Bayi Pengungsi Tak Berbaju 4 Bulan, Jubiana Peluk Anak Kedinginan, Kisah Pilu di Balik Konflik Papua

Di tengah konflik Papua, Bayi laki-laki itu menangis di pangkuan ibunya. Napasnya berat, sementara badannya yang demam tanpa ditutupi sehelai kain

Editor: Duanto AS
(dok BBC Indonesia)
Jubiana dan ketiga anaknya yang masih kecil harus berjibaku dengan cuaca dingin pegunungan 

Sejak dilahirkan April lalu, Pengungsi tidak pernah mengenakan baju.

Para perempuan di Nduga dan anak-anak mereka terpaksa bertahan di belantara di pegunungan tengah Papua, untuk menghindari konflik bersenjata antara TNI/Polri dan kelompok bersenjata pro-kemerdekaan Papua yang berlangsung selama delapan bulan terakhir. Bahkan, beberapa dari mereka terpaksa melahirkan di hutan. (dok BBC Indonesia)
Para perempuan di Nduga dan anak-anak mereka terpaksa bertahan di belantara di pegunungan tengah Papua, untuk menghindari konflik bersenjata antara TNI/Polri dan kelompok bersenjata pro-kemerdekaan Papua yang berlangsung selama delapan bulan terakhir. Bahkan, beberapa dari mereka terpaksa melahirkan di hutan. (dok BBC Indonesia) ()

Ketika cuaca dingin menerjang, Jubiana hanya bisa memeluk anaknya erat dan menyelimutinya dengan anyaman daun pandan.

"Bikin tikar pakai daun pandan, lalu kasih alas dia, terus peluk dia," jelas Jubiana.

Jubiana merupakan salah satu dari ribuan warga Nduga yang kini terpaksa harus mengungsi dari konflik yang berkecamuk di Nduga.
Pengungsi lain, Katarina Kogeya dan delapan anaknya terpaksa bertahan di hutan selama beberapa lama untuk menghindari kontak senjata di kampungnya di distrik Yal.

"Tidak sempat bawa apa-apa. Bawa anak saja di tangan sampai di hutan kami bikin tenda-tenda di hutan dari daun-daun. Anak-anak ini menangis minta makan karena tidak ada makan lagi."

"Akhirnya harus pindah lagi dari tempat itu ke tempat yang jauh ke dalam hutan yang lebih rimba lagi."

Sejak Juni silam, keduanya mengungsi di distrik Ilekma di Wamena, kabupaten Jawawijaya untuk menghindari konflik yang berkecamuk di Nduga sejak delapan bulan silam.

Banyak di antara mereka, hingga kini masih bertahan di hutan.

Pegiat HAM yang mendampingi para pengungsi, Theo Hesegem, mengatakan, para pengungsi ini menjadi 'korban di tanah mereka sendiri'.

"Mereka mengatakan kita takut dua-duanya karena dua-dua ini pegang senjata jadi kalau dua-dua ini pegang senjata dan terjadi baku kontak antara TNI dengan OPM, masyarakat bisa jadi korban di tengah-tengah," ujar Theo.

Eskalasi kontak senjata antara militer dan kelompok bersenjata pro-kemerdekaan Papua terjadi setelah insiden penembakan belasan pekerja konstruksi jalan Trans Papua pada Desember silam.

Selama delapan bulan terakhir, gelombang pengungsi tersebar ke beberapa wilayah di sekitar Nduga, bahkan beberapa di antaranya dilaporkan meninggal.

Namun, oleh juru bicara Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat, Organisasi Papua Merdeka (TPNB-OPM) Sebby Sambom, banyaknya pengungsi dan korban yang berjatuhan adalah sebagai 'risiko dari perang'.

"Itu risiko dari perang. Itu bukan TPN yang usir tapi Indonesia yang masuk, jadi mereka takut Indonesia. Oleh karenanya tanggung jawab pemerintah Indonesia, bukan TPN. TPN kan selalu tinggal dengan masyarakat, di kampung-kampung, tidak pernah ancam masyarakat, tidak pernah usir masyarakat. Mereka mengungsi karena kehadiran TNI/Polri dalam jumlah besar dan melakukan pembakaran rumah, ternak dibunuh, dibantai," cetusnya.

Bayi perempuan yang lahir Maret lalu ini dinamai Pengusina oleh ibunya. (dok BBC Indonesia)
Bayi perempuan yang lahir Maret lalu ini dinamai Pengusina oleh ibunya. (dok BBC Indonesia) ()

Namun, klaim ini dibantah oleh Kepala Penerangan Kodam (Kapendam) Cenderawasih Letkol Cpl Eko Daryanto, yang menyebut operasi gabungan TNI/Polri di Nduga adalah selain untuk pengamanan proyek Trans Papua yang melintasi Kabupaten Nduga, juga pengejaran untuk mencari pelaku serangan Desember silam.

Halaman
1234
Sumber: Kompas.com
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved