Negara Timur Tengah Bersiap Ubah Orientasi Ekonomi
Seiring melorotnya harga minyak dunia ke level terendah dalam tiga dekade terakhir, negara-negara
TRIBUNJAMBI.COM, RIYADH - Seiring melorotnya harga minyak dunia ke level terendah dalam tiga dekade terakhir, negara-negara pengekspor minyak di Timur Tengah berencana melakukan reformasi terhadap perekonomian mereka.
Langkah ini ditujukan agar mereka dapat bertahan di tengah rendahnya pendapatan minyak dan mempersiapkan diri untuk masa depan.
Seperti yang diketahui, pada Jumat (23/1) lalu, harga minyak dunia mencatatkan kenaikan sebesar 7% ke atas level US$ 31. Salah satu pendorongnya adalah badai musim dingin yang menyapu Amerika dan Eropa. Kendati begitu, produsen minyak masih mengalami kerugian besar akibat anjloknya harga minyak dari posisi US$ 114 per barel pada Juni 2014 ke level saat ini.
Itu sebabnya, pertanyaan mengenai diversifikasi ekonomi yang sebelumnya berbasis minyak mulai muncul di Timur Tengah. Ada tekanan agar ekonomi Timur Tengah mengurangi ketergantungan mereka terhadap minyak.
Suhail Bin Mohammed Al Mazrouei, Menteri Energi Uni Emirat Arab (UEA) mengatakan, negaranya berencana mengubah ketergantungan perekonomian mereka dari minyak.
"Di UEA, kami melakukan diversifikasi sumber daya energi. Kita juga melakukan diversifikasi sumber pendapatan. Kami membangun ekonomi, dan dari tahun ke tahun, kami melihat kontribusi dari ekonomi non minyak terus tumbuh," jelasnya.
Dia juga menjelaskan, pemerintah UEA akan menggelar pertemuan untuk mendiskusikan mengenai perkembangan ekonomi. Sehingga, dampak dari fluktuasi harga minyak tidak akan mempengaruhi anggaran belanja UEA dan negara bagiannya.
"Kami juga banyak melakukan investasi di luar UEA. Dan saya rasa, secara kolektif, kami dapat mengatasi transisi di mana pendapatan dari industri minyak merupakan sebuah kemewahan atau keuntungan tambahan yang akan diinvestasikan kembali, buka sebagai kontributor utama dalam anggaran kami," paparnya.
Kesalahan Arab Saudi?
Sejumlah pihak menilai, Arab Saudi, pimpinan OPEC, memiliki peranan besar dalam anjloknya harga minyak dunia. Sebab, Arab Saudi menentang dilakukannya pemangkasan produksi minyak di tengah membludaknya suplai emas hitam. Langkah ini diambil Arab Saudi sebagai strategi untuk menekan bisnis minyak perusahaan non-OPEC yang memiliki biaya produksi lebih mahal.
Meski demikian, kebijakan ini juga memukul bisnis produsen minyak anggota OPEC. Enam negara produsen minyak yang terdiri atas Arab Saudi, Kuwait, Bahrain, Oman, Qatar, dan UEA, berencana memberlakukan pajak penjualan untuk kali pertama di tengah penurunan harga minyak.
Kebijakan ini diambil setelah mereka mengalami defisit pada anggaran belanja akibat melorotnya pendapatan minyak. Tidak hanya itu, negara-negara seperti UEA juga mencabut pemberlakuan subsidi minyak.
Al Mazrouei memiliki pendapat berbeda. Menurutnya, OPEC tidak dapat disalahkan atas melimpahnya cadangan minyak dunia.
"OPEC hanya memproduksi sepertiga dari seluruh produksi dunia. Dua pertiganya berasal dari negara-negara lain dunia. Negara-negara lain menambah kapasitas minyak sebanyak 2,7 juta barel. Pada dasarnya, mereka yang membanjiri pasar," paparnya.
Di luar kondisi itu, Al Mazrouei optimistis pasar minyak akan seimbang dengan sendirinya. "Waktunya pun tidak akan lama lagi," imbuhnya.