2 Tahun Usai Reformasi 98, "Kalau Memegang Uang Soeharto Jadi Sial"
Semenjak Presiden Soeharto mundur pada 21 Mei 1998, segala hal yang berhubungan dengan Soeharto seolah-olah tak laku lagi.
Harmoko menyanggupinya dan menjanjikan akan mengatakan hal itu kepada Soeharto pada malam harinya.
"Benar, Harmoko kemudian datang menemui Mas Harto," ucap Probosutedjo
Pagi harinya, Harmoko menelepon Probosutedjo. Namun justru kabar yang tak diharapkan itu datang.
Baca: Hartini Kaget saat Soeharto Tunjuk Langit, Semenit Kemudian Hujan Turun
Harmoko mengungkapkan bahwa ia telah gagal mencegah Soeharto pergi ke Mesir.
Tak hanya itu, Harmoko juga mengatakan kepada Soeharto bahwa Probosutedjo lah yang meminta agar ia tak berangkat ke Mesir.
"Saat itu saya katakan kepada Harmoko, kenapa tidak bilang rakyat yang menginginkan. Harmoko tak menjawab. Maka, pergilah Mas Harto," tutur Probosutedjo.
Tak dapat dicegah, Soeharto pun tetap berangkat ke Mesir
Namun, kekhawatiran Probosutedjo kemudian terbukti.
Pada 12 Mei 1998, terjadilah peristiwa Trisakti, peristiwa mencekam dan berdarah terjadi di kampus Universitas Trisakti, Grogol, Jakarta Barat.
Empat mahasiswa tewas dalam penembakan terhadap peserta demonstrasi yang melakukan aksi damai.
Sedangkan korban luka mencapai 681 orang dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia.
Baca: Kelompok yang Diduga Aliran Sesat Muncul Lagi di Muarojambi
Tragedi Trisakti menjadi simbol dan penanda perlawanan mahasiswa terhadap pemerintahan Orde Baru.
Menurut Probosutedjo, Tragedi Trisakti sangat mengejutkan. Apalagi dua hari setelah itu terjadi kerusuhan yang besar.
Hari itu pula, Probosutedjo menelepon Soeharto dan menceritakan kondisi di Jakarta.
"Saya akan segera kembali. Tanggal 15 Mei sudah ada di Jakarta," kata dia menirukan jawaban Pak Harto.
Enam hari pasca menginjakkan kaki di Indonesia, tekanan kepada Soeharto kian dahsyat.
Baca: Ketika Strategi Penggulingan Ahok Dibocorkan Prabowo, Ketua Progress 98: Makin Suram
Gerakan mahasiwa menduduki Gedung MPR-DPR menuntut bapak Orde Baru itu lengser.
Akhirnya, pada 21 Mei 1998, Soeharto mengumumkan diri mundur dari kursi presiden setelah 32 tahun mendudukinya.
Pidato pengunduran diri Soeharto dibacakan di Istana Merdeka sekitar pukul 09.00 WIB.
Dalam pidatonya, Soeharto mengakui bahwa langkah ini dia ambil setelah melihat "perkembangan situasi nasional" saat itu.
Tuntutan rakyat untuk mengadakan reformasi di segala bidang, terutama permintaan pergantian kepemimpinan nasional, menjadi alasan utama mundurnya Soeharto.
"Saya memutuskan untuk menyatakan berhenti dari jabatan saya sebagai Presiden Republik Indonesia, terhitung sejak saya bacakan pernyataan ini pada hari ini, kamis 21 Mei 1998," ujar Soeharto, dilansir dari buku Detik-detik yang Menentukan, Jalan Panjang Indonesia Menuju Demokrasi (2006) yang ditulis Bacharuddin Jusuf Habibie.
Dengan pengunduran diri ini, Soeharto menyerahkan kekuasaan kepresidenan kepada Wakil Presiden BJ Habibie.
"Sesuai dengan Pasal 8 UUD ’45, maka Wakil Presiden Republik Indonesia Prof H BJ Habibie yang akan melanjutkan sisa waktu jabatan Presiden Mandataris MPR 1998-2003," ucap Soeharto.
Artikel ini telah tayang di surya.co.id dengan judul Baru 2 Tahun Reformasi, Uang Bergambar Soeharto Ditolak Sejumlah Pedagang, 'Gak Laku,', http://surabaya.tribunnews.com/2018/09/14/baru-2-tahun-reformasi-uang-bergambar-soeharto-ditolak-sejumlah-pedagang-gak-laku?page=all.
Penulis: Putra Dewangga Candra Seta
Editor: Adrianus Adhi