MENGENANG Sang Penakluk Tujuh Puncak Dunia, Norman Edwin yang Meninggal di Puncak Aconcagua

TRIBUNJAMBI.COM- "Ingatan terakhir saya mengenai kehadiran almarhum adalah ketika beliau berpamitan

Editor: ridwan
ist
Tiga mahasiswi Universitas Parahyangan (Unpar) Bandung, Jawa Barat, yang tergabung dalam tim The Women of Indonesia Seven Summits Expedition Mahitala Unpar (Wissemu) mengibarkan bendera di puncak gunung Aconcagua, Argentina. 

TRIBUNJAMBI.COM- "Ingatan terakhir saya mengenai kehadiran almarhum adalah ketika beliau berpamitan beberapa hari sebelum keberangkatan ke Aconcagua.

Waktu itu sepertinya beliau sudah dapat 'merasakan' bahwa itu adalah terakhir kalinya kita akan bertemu karena salam perpisahannya sedikit lebih emosional dibandingkan perpisahan sebelumnya.

Setelah kepergiannya, saya ingat, saya sempat mendapatkan sebuah kiriman kartu pos dari beliau yang diposkan dari Mendoza (Argentina)".

Baca: BREAKING NEWS: Ratna Sarumpaet Divonis 2 Tahun Penjara, Hakim Sebut Kebohongannya Buat Onar

Begitulah e-mail balasan Melati, putri tunggal Norman Edwin, pada pertengahan Desember lalu, mencoba mengingat kehadiran dan kontak terakhir dengan sang ayah sebelum akhirnya harus berpisah selamanya.

Ya, Norman Edwin, yang dikenal sebagai pionir petualangan dan pendakian tujuh puncak dunia di Indonesia, ditemukan meninggal hanya beberapa ratus meter dari puncak Aconcagua (6.962 meter di atas permukaan laut), Argentina, pada April 1992, saat putri kebanggaannya, Melati, baru berusia 7 tahun.

Baca: Download MP3 Lagu Cinta Dewa 19 Cover Afgan, Isyana, dan Rendy Pandugo hingga Liriknya

Tak heran, jika menyebut nama Aconcagua, puncak tertinggi di Amerika Selatan, seperti tak bisa terlepas dari sosok Norman Edwin yang saat itu meninggalkan inisial NOR sebagai wartawan Kompas.

Selain tersohor sebagai petualang alam bebas, Norman juga dikenal akan tulisannya yang menggugah semangat petualangan yang tersebar di berbagai media cetak selain Kompas, seperti Mutiara, Suara Alam, dan Suara Pembaruan.

Norman meninggal bersama Didiek Samsu, rekannya sesama Mapala Universitas Indonesia, saat mencoba menjejakkan kaki di puncak Aconcagua atau puncak kelima dari tujuh yang tertinggi di dunia.

Baca: Usia Jungkook BTS 15 Tahun Saat Debut, Suga Terharu Melihatnya Dewasa Seperti Membesarkan Anak

Jenazah Norman ditemukan di Canaleta pada ketinggian 6.600 mdpl atau sekitar 300 meter di atas jasad Didiek.

Saat itu, Mapala UI berhasil mencapai empat puncak lain, yaitu Carstensz Pyramid di Papua (4.884 mdpl), Kilimanjaro di Tanzania, Afrika (5.892 mdpl), Elbrus di Rusia (5.642 mdpl), dan McKinley di Alaska, AS (6.194 mdpl).

Selain Norman dan Didiek, pendakian ke Aconcagua yang dilakukan Mapala UI pada pertengahan Februari 1992 juga diikuti Rudy "Becak" Nurcahyo, Mohammad Fayez, dan Dian Hapsari.

Baca: Terjerat Kasus Penyebaran Berita Palsu (Hoax) Ratna Sarumpaet Divonis 2 Tahun Penjara

Berdasarkan kliping berita Kompas, kelima anggota ekspedisi Mapala UI ini telah mendaki pada 12-27 Februari 1992 melalui jalur Gletser Polandia ke arah Plaza Argentina, yang lebih sulit dibandingkan dengan rute normal.

Namun, terjadi kecelakaan yang menimpa Fayez sehingga semuanya harus turun kembali. Selain Fayez yang harus dirawat di rumah sakit, Norman dan Rudy juga harus diamputasi jari-jarinya dan menjalani perawatan karena terkena radang beku (frostbite).

Setelah kejadian itu, Fayez dan Dian pulang ke Jakarta lebih dulu, Rudy masih dirawat di rumah sakit di Santiago, Cile, sedangkan Norman dan Didiek merencanakan pendakian ulang Aconcagua melalui rute normal pada 11-21 Maret 1992.

Baca: Ngeri, Buaya Tiba-tiba Jatuh dari Atap Rumah Warga, Fakta-faktanya Petugas Sampai Sulit Menangkap

Dalam pendakian ulang ini, musibah yang menggegerkan dunia petualangan Indonesia itu terjadi.

Halaman
123
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved