Berita Nasional

Saat Hakim Korup Protes Dituntut Maksimal oleh Jaksa, Inginnya Divonis Ringan

Dua mantan hakim yang terjerat kasus suap vonis lepas atau ontslag kepada tiga korporasi crude palm oil (CPO), dituntut maksimal oleh jaksa.

Editor: Suci Rahayu PK
Istimewa
Hakim nonaktif Djuyamto dalam sidang di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu (5/11/2025) 

Mereka berada dalam posisi petinggi pengadilan yang menentukan majelis hakim yang akan mengadili perkara. 

“Padahal Muhammad Arif Nuryanta dan Rudi Suparmono memiliki kesamaan dalam hal ini yaitu tidak berkapasitas sebagai majelis hakim yang memeriksa dan mengadili perkara,” lanjut pengacara Arif. 

Pada akhirnya, Rudi divonis sesuai tuntutan, yaitu 7 tahun penjara.

Baca juga: Daftar Wilayah Mati Listrik dan Hilang Sinyal saat Hujan di Jambi Tadi Malam

Dalam konstruksi dakwaan jaksa, baik Arif dan Rudi sama-sama dinilai berperan untuk mempengaruhi majelis hakim untuk menjatuhkan putusan seperti yang diminta oleh pihak penyuap. 

Namun, dalam kasus Arif, ia membantah berperan aktif dan justru menyalahkan Panitera Muda PN Jakarta Utara nonaktif, Wahyu Gunawan sebagai pihak yang memungkinkan suap terjadi.

Dalam amar dupliknya, Arif Nuryanta meminta agar ia dijatuhkan hukuman sesuai dakwaan alternatif ketiga, yaitu Pasal 5 Ayat (2), yang juga dulu dituntutkan kepada Rudi Suparmono. 

“Memohon agar majelis hakim menyatakan terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana yang diatur dan diancam pidana dalam Pasal 5 Ayat (2) UU Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan tindak pidana korupsi,” kata Philipus. 

Atau, jika hakim berpendapat lain, Arif Nuryanta meminta agar ia bisa dihukum dengan hukuman yang seringan-ringannya dan seadil-adilnya.

Protes serupa juga disampaikan oleh kubu Djuyamto. Ia menilai, tuntutan 12 tahun merupakan hal yang tidak adil. 

Kubu Djuyamto menilai, jaksa tidak punya hati nurani karena menuntut maksimal para terdakwa. 

“Bahwa JPU telah menuntut terdakwa Djuyamto terbukti melanggar Pasal 5 Ayat (2) jo Pasal 18 jo Pasal 55 UU Tipikor dengan pidana penjara selama 12 tahun dengan denda uang pengganti sebesar Rp 9,5 miliar subsider 5 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider 6 bulan adalah tuntutan yang tidak memiliki hati nurani dan jauh dari rasa keadilan,” ujar pengacara terdakwa Djuyamto saat membacakan duplik dalam sidang di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu (19/11/2025). 

Pengacara menyebutkan, jaksa tidak punya hati nurani karena tidak mempertimbangkan sikap kooperatif Djuyamto selama penyidikan.

Djuyamto mengklaim, dirinya telah mengajak dua terdakwa hakim lainnya, Ali Muhtarom dan Agam Syarif Baharudin untuk membuka soal jumlah uang suap yang diterimanya.

“Sikap kooperatif terdakwa selama proses penyidikan yang ikut mendorong terdakwa yang lain khususnya saksi mahkota Ali Muhtarom dan Agam Syarif Baharudin untuk membuka kotak Pandora yang masih menjadi misteri khususnya terhadap jumlah uang yang nyata-nyata telah diterima oleh terdakwa dan rekan sesama majelis hakim perkara minyak goreng,” lanjut pengacara. 

Lebih lanjut, Djuyamto mengklaim sudah mengembalikan seluruh uang suap yang diterimanya, yaitu sekitar Rp8,05 miliar.

Sumber: Tribun Jambi
Halaman 2/3
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved