Misteri Supersemar - Kontroversi hingga Tiga Salinan Supersemar yang Beredar, Mana yang Asli?
Ketika Presiden Soekarno mengeluarkan Surat Perintah 11 Maret 1966 di Istana Bogor, Jawa Barat.
Soekarno mengatakan, Soeharto tidak berhak melakukan itu, walaupun ia menggenggam Supersemar.
Baca: Pendaftaran UTBK Sudah Dibuka Jumat 1 Maret 2019 - Perhatikan Syarat, Jadwal dan Tahapan SBMPTN 2019
Baca: Safrial Ikut Tanam Mangrove saat Jumat Bersih di Pelabuhan Roro, Ini Pesan yang Disampaikan
Pada 13 Maret 1966, Soekarno mengutus Wakil PM III Leimena untuk meminta pertanggungan jawab (kini pertanggungjawaban) Soeharto.
Namun, Soeharto tak menggubrisnya.
Jika pemuatan salinan Surat Perintah 11 Maret 1966, di harian Kompas, Senin, 14 Maret 1966, itu tidak sesuai aslinya, tentunya Soekarno akan mengoreksinya.
Pada 17 Maret 1966, Soekarno memerintahkan Chairul Saleh untuk membacakan pengumuman tertulis Soekarno bahwa Supersemar tidak berarti penyerahan kekuasaan dari Presiden ke Men/Pangad Letjen Soeharto malah menahan 15 menteri Kabinet Dwikora yang Disempurnakan dengan tuduhan terlibat dalam G30S.
Ironisnya, Chairul Saleh termasuk dalam daftar 15 menteri yang ditahan.
Sempat muncul desas-desus bahwa Soekarno dipaksa untuk menandatangani Supersemar.
Desas-desus itu dibantah oleh Mayjen Ibrahim Adjie di harian Kompas, 21 Maret 1966. Bantahan itu rasanya masuk akal.
Jika Soekarno berkeras bahwa Supersemar bukan penyerahan kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto, lalu mengapa ia harus dipaksa untuk menandatanganinya.
Dari laman Wikipedia, terdapat dua versi Supersemar.
Versi Presiden

Versi AD

Versi lainnya

Sampai saat ini Supersemar masih menjadi perdebatan.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Supersemar dan Kontroversinya", dan Wikipedia