ke pesantren lain, karena dengan pembaharuan tersebut Pesantren Tebuireng dipandang sudah terlalu modern.
Reaksi tersebut tidak menyurutkan proses pembaharuan Pesantren Tebuireng. Hal tersebut terus berlangsung dan dilanjutkan oleh Wahid Hasyim dengan mendirikan madrasah modern di lingkungan pesantren.
Setelah pulang dari Mekkah, Wahid Hasyim merasa perlu mengamalkan ilmunya dengan melakukan memodernisasi, baik di bidang sosial, keagamaan, pendidikan dan politik.
Wahid Hasyim mulai menganjurkan kepada para santri untuk belajar dan aktif dalam organisasi.
Pada 1936, Wahid Hasyim mendirikan Ikatan Pelajar Islam (IKPI) yang bertujuan untuk mengorganisasi para pemuda secara langsung ia sendiri sebagai pemimpinnya.
Kegiatan IKPI diantaranya mendirikan taman baca.
Pada usia 24 tahun (1938), Wahid Hasyim mulai terjun ke dunia politik. Bersama kawan-kawannya, ia gencar dalam memberikan pendidikan politik, pembaharuan pemikiran, dan pengarahan tentang perlunya melawan penjajah.
Baginya pembaharuan hanya mungkin efektif apabila bangsa Indonesia terbebas dari penjajah.
Pesantren Tebuireng menjadi pangkalan permulaannya untuk melaksanakan rencana meningkatkan pesantren hingga para santri sejajar dengan kaum intelektual.
Menurut K.H. Abdul Wahid Hasyim, perbedaan santri dan orang terpelajar barat adalah dalam hal pengetahuan umum.
Maka pengetahuan umum itulah mulai di kembangkan di pesantren. Kesempatan luas baginya waktu ia duduk di Pengurus Besar Nahdhatul Ulama bagian Maa’rif (pendidikan).
Untuk itu dikeluarkan majalah Suluh N.U. yang khusus mempermasalahkan kamadrasahan.
K.H. Wahid Hasyim sendiri sebelumnya ragu untuk bergabung dengan perkumpulan yang ada sebelum akhirnya ia menjatuhkan pilihannya ke NU.
Meski belum sesuai keinginannya, namun NU menurut Wahid Hasyim dianggap memiliki kelebihan dibandingkan dengan perkumpulan lainnya.
Dalam waktu yang cukup singkat, NU mampu menyebar hingga 60% di seluruh wilayah Indonesia.
Di kalangan pesantren, Nahdlatul Ulama mencoba ikut memasuki trace baru bersama-sama organisasi sosial modern lainnya.
Seperti Muhammadiyah, NU juga membentuk sebuah federasi politik bernama Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) lebih banyak di dorong oleh rasa bersalah umat Islam setelah melihat konsolidasi politik kaum nasionalis begitu kuat.
Pada tahun 1939, ketika MIAI mengadakan konferensi, Wahid Hasyim terpilih sebagai ketua. Setahun kemudian ia mengundurkan diri.
Tidak lama setelah K.H. Abdul Wahid Hasyim menjadi ketua PBNU, Jepang mendarat di Pulau Jawa pada bulan Maret 1942 semua perkumpulan atau organisasi dilarang bergerak, tak terkecuali NU.
Wadah umat islam yang dibenarkan MIAI di bawah pimpinan ketua K.H. Wahid Hasyim.
Kedudukan inilah yang mengantarnya ke pusat perjuangan bangsa indonesia di jaman Jepang, menjadi anggota Cuo Sangi In, kemudian Dokuritsu Jumbi Cosakai hingga Panitia Persiapan Indonesia.
K.H. Wahid Hasyim adalah salah seorang dari 9 orang yang menandatangani Piagam Jakarta yang intinya menjadi Pembukaan Undang-Undang Dasar RI 1945.
Dalam perundingan dengan para pemimpin lainnya K.H. Wahid Hasyim terkenal teguh pendirian namun luwes sikap dan tenggang rasanya kepada orang lain, hingga terjadi pergaulan akrab dengan orang-orang dari berbagai macam pendirian dan corak pemikiran.
Kepemimpinannya tampak jelas dalam usianya yang terhitung muda pada waktu itu, yakni 33 tahun. Hanya Bintoro, anggota BPUPKI yang lebih muda dari Wahid Hasyim, yakni breusia 27 tahun.
Wahid Hasyim juga mempelopori berdirinya Badan Propaganda Islam (BPI) yang anggota-anggotanya dikader untuk terampil dan mahir berpidato di hadapan umum.
Selain itu, Wahid Hasyim juga mengembangkan pendidikan di kalangan umat Islam.
Tahun 1944 ia mendirikan Sekolah Tinggi Islam di Jakarta yang pengasuhnya ditangani oleh K.H. A Kahar Mudzakir.
Tahun berikutnya, 1945, Wahid Hasyim aktif dalam dunia politik dan memulai karir sebagai ketua II Majelis Syura (Dewan Partai Masyumi). Ketua umumnya adalah ayahnya sendiri.
Pasca kemerdekaan Indonesia, Wahid Hasyim juga beberapa kali duduk di kabinet.
Wahid Hasyim pernah diangkat sebagai Menteri Agama di masa kabinet Hatta, Natsir dan Sukiman.
Namun ia harus menghembuskan napas terakhir diusianya yang masih cukup muda, 39 tahun.
Waktu itu hari Sabtu tanggal 18 April, K.H. Abdul Wahhid Hasyim bermaksud pergi ke Sumedang untuk menghadiri rapat NU.
Berkendaraan mobil Chevrolet miliknya, dengan ditemani seorang sopir dari harian pemandangan, Argo Sutjipto, tata usaha majalah Gema Muslim, dan putra sulungnya, Abdurrahman ad-Dakhil.
K.H. Abdul Wahid Hasyim duduk di jok belakang bersama Argo Sutjipto. Daerah sekitar Cimahi dan Bandung waktu itu diguyur hujan dan jalan menjadi licin.
Sekitar pukul 13.00 WIB, ketika memasuki Cimindi, mobil yang ditumpangi K.H. Abdul Wahid Hasyim selip dan sopirnya tidak bisa menguasai kendaraan.
Di belakang Chevrolet nahas itu banyak iring-iringan mobil. Sedangkan dari arah depan sebuah truk yang melaju kencang terpaksa berhenti begitu melihat ada mobil zig-zag karena selip dari arah berlawanan.
Karena mobil mobil itu melaju cukup kencang, bagian belakangnya membentur badan truk dengan keras.
Saat terjadi benturan, K.H. A Wahid Hasyim dan Argo Sutjipto terlempar ke bawah truk yang sudah berhenti itu sehingga mengalami luka parah.
K.H. Abdul Wahid Hasyim terluka bagian kening, mata serta pipi dan bagian lehernya.
Sementara sang sopir dan Abdurrahman Wahid tidak cedera sedikit pun. Mobilnya hanya rusak bagian belakang dan masih bisa berjalan seperti semula.
Lokasi kejadian kecelakaan itu memang agak jauh dari kota. Karena itu usaha pertolongan datang sangat terlambat.
Baru pukul 16.00 WIB datang mobil ambulans untuk mengangkut korban ke Rumah Sakit Boromeus di Bandung.
Sejak mengalami kecelakaan, kedua korban terus tidak sadarkan diri. Pada pukul 10.30 hari Ahad, 19 April 1953, K.H. Abdul Wahid Hasyim dipanggil ke hadirat Allah Swt dalam usia 39 tahun.
Beberapa jam kemudian, tepatnya pukul 18.00, Argo Sutjipto menyusul menghadap Sang Pencipta.
Wahid Hasyim ditetapkan sebagai pahlawan berdasarkan Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 206 tahun 1964 tertanggal 24 Agustus 1964.
K.H. Abdul Wahid Hasyim ditetapkan sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional, mengingat jasa-jasanya sebagai pemimpin Indonesia yang semasa hidupnya terdorong oleh taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan rasa cinta tanah air dan bangsa, telah memimpin suatu kegiatan yang teratur guna mencapai kemerdekaan nusa dan bangsa.
Anak-anak
Setelah meninggalnya Wahid Hasjim, anak-anaknya diasuh oleh istrinya yang tengah hamil anak ke enam.
Anak keduanya, Aisyah Hamid Baidlowi ikut membantu mengurus adik-adiknya disaat ibunya bekerja.
Semua anak Wahid Hasjim tumbuh menjadi orang sukses yang berperan besar dalam kemajuan negara.
Anak pertamanya Abdurrahman Wahid pernah menjadi Presiden RI yang ke 4, Aisyah Hamid Baidlowi dan Lily Chadijah Wahid merupakan mantan anggota DPR, Salahuddin Wahid pada masanya pernah menjadi Wakil Ketua Komnas HAM, Umar Wahid seorang dokter dan adiknya, Hasyim Wahid juga turut masuk ke dalam dunia politik.
Data Diri:
Nama: K.H. Abdul Wahid Hasyim
Lahir: Jombang, 1 Juni 1914
Wafat: Cimahi, 19 April 1953
Makam: Komplek Pondok Pesantren Tebu Ireng, Jl. Irian Jaya No.10, Cukir, Jombang, Kabupaten Jombang, Jawa Timur 61471
Keluarga :
Ayah: Hadratus Syeikh K.H. M. Hasyim Asy’ari
Ibu: Nyai Nafiqah
Pasangan: Nyai Hj. Solichah
Anak:
Andurrahman Addakhil Wahid
Aisyah
Salahuddin Al-Ayyubi
Umar Al-Faruq
Lilik Khadijah
Muhammad Hasyim
Riwayat Pendidikan:
Madrasah Salafiyah, Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang
Pondok Pesantren Siwalan, Panji, Sidoarjo
Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri
Mekah
Karier:
Pengurus Pondok Pesantren
Anggota BPUPKI
Anggota Panitia Sembilan
Anggota PPKI
Menteri Agama
Ketua Umum PBNU
(*)
Artikel ini telah tayang di tribun-timur.com dengan judul Sosok KH Abdul Wahid Hasyim, Ayah dari Para Gus Ternama dan Pahlawan Bangsa, https://makassar.tribunnews.com/2020/08/01/sosok-kh-abdul-wahid-hasyim-ayah-dari-para-gus-ternama-dan-pahlawan-bangsa?page=all.
Penulis: Desi Triana Aswan
Editor: Anita Kusuma Wardana