Jejak Suku Korowai Pemakan Daging Manusia Penyihir (Khakhua) di Pedalaman Papua
Ternyata kanibalisme oleh suku pedalaman juga ada di Indonesia, yakni suku Korowai di pedalaman Papua
Penulis: Heri Prihartono | Editor:
TRIBUNJAMBI.COM - Jika kalian penggemar film kanibal sudah pasti pernah menonton The Green Inferno yang rilis pada tahun 2015.
Film kanibal ini bercerita tentang sekelompok mahasiswa aktivis lingkungan yang terdampar di tengah hutan Amazon, mereka lalu ditangkap oleh suku pedalaman di hutan Amazon.
Ternyata kanibalisme oleh suku pedalaman juga ada di Indonesia, yakni suku Korowai di pedalaman Papua.
Suku ini memiliki anggota hingga 3.000 orang.
Mereka tinggal di Papua Barat, Indonesia yang dekat dengan perbatasan PapuaNugini.
Dilansir Intisari-Online dari laman en.goodtimes.my, Korowai dikatakan sebagai satu kelompok manusia paling terpencil di dunia.
Dipercaya bahwa Korowai tidak menyadari keberadaan orang lain selain diri mereka sendiri sebelum orang luar melakukan kontak dengan mereka sekitar tahun 1970

Suku Korowai diyakini pertama kali ditemukan pada 1974 oleh sekelompok ilmuwan.
Ilmuwan yang tersesat ini tanpa sengaja memasuki wilayah suku Korowai.
Kelompok yang dipimpin oleh antropolog Peter Van Arsdale, ahli geografi Robert Mitton, dan pengembang komunitas Mark Grundhoefer memutuskan untuk mempelajari kehidupan penduduk.
Melalui observasi, daftar kata dasar dibuat dan mereka juga merekam aktivitas harian suku ini.
Pada Mei 2006, pemandu wisata dan jurnalis, Paul Raffaele memimpin kru dalam ekspedisi ke hutan Papua.
Tujuannya untuk membuat film dokumenter tentang suku Korowai.
Dia ingin memahami mereka dan alasan mereka melakukan beberapa ritual yang mengerikan.
Raffaele menulis dalam artikelnya, “Kanibalisme dipraktekkan di antara manusia prasejarah, dan itu bertahan hingga abad ke-19 di beberapa kebudayaan Pasifik Selatan yang terisolasi, terutama di Fiji. Tapi hari ini Korowai adalah satu dari sedikit suku yang diyakini memakan daging manusia.”
Dia melanjutkan dengan detail penulisannya:
“Mereka tinggal sekitar 100 mil dari Laut Arafura, dimana Michael Rockefeller, putra gubernur New York, Nelson Rockefeller, menghilang pada 1961 saat mengumpulkan artefak dari suku Papua lainnya. Tubuhnya tidak pernah ditemukan."
Pria ini juga menegaskan bahwa sebagian besar orang Korowai hidup dengan mengabaikan dunia di luar suku mereka.
Suku Korowai ()
Raffaele menuliskan, “Seperti yang ditulis van Enk, Korowai sering terkena beberapa wabah penyakit, termasuk malaria, tuberkolosis, elephantiasis dan anemia, dan apa yang dia sebut ‘kompleks khakhua.’ Korowai tidak memiliki pengetahuan tentang kuman mematikan yang menduduki hutan mereka, dan begitu percaya bahwa kematian misterius disebabkan oleh khakhua, atau penyihir yang mengambil bentuk laki-laki.”
Menurut pemandu Raffaele, Kembaren “Banyak khakhua dibunuh dan dimakan setiap tahun.”
Dalam sebuah wawancara yang dilakukan Raffaele dengan pemimpin suku, dia menjelaskan alasan orang Korowai mempraktikkan kanibalisme.
“Bagi Korowai, jika seseorang jatuh dari rumah pohon atau terbunuh dalam pertempuran maka alasan kematian mereka cukup jelas. Tetapi mereka tidak memahami mikroba dan kuman, jadi ketika seseorang mati secara misterius, mereka percaya itu adalah karena seorang khachua , penyihir lelaki yang datang dari akhirat. ”
“Seorang khakhua harus dibunuh dengan cara dimakan. Sebab khakhua sebenarnya adalah orang mati. Memakan mereka dianggap sebagai sistem keadilan terbaik
Sumber Intisari Online
Baca: Prakiraan Cuaca BMKG Rabu 13 Maret 2019, Jambi, Bandung, Denpasar dan Kota besar lainnya.
Baca: Tayangan Biosop Hari Ini Misteri Dilaila dari Negeri Jiran Siap Bikin Pengunjung Cinemaxx Merinding
Baca: Gara-gara Bisnis Sabu, Suami Istri di Jambi Terancam 15 Tahun di Bui
Baca: Jusuf Kalla Tanggapi Hasil Survei Elektabilitas Prabowo-Sandi, Jusuf Kala : Kenapa Gak 100 Persen
Baca: Camat Mustari Himbau Warga Pasar Jambi Salurkan Hak Suaranya di Pemilu 2019
Dilansir dari Boombastis suku korowai menggunakan bahasa Awyu-Damut, bahasa yang suku Korowai gunakan sehari-harinya.
Populasi 3000 Orang
Ciri-ciri fisik dan penampilan mereka tak ubahnya dengan suku lain yang ada di Papua. Hanya saja, mereka termasuk salah satu suku yang tak mengenakan koteka. Sejauh ini tercatat populasi mereka ada 3000 orang.
Ciri-ciri fisik mereka tak ubahnya mayoritas suku lain yang ada di Papua. [Image Source].Tepatnya, mereka menempati suatu kawasan hutan yang berjarak sekitar 150 kilometer dari Laut Arafuru. Seperti halnya suku lain yang belum tersentuh kehidupan modern, masyarakat Korowai menjalani kehidupannya dengan cara berburu. Hampir semua tanaman atau hewan yang ada di hutan biasa mereka makan.
Mereka buat sendiri alat penunjang perburuan, seperti kapak yang terbuat dari batu maupun tombak untuk mempermudah mereka menangkap ikan di sungai-sungai.
Meski begitu, suku ini sudah lama punya kebiasaan berkebun. Mereka menanam buah-buahan dan sayuran hijau. Layaknya warga Papua, sagu adalah santapan utama mereka. Suku ini juga memelihara anjing liar yang siap membantu mereka ketika berburu.
Rumah Menyatu Dengan Pohon
Satu dari sekian banyak hal unik dari suku ini adalah tempat tinggalnya. Mereka hidup di atas sebuah rumah yang menyatu dengan pohon tinggi menjulang. Bahkan, kabarnya salah satu rumah mereka ada yang tingginya mencapai 50 meter di atas tanah.
Citra “perumahan” mereka yang diambil dari ketinggian. [Image Source].Rumah-rumah ini dibangun di atas pohon-pohon yang kokoh sebagai tiang penyangga utama dan pondasi satu-satunya. Teknik pembuatannya primitif, namun jenius.
Lantainya hanya terbuar dari dahan kayu, sedangkan kulit pohon sagu menjadi dindingnya. Dedaunan yang lebar digunakan sebagai atap rumah mereka.
Tak ada paku atau semen sama sekali. Mereka hanya menggunakan tali rotan yang kuat untuk merekatkan material yang ada. Akses ke rumah mereka juga cukup ekstrem sebetulnya. Jalan masuk dan keluar satu-satunya adalah dengan menaiki tangga panjang berbahan ranting yang menjuntai dari atas ke bawah.
Baca: 50 Prajurit Kodim 0419/Tanjab Barat Dites Urine
Baca: Cucu Proklamator Gustika Jusuf Hatta Bikin Heboh, Sindir Capres Prabowo Soal Rencana Kejar Koruptor
Baca: Usai Rapat Kooridinasi Bersama KPK Begini Kata Fachrori Umar
Baca: Menolak Dimutasi, Anthon Akan Ungkap Benang Kusut di BPN Bungo, Tebo, Kota Jambi dan Tanjab Timur
Baca: Pasca Banjir, Penyakit DBD Menghantui Masyarakat Kabupaten Batanghari
Salah seorang anggota suku tengah memanjat ke rumahnya. [Image Source].Usut punya usut, ternyata rumah mereka adalah satu-satunya rumah di dunia yang didirikan di atas pohon setinggi itu.
Tujuan mereka mendirikan rumah dengan ketinggian tersebut tak lain adalah untuk berlindung dari ancaman hewan buas terutama ketika malam tiba.
Ada juga yang mengatakan kalau rumah tersebut dipancang di atas pucuk pohon sebagai tempat berlindung dari ancaman suku lainnya.
Hanya Makan Manusia Sesuai Adat
Berbeda dengan imajinasi kita mengenai kanibalisme seperti yang banyak terpengaruh dari film-film barat, suku Korowai punya aturan tersendiri dan sakral untuk dipatuhi dalam pemahaman mereka yang satu ini.
Raffaele tengah bercengkerama dengan Suku asli Korowai. [Image Source].Menurut penuturan seorang jurnalis yang bernama Paul Raffaele, yang berkunjung dan ikut menetap bersama suku primitif tersebut selama beberapa hari, kanibalisme yang dilakukan oleh suku ini berbeda dengan stereotip kita kebanyakan.
Tak sembarang manusia yang dibunuh lalu disantap, suku Korowai hanya mempraktikkan hal tersebut terhadap manusia yang mereka anggap menyimpang dari aturan dan kepercayaan mereka. Mereka yang ketahuan sebagai khakhua saja yang jadi target kanibalisme suku Korowai.
Apa itu Khakhua? Itu adalah bahasa mereka yang berarti penyihir atau dukun. Warga dari suku mereka atau suku sekitarnya yang dicurigai sebagai Khakhua akan diadili. Jika terbukti benar, orang tersebut akan dibunuh dan dimakan. Setiap bagian akan dibagikan secara merata, tungkai, lengan, badan, bahkan organ dalam seperti usus dan otak pun tak luput mereka makan.
Syarat lain untuk menjalankan praktik ini adalah apabila ada seorang warga yang sakit atau terluka parah hingga merasa tak bisa diselamatkan. Meski kedengarannya cukup mengerikan, namun menurut Raffaele, kanibalisme hanyalah suatu bentuk adat yang diwarisi secara turun temurun dan merupakan bagian dari sistem kehidupan mereka.
Itulah sekelumit kisah singkat dan eksplanasi mengenai Korowai, suku yang hidup di pelosok timur Papua sana. Sekadar diketahui, saat ini sudah banyak warga suku Korowai yang mulai membuka diri dan hidup membaur dengan masyarakat modern lainnya di Papua.