50-an Laki-laki Desa Sihaporas Lari karena Takut Dibunuh, Masyarakat Adat Minta Perlindungan LPSK
Mereka takut diculik dan dijemput pada malam hari, sehingga melarikan diri ke tempat lain. Mereka kemudian meminta perlindungan LPSK.
Dan tanah itu dipinjam paksa penjajah Belanda sekitar tahun 1913 dari generasi kelima keturunan Ompu Mamontang Laut Ambarita.
Terbukti, dalam peta Enclave 1916, 29 tahun sebelum Indonesia Merdeka, terdapat tiga titik nama lokasi Sihaporas, yakni Sihaporas Negeri Dolok, Sihaporas dan Sihaproas Bolon.
"Peta ini masih ada sampai sekarang," ujar Mangitua sembari menyebut, telah melihat bersama-sama peta enclave Sihaporas yang terbit pada zaman Belanda tersebut. Mangitua mengaku sebagai anak dari pejuang kemerdekaan Republik Indonesia.
Jahya Ambarita, ayahnya, menerima piagam veteran dari Pemerintah Republik Indonesia yang ditandatangani Menteri Pertahanan/Panglima ABRI LB Moerdani pada tahun 1989.
Terdapat enam warga Sihaporas pejuang kemerdekaan RI.
"Jadi kami bukan pendatang baru, atau penggarap lahan. Ompung kami sudah ada di Sihaproas, sebelum Indonesia merdeka. Itu yang kami perjuangkan kepada pemrintah. Ini salahnya Menteri Kehutanan Orde Baru, tanah kami ditampas, lalu diserahkan kepada TPL, sampai terjadi bentrok dengan TPL itu. Sebenarnya kami tidak mengininkan bentrok, tapi situasi di lapangan yang memaksa. Bukan kami, yang memulai tapi, Bahara Sibuea, memukul kawan kami, tapi yang kena anak yang digendongnya, Mario Teguh, tiga tahun," ujarnya.
Masyarakat adat Sihaporas diterima Wakil Ketua Lembaga Penjamin Saksi dan Korban (LPSK) Edwin Partogi Pasaribu didampingi Rizky, bagian Pengaduan LPSK.
"Kami terima laporan bapak ibu. Dan kami akan pelajari, saya bersama enam pimpinan LPSK sendiri. Saya akan mengirim surat kepada Kapolda Sumatera Utara termbusan Kapolres Simalungun serta Bupati Simalungun, meminta agar dalam penegakan hukum juga memberi perlindungan, dan kedamaian sekaligus menghindari keresahan-keresahan masyarakat, termasuk saksi dan korban," kata Edwin.
Pada saat itu, pengurus Lamtoras juga mengisi formulis mohon perlindungan dari LPSK.

Pengurus Besar Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (PB AMAN) Sinung Karto yang mendampingi pelapor menambahkan, kiranya pihak kepolisian dapat bertindak adil dalam menegakkan hukum.
"Mereka ini anggota AMAN. Datang kepada kami minta bantuan," kata Sinung.
Menurut informasi yang didapat Sinung, warga bersedia memenuhi panggilan polisi, asalkan dipanggil baik-baik.
Selain tu, karena menurut warga, terjadi juga pemukulan kepada anak dan orang dewasa dari masyarakat adat, maka polisi pun harus memeriksa pelaku pemukulan.
"Itu permintaan warga. Jangan suasana menjadi mencekam. Katanya ada 50 laki-laki yang lari dari desa, dan sekarang desanya kosong laki-laki dewasa. Biarlah mereka boleh pulang dan berladang untuk sekolah atau kuliah anak-anak," ujar Sinung.
Warga mengklaim tanah sengka milik mereka. Sedangkan pihak TPL mengklaim milik perusahaan, terdapat di Compartement (Compt) atau Blok B.553.
Direktur PT TPL, Mulia Nauli dalam keterangan tertulis sebelumnya, mengatakan, izin konsesi PT TPL berada di kawasan hutan negara.
TPL mendapat Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman Hutan Tanaman Industri (IUPHHK-HTI) PT Toba Pulp Lestari Tbk atau PT TPL diberikan oleh Kementerian Kehutanan melalui SK Menhut No. 493 / KPTS II/1992 jo SK. 179/Menlhk/Sedjen/HPL.0/4/2017 yang tersebar di beberapa kabupaten kota di Sumatera Utara.