Bayi Pengungsi Tak Berbaju 4 Bulan, Jubiana Peluk Anak Kedinginan, Kisah Pilu di Balik Konflik Papua
Di tengah konflik Papua, Bayi laki-laki itu menangis di pangkuan ibunya. Napasnya berat, sementara badannya yang demam tanpa ditutupi sehelai kain
Bayi Pengungsi Tak Pakai Baju 4 Bulan, Jubiana Peluk Anak Kedinginan, Kisah Pilu di Balik Konflik Papua
BAYI bernama Pengungsi ini lahir sekira empat bulan lalu, di tengah konflik senjata. Sampai kini, dia tak pernah mengenakan baju.
Bayi laki-laki itu menangis di pangkuan ibunya. Napasnya berat, sementara badannya yang demam tanpa ditutupi sehelai kain pun.
Sang ibu, Jubiana Kogeya, tampak kebingungan.
Beberapa kali dia mencoba menenangkan anaknya dengan menyusuinya, namun tak setitik pun ASI keluar. Oleh sang ibu, bayi itu dinamai Pengungsi.
"Karena melahirkan dalam hutan, dalam pengungsian, jadi saya kasih nama Pengungsi," jawab Jubiana ketika ditanya alasan anak keempatnya itu dinamai Pengungsi.
Pratu DAT Oknum TNI Jual Amunisi Senjata ke KKB di Papua, Inilah Sosok yang Akhirnya Tertangkap
Pentolan KKB Papua yang Paling Dicari Egianus Kogoya, 7 Fakta Serangan & Teror yang Dilancarkan KKB
Mengapa Wajah Irish Bella saat Maternity Shoot Jadi Ramping, Benarkah Kondisinya sedang Turun Drop?
Posisi Kaki Irish Bella Memang Selalu Beda, Mengapa? Foto-foto Masa Kecil Diungkap Johan de Beule
Siapa Sebenarnya Ratu Tisha? Fakta tentang Si Cantik Sekjen PSSI Ini Akhirnya Terbongkar, dari ITB
Pengungsi lahir sekitar empat bulan lalu, ketika ibunya dalam pelarian dari rumahnya di distrik Mugi, untuk menghindari kontak bersenjata antara TNI/Polri dengan kelompok bersenjata pro-kemerdekaan Papua.
Awalnya, Jubiana yang saat itu hamil besar, enggan untuk mengungsi.
Sementara, suami dan ketiga anaknya lain kala itu sudah bersiap mengungsi.
"Pada saat penyerangan dan pembakaran di distrik Yigi dan Yal itu saya masih bertahan. Begitu terjadi di Mugi, itu baru mulai bergerak ke luar rumah," tutur Jubiana kepada BBC News Indonesia, Jumat (2/8) silam.
"Saya melihat suami saya pegang anak-anak di kedua tangannya, akhirnya saya terpaksa ikut mengungsi. Saya dengar di Mugi sudah ada tentara, ada penembakan, pembakaran, akhirnya ke luar rumah, masuk ke hutan," ujarnya.
Selama berhari-hari, Jubiana dan ketiga anaknya yang masih kecil harus menghadapi cuaca dingin pegunungan dan makan semacam tumbuhan paku yang tumbuh di hutan untuk asupan sehari-hari.
Hingga akhirnya sekitar April lalu, dirinya terpaksa melahirkan di hutan.
"Saya sendirian, tidak ada yang temani, [saya melahirkan] di bawah pohon." ujar Jubiana, sambil berupaya menenangkan Pengungsi yang terus menangis.
"Anak ini posisinya melintang [di perut], prosesnya hampir taruhan nyawa. Saya pikir anaknya sudah meninggal, karena ketika mau melahirkan saya tekan, saya atur sendiri, dia melintang, jadi saya atur. Saya pikir anak ini sudah meninggal," ungkapnya.