50-an Laki-laki Desa Sihaporas Lari karena Takut Dibunuh, Masyarakat Adat Minta Perlindungan LPSK
Mereka takut diculik dan dijemput pada malam hari, sehingga melarikan diri ke tempat lain. Mereka kemudian meminta perlindungan LPSK.
50-an Laki-laki Lari dari Desa karena Takut Dibunuh, Masyarakat Adat Minta Perlindungan LPSK
TRIBUNJAMBI.COM, JAKARTA - Sekira 50 laki-laki di Desa Sihaporas terpaksa lari dari desa karena ketakutan akan dibunuh.
Para laki-laki dari Desa/Nagori Sihaporas, Kecamatan Pamatang Sidamanik, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara, itu meninggalkan kampungnya.
Mereka takut diculik dan dijemput oknum polisi pada malam hari, sehingga melarikan diri ke tempat lain.
Mereka kemudian meminta perlindungan LPSK.
FB LIVE
Kami Diperlakukan seperti Teroris, Diburu Malam Hari Masyarakat Lamtoras Mengadu ke Komnas HAM
Perempuan Warga Sihaporas Ketakutan, Lelaki Lari ke Ladang, Polisi Masuk Desa Tenteng Senjata
Download Lagu MP3 Dangdut Koplo Terbaik 2019, Ada Video Nella Kharisma dan Via Vallen Full Album
Download Lagu MP3 DJ Remix Entah Apa Yang Merasukimu Full Album, Video DJ Gagak, DJ Slow dan DJ Opus
Demikian terungkap saat pengurus Lembaga Adat Keturunan Ompu Mamontang Laut Ambarita Sihaporas (Lamtoras) mengadu sekaligus meminta perlindungan LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban) di Jakarta, Kamis (3/10/2019) siang.
"Saat ini sudah tidak ada laki-laki dewasa di kampung, kecuali usia lanjut. Semua lari ke tempat lain kaena takut," ujar Ketua Umum Lamtoras Judin Ambarita (Ompu Sampe) saat berdialog dengan Wakil Ketua LPSK Edwin Partogi Pasaribu dan petugas bagian pengaduan.
Menurut Judin, suasana Desa/Nagori Sihaporas mencekam setelah terjadi bentrok antara masyarakat adat kontra pekerja PT TOba Pulp Lestari (TPL), pada Senin 16 September silam.
Apalagi setelah ada penangkapan dan penahanan dua pengurus Lembaga Adat Lamtoras, yakni Thomson Ambarita selaku Bendahara dan Jonny Ambarita (Sekretaris), polisi semakin sering datang ke kampung mereka.
Kadang datang menumpang sepeda motor, kadang belasan orang datang mengendarai mobil.
"Isunya, polisi mencari tersangka lain. Tapi tidak ada surat panggilan, jadi hanya katanya-katanya. Jadi kami takut, tidak berani tidur di rumah, tapi di ladang. Lalu, waktu teman kami tidur di ladang, dikejar juga sam pak polisi yang datang pakai alat canggih seperti drone, dan senter," kata Mangitua Ambarita.
Menurut Mangitua, ayah lima anak dan kakek (ompung) dari dua cucu, warga sebenarnya akan bersedia dipanggil polisi menjelaskan atau memberi kesaksian yang terjadi pada 16 September di lokasi sengketa, Buntu Pangaturan, Sihaporas.
"Tapi kalau warga kami diburu ke ladang malam hati, tanpa ada surat panggilan, kami takutlah. Siapa yang bisa jamin kami dibawa ke kantor polisi, kalau mereka preman lalu menculik dan membunuh kami? Ini yang kami takutkan, dibunuh dan dibuang," kata Mangitua, kakek dua cucu.

Menurut warga, lahan ini warisan nenek moyang yang sudah dihuni selama 8 generasi atau kurang lebih 200 tahun.