Jenderal Sudirman Hanya Bisa 'Menimang' Anaknya 7 Bulan, ''Aku wis rila yen dipundut Sing Kagungan'
Karena curiga, maka jam lima pagi Pak Dirman dan Kolonel Bambang Supeno masuk ke hutan berjalan kaki.
Meskipun belum sama sekali sembuh dan sampai saat itu sudah berbaring selama tiga bulan. Namun, ketika mendapat laporan bahwa suasana genting (sehari sebelum Belanda menjerang Yogya), Pak Dirman seketika mengeluarkan pengumuman resmi memegang kembali pimpinan, dan hari berikutnya mulai naik turun gunung, menyusup desa-desa dan hutan tujuh bulan lamanya sebagai pemimpin tertinggi pasukan gerilya.
Kepala keluarga dengan banyak tanggungan
Pak Dirman bukan saja Bapa Angkatan Perang, Bapa Gerilya, akan tetapi juga Bapa Keluarga. Tentu berat sekali juga rasanya ketika beliau harus meninggalkan keluargaya selama waktu yang tak tertentu dalam keadaan yang tak menentu.
“Di mana bu, ibu sekeluarga pada waktu itu?" tanya kami kepada Ibu Sudirman, yang kini tinggal di Jalan I Dewa Nyoman Oka (Batanawarsa) 30A, Yogyakarta, tidak jauh dari Masjid Syuhada.
“Oleh Sri Sultan, ibu sekeluarga diperkenankan bertempat tinggal di Mangkubumen, itu rumah yang sekarang ditempati Fakultas Kedokteran. Di tempat itu juga si bungsu lahir. Jadi Pak Dirman sendiri tidak dapat menyaksikan kelahiran puteranya yang terakhir. Ya, yang terakhir karena sembilan bulan kemudian Pak Dirman wafat. Beliau hanya dapat menimangnya selama tujuh bulan. Kini ia duduk di kelas dua Sekolah Menengah. Wajah ayahnya hanya dikenalnya betul dari foto dan patung-patung.”
Ketika itu pandangan penulis hinggap di patung dada yang sedang besarnya berwarna putih kekuning-kuningan di ruangan kamar tamu tidak jauh dari tempat duduknya: Pak Dirman sebagai gerilyawan.
Keluarga Pak Dirman termasuk keluarga cukup besar. Puteranya tiga orang, dan puterinya empat: semua masih kecil ketika ayah mereka berpulang. Yang sulung, laki, dan kini bekerja di Yayasan Sudirman di Jakarta, waktu itu baru duduk di kelas lima Sekolah Dasar.
“Anak dapat membayangkan sendiri, bagaimana perasaan ibu pada waktu itu: seorang janda dengan tujuh orang anak, semuanya masih kecil. Untunglah, bahwa anak-anak dari Angkatan Perang selalu memberi bantuan kepada ibu, karena juga baru dua tahun kemudian ibu dapat menerima pensiun. Maklum, keadaan masih serba belum teratur . . . "
Bu Dirman terdiam sejurus.
Rupanya, ia teringat akan suasana sedih beberapa tahun yang telah silam. Kepindahan Bu Dirman dari rumah di Jalan Widoro, yang disediakan oleh Pemerintah bagi keluarga Jenderal Sudirman sesudah clash II, antara lain memang juga untuk mengurangi kenangan pahit itu.
“Baru saja kami ditinggalkan tujuh bulan lamanya, dan baru saja dapat berkumpul kembali kurang dari tujuh bulan kemudian sudah harus berpisah lagi untuk selama-lamanya."
Pak Dirman tidak wafat di rumahnya di Jalan Widoro, Yogya, melainkan di rumah peristirahatan Magelang.
“Ketika itu hari Minggu. Pak Dirman nampak seperti biasa; malahan bersenda-gurau dengan anak-anak. Hanya disela-sela itu terlontar kata-kata: 'Aku wis rila yen dipundut Sing Kagungan . . . . ! (Aku telah rela jika Tuhan memanggilku). Sesudah beberapa lama omong-omong dan bersenda-gurau dengan bapanya, anak-anak mengajak ibu keluar sebentar jalan-jalan. Tetapi tidak lama kemudian ada susulan dari dokter Malyo supaya ibu masuk ke kamar Pak Dirman. Hari itu juga beliau wafat dengan tenang: 29 Januari 1950."
Tokoh pemersatu
Dalam tahun itu, genap 14 tahun Pak Dirman membangun keluarga, dan sebenarnya dapat memperingati genap lima tahun mendapat kedudukan Panglima Besar.