Jenderal Sudirman, Kisah Hidup Pengorbanan Total Hingga Dimanfaatkan Para Presiden

Jelang Pemilu, partai-partai politik biasanya berlomba menebar pesona. Para "pemimpin" dadakan pun bermunculan ini.

Editor: Leonardus Yoga Wijanarko
Panglima Besar Jenderal Sudirman 

Namun di sisi lain, keputusan untuk tetap tinggal di Yogyakarta merupakan keputusan kabinet. Lagi pula menurut T.B. Simatupang, bila Sukarno-Hatta ikut bergerilya, diperlukan pengawal yang sangat banyak untuk menjaga keselamatannya.

Baca: Harmoni Dalam Komunitas Orang Rimba, Kisah Perkawinan Lintas di Jambi

Mungkin sampai satu batalion dan kita tidak memiliki personil sebanyak itu khusus untuk keperluan tersebut. Tertawannya para pemimpin oleh Belanda di sisi lain membuat peluang untuk berunding selalu tersedia ketimbang berada di tengah rimba.

Hari Minggu tanggal 19 Desember 1948, ibukota negara Yogyakarta jatuh ke tangan Belanda. Panglima Besar Jenderal Sudirman yang sedang sakit menolak anjuran Presiden Sukarno untuk tetap berada di dalam kota untuk istirahat dan berobat.

Sebaliknya, Sudirman memutuskan untuk meneruskan perjuangan bersenjata prajuritnya dengan dukungan rakyat. Setelah mengeluarkan Surat Perintah Kilat (dikenal sebagai Perintah Siasat No. 1/Stop/1948) kepada seluruh prajurit yang disiarkan melalui RRI Yogyakarta, ia meninggalkan kota.

Panglima Besar Jenderal Soedirman
 

Sesuai dengan rencana, Jenderal Sudirman akan memusatkan perlawanan dari Kota Kediri. Tanggal 20 Desember 1948 dari kelurahan Grogol, ia harus naik tandu yang diusung secara bergantian oleh penduduk setempat.

Perjalanan menuju Kediri dilalui dalam beberapa etape. Dalam perjalanan gerilya tersebut, pada tanggal 31 Maret menjelang 1 April 1949, rombongan sampai di rumah Karsosemito di Dukuh Sobo, Pakis, Nawangan, Pacitan.

Sebelumnya, karena perjalanan masih menuruni tebing gunung yang curam, atas permintaan Kepala Desa Pakis, rombongan Sudirman berhenti di punggung Gunung Gandrung untuk mengganti tenaga pendukung tandu, sekaligus memperbaiki tali temali pengikat kursi tandu.

Dalam perjalanan menuju Sobo, Jenderal Sudirman mengenakan destar hitam di kepala, berbaju kaos tebal yang dilapisi jas hujan, sebuah keris terselip di pinggang, memakai selop, duduk di atas tandu sambil memegang tongkat.

Sobo ternyata menjadi tempat Jenderal Sudirman memimpin gerilya paling lama sebelum kembaii ke Yogyakarta (1 April 1949 - 7 Juli 1949).

Baca: Mengintai Gempa Donggala Pakai Satelit Perancis, Lihat Beda Garis Pantai Sesudah dan Sebelum

Setelah kesepakatan Roem-Royen ditandatangani, pemerintahan dikembalikan ke Yogyakarta. Namun Sudirman masih enggan turun dari markasnya. Gatot Subroto menulis surat untuk membujuk sang jenderal.

Letkol. Soeharto yang didampingi fotografer Frans Mendur (IPPHOS) dan wartawan Rosihan Anwar ditugaskan menjemput Jenderal Sudirman dari markasnya di daerah Wonosari.

Esok harinya, Frans Mendur  ikut rombongan Sudirman yang bertolak menuju Yogyakarta. Dalam perjalanan menembus hutan dan bukit inilah ia membuat seri foto terkenal yang menggambarkan Sudirman ditandu prajuritnya.

Di Yogyakarta, Sukarno dan Hatta menanti di beranda depan kediaman Presiden yang luas.

" Ketika kami tiba, suasana sangat  tegang," tutur Tjokropranolo, pengawal pribadi Sudirman. Sudirman hanya berdiri kaku dengan sebelah tangannya memegang tongkat, lalu Sukarno merangkul sosok yang ringkih itu.

Halaman
1234
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved