Jenderal Sudirman Hanya Bisa 'Menimang' Anaknya 7 Bulan, ''Aku wis rila yen dipundut Sing Kagungan'
Karena curiga, maka jam lima pagi Pak Dirman dan Kolonel Bambang Supeno masuk ke hutan berjalan kaki.
Pak Dirman dipilih menjadi Panglima Besar pada 12 Nopember 1945.
Biarlah Pak Nas saja kami persilakan menceriterakan pemilihan itu di sini dengan kata-katanya yang bersahaja tanpa emosi; “Kemudian tanggal 12 November 1945 dilakukan pemilihan Panglima Besar di Yogya oleh komandan-komandan TKR. Hanya karena keadaan, maka komandan-komandan yang hadir kebanyakan adalah dari Jawa Tengah, karena Jawa Timur sedang bertempur, Jawa Barat sebagian besar tak dapat datang, apalagi komandan-komandan Sumatera.

Pemilihan ini menghasilkan pemilihan Kolonel Sudirman, Panglima Divisi V dari Banyumas. Hasil pemilihan ini disahkan oleh Kabinet Syahrir pada 18 Desember 1945.
Jenderal Sudirman terkenal karena cara perebutan kekuasaan (dari tangan Jepang) adalah salah satu teladan kesempurnaan dan oleh beliau alat-alat ini, yang lebih daripada kecukupan satu resimen, dibagi-bagikan kepada pelbagai medan pertempuran.
Dan pasukan-pasukan Banyumas dengan pimpinan Kolonel Gatot Subroto mempunyai bagian yang penting dalam perebutan Banyubiru dan Ambarawa kemudian. Dewasa itu belum dikenal oleh Pemerintah bagaimana keahlian dan pengaruh para perwira. Maklum, tentara baru lahir dan dilahirkan secara setempat.
Pemimpin yang diperlukan adalah pertama yang terkenal dan dihormati. Dan cara memilih ini dipraktikkan di kebanyakan daerah . . . "
Demikian tulis Jenderal Nasution dalam bukunya Catatan-catatan sekitar politik militer di Indonesia.
Kolonel Dokter Suwondo yang merawat Pak Dirman selama gerilya dan sebelumnya, mengatakan bahwa Pak Dirman gemetar ketika terpilih. Suatu pertanda bahwa beliau menyadari sungguh-sungguh betapa berat tugas yang akan dipikulnya.
“Pak Dirman terpilih terutama juga karena dipandang oleh rekanannya sebagai tokoh yang mampu menjadi tenaga pemersatu,” demikian kata Pak Wondo sambil minum kopi pagi di Wisma Tani, Pasar Minggu, dalam bulan Juni yang baru lalu.
Antara tugas dan cinta
Ketika terpilih itu, Pak Dirman berusia 35 tahun. Jadi dapatlah dikatakan sedang berada pada puncak perkembangan tenaganya. Akan tetapi rupanya tugas yang dipikulnya dengan penuh tanggung jawab banyak menghisap kekuatannya.
Dan akhirnya Pak Dirman jatuh sakit, sehingga sebuah paru-parunya terpaksa dinon-aktifkan, tetapi tidak diambil seperti kata kebanyakan orang.
Bu Dirman juga mengatakan, bahwa Pak Dirman kerapkali minta kepadanya, supaya membetulkan kekhilafan orang dalam hal ini.
Belum sepenuhnya sembuh, Pak Dirman sudah harus mengembangkan kekuatan istimewa dalam keadaan serba susah, sulit dan kekurangan selama bergerilya.
“Menurut Prof Asikin, jika Pak Dirman tahan sampai bulan Februari 1950, maka kemungkinan besar beliau akan dapat terus mengatasi penyakitnya. Akan tetapi sebelum bulan Januari habis . . . ", demikian kata Bu Dirman tanpa menjelesaikan kalimatnya.