Perempuan Warga Sihaporas Ketakutan, Lelaki Lari ke Ladang, Polisi Masuk Desa Tenteng Senjata
Peristiwa lainnya, laki-laki warga setempat diburu oleh orang-orang yang mengaku dari kepolisian, sampai perladangan pada malam hari.
Perempuan Warga Sihaporas Ketakutan, Lelaki Lari ke Ladang, Polisi Masuk Desa Tenteng Senjata
TRIBUNJAMBI.COM, MEDAN - Perhimpunan Bantuan Hukum dan Advokasi Rakyat Sumatera Utara (Bakumsu) mengecam arogansi Polres Simalungun terhadap warga Sihaporas.
Penangkapan dua orang warga Sihaporas pada (24/9/2019) lalu, yakni Thomson Ambarita dan Jonni Ambarita yang diduga dilakukan oleh Polres Simalungun dianggap tidak membuat situasi menjadi tenang.
Koordinator Divisi Advokasi Bakmsu, Juniaty Aritonang dalam jumpa pers, Rabu (2/10/2019), mengatakan satu hari setelah penangkapan dua warga anggota masyarakat adat Lamtoras, petugas Polsek Sidamanik kembali mendatangi Desa Sihaporas di Dusun Aek Batu.
Personel berjumlah lima orang yang dipimpin Kapolsek Sidamanik.
Keesokan harinya juga petugas keamanan masih melakukan penyisiran di desa bahkan masuk ke ladang-ladang warga dengan membawa senjata.
Baca Juga
Posisi Badan Bidan MAD dan Dokter yang Diduga Selingkuh saat Digerebek, Direktur RSUD Ungkap Fakta
Meramal Masa Depan Seni Pertunjukan (Konser Hologram Whitney Houston)
Ini Wajah Bidan Cantik yang Selingkuh dengan Dokter di Kontrakan, Tepergok Suaminya yang Polisi
VIRAL Banser NU dan Gusdurian Bawa 9 Tumpeng di Perayaan HUT Gereja Katolik di Cilacap
VIRAL Lora Fadil Boyong 3 Istri Sekaligus ke Pelantikan Jadi Anggota DPR RI: Mereka Tinggal 1 Atap
"Kami (Bakumsu) selaku penasihat hukum keduanya, menyayangkan tindakan reaktif yang dilakukan oleh aparat kepolisian. Tindakan ini merupakan bentuk intimidasi dan menakut-nakuti warga. Akibatnya warga khususnya para perempuan menjadi ketakutan. Para laki-laki banyak yang lari ke ladang, tidak berani tinggal di rumah," ujarnya.
Menurut Juniaty, dua orang warga masyarakat adat Lamtoras yakni Marudut Ambarita (orangtua Mario
Ambarita) dan Thomson Ambarita, telah melapor ke Kepolisian Resor Simalungun pada tanggal 17 dan 18 September 2019 atas tindakan pemukulan yang diduga dilakukan karyawan PT. Toba Pulp Lestari (PT. TPL), dikomandoi Humas TPL Sektor Aek Nauli.
Atas laporan itu, pelapor datang untuk diperiksa sebagai saksi. Namun pada saat kedua orang saksi datang kepada penyidik kepolisian resor Simalungun untuk memberikan keterangan sebagai saksi aparat kepolisian resor Simalungun justru menangkap kedua orang saksi tersebut.
"Kami selaku penasihat hukum dari Marudut Ambarita (orangtua Marlo Ambarita) dan Thomson Ambarita menyatakan protes dengan tindakan penangkapan yang dilakukan Kepolisian Resor Simalungun tersebut."
"Kami menilai tindakan yang dilakukan Kepolisian Resor Simalungun merupakan tindakan arogan, berlebihan dan sewenang-wenang. Sementara pihak Humas PT TPL yang melakukan tindakan penganiayaan belum juga ditangkap oleh kepolisian resor Simalungun. Aparat kepolisian terkesan ada keberpihakan kepada PT TPL. Kepolisian seharusnya mengedepankan asas yang lebih berkeadilan dalam menyelesaikan persoalan
ini," ungkapnya.
Menurut Juniaty, untuk kepentingan penyidikan, oleh KUHAP penyidik memang diberi kewenangan untuk melakukan penangkapan. Namun demikian hal itu haruslah dilakukan secara berimbang dan dalam hal yang sangat diperlukan (urgen).
"Kami tidak melihat ada sesuatu yang urgen yang dapat menghambat kelancaran proses penyidikan sehingga untuk itu perlu melakukan penangkapan terhadap Thomson Ambarita dan Jonni Ambarita mengingat mereka bukan tertangkap tangan. Selain itu terhadap mereka juga penyidik belum pernah melakukan panggilan bahkan faktanya mereka ditangkap pada saat melaksanakan kewajibannya memenuhi panggilan sebagai saksi dan korban di kantor polisi," jelasnya.
Lanjut Juniaty, tindakan penangkapan yang diduga dilakukan Polres Simalungun merupakan tindakan yang tidak profesional dan tidak proporsional, serta tidak imparsial.