Berita Nasional
Gelar Pahlawan Soeharto Prematur, Putri Gus Dur: Klarifikasi Rekam Jejak Masa Lalu, Rekonsiliasi
Alissa Qotrunnada Wahid, Direktur Nasional Jaringan Gusdurian, yang secara tegas menyebut gelar Pahlawan Nasional Soeharto prematur.
Penulis: Darwin Sijabat | Editor: Darwin Sijabat
TRIBUNJAMBI.COM - Pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden RI ke-2 , Soeharto, memantik respons tajam dari kalangan aktivis kemanusiaan.
Salah satunya adalah Alissa Qotrunnada Wahid, Direktur Nasional Jaringan Gusdurian, yang secara tegas menyebut pemberian gelar pahlawan nasional itu prematur.
Alissa Wahid menekankan negara masih memiliki "pekerjaan rumah" (PR) besar yang belum tersentuh terkait rekam jejak kepemimpinan Orde Baru.
Menurutnya, gelar kepahlawanan tidak bisa diberikan tanpa proses penyelesaian masa lalu yang adil.
Tiga Pilar Kriteria Pahlawan yang Belum Terpenuhi
Dalam wawancara khusus dengan Tribunnews pada Senin (10/11/2025), putri dari mendiang Presiden ke-4 RI, Abdurrahman Wahid (Gus Dur), ini menggarisbawahi tiga kriteria fundamental.
Tiga kriteria itu yang bahkan termaktub dalam undang-undang, untuk seorang Pahlawan Nasional:
1. Integritas Moral
Bagaimana seseorang dihargai menjadi pahlawan karena integritas moralnya.
2. Pengorbanan Diri
Kesediaan untuk mengorbankan diri demi memperjuangkan integritas moral tersebut.
Baca juga: Gus Mus Tolak Keras Gelar Pahlawan Soeharto, Ingatkan Tragedi Orba: Banyak Kiai Dimasukin ke Sumur
Baca juga: Mission Success! 4 Polisi Bongkar Jaringan Penculik Anak Makassar-Jambi dan Selamatkan Bilqis
Baca juga: Roy Suryo Cs Tersangka, PSI Minta Stop Tuduh Jokowi Kriminalisasi Hukum: Punya Hak Dilindungi
3. Kesejahteraan Rakyat
Perjuangan tersebut harus ditujukan untuk kepentingan rakyat banyak.
"Dari tiga hal ini, menurut kami ada banyak PR terkait dengan Presiden Soeharto," tegas Alissa. "Selama PR itu belum diselesaikan, maka sebetulnya kita belum bisa untuk menyebut beliau sebagai pahlawan nasional, karena ada banyak pihak yang mereka menjadi korban dari kebijakan-kebijakan yang diambil oleh Presiden Soeharto."
Jalan Memaafkan Harus Didahului Kebenaran
Alissa Wahid kemudian mengingatkan kembali upaya yang sempat digagas pada masa kepemimpinan Presiden BJ Habibie, yaitu pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR).
Komisi ini, yang bahkan sempat mempelajari model di Afrika Selatan, dimaksudkan sebagai jembatan untuk menyembuhkan luka sejarah bangsa.
Ia mengapresiasi visi ayahnya, Gus Dur, yang selalu menyatakan bahwa pemakluman atau 'memaafkan' Pak Soeharto harus melalui proses rekonsiliasi, Kebenaran dan Rekonsiliasi itu.
Alissa mencontohkan model yang diterapkan Nelson Mandela pasca-apartheid di Afrika Selatan sebagai patokan ideal.
Dalam model itu, pihak yang diduga melakukan pelanggaran HAM harus menjalani proses pengadilan.
"Setelah kemudian dibuktikan dan mengakui—jadi, kebenarannya itu sudah muncul—maka semua keluarga korban juga diminta untuk memaafkan. Itu membuat kemudian integrasinya, jadi masa fase sejarah itu selesai," papar Alissa.
Menurutnya, proses klarifikasi seperti itu sangat penting agar korban tidak merasa dikhianati dan pengorbanan mereka dihargai.
Dengan mengakui status mereka sebagai korban, keluarga korban diberikan ruang yang bermartabat untuk menutup bab kelam tersebut sebelum bangsa melangkah maju secara progresif.
Baca juga: Eks Pegawai KPK Kecam Keras Gelar Pahlawan Nasional Soeharto: Cederai Semangat Anti-Korupsi
Baca juga: Mencekam! Duel Celurit Geng Motor di Jambi Viral, Satu Korban Terluka, Polisi Bertindak Cepat
"Yang korban tidak merasa dikhianati dan dihargai pengorbanannya; keluarga korban itu dihargai bahwa mereka menjadi korban, tetapi juga pada saat yang sama, mereka kemudian bisa menutup bab itu, kemudian maju ke langkah yang lebih progresif menuju kemajuan negaranya," imbuhnya.
Prioritas: Klarifikasi Rekam Jejak Sebelum Gelar
Dengan kondisi sejarah yang masih menyisakan perdebatan dan luka, Alissa Wahid menegaskan bahwa prioritas pertama yang harus dilakukan negara bukanlah terburu-buru memberikan gelar kehormatan.
Sebaliknya, klarifikasi dan penyelesaian masa lalu melalui proses yang adil bagi semua pihak, terutama para korban, adalah langkah awal yang mutlak.
"Jadi, itu dulu yang harus diklarifikasi, justru," pungkas Alissa Wahid, seolah menuntut pertanggungjawaban sejarah sebelum rekonsiliasi politik dapat terlaksana.
Berikut petikan wawancara khusus dengan Aktivis kemanusiaan dan Direktur Nasional Jaringan Gusdurian sekaligus putri sulung Presiden keempat RI Gus Dur, Alissa Qotrunnada Wahid bersama Tribunnews;
Mungkin Anda pasti juga menyuarakan hal ini, karena di pemberian Gelar Pahlawan Nasional tahun ini mendapat sorotan, karena ada sejumlah penolakan dari kelompok masyarakat terkait dengan pemberian Gelar Pahlawan Nasional untuk Presiden Kedua Republik Indonesia, Soeharto.
Bagaimana orang dihargai menjadi pahlawan, itu karena integritas moral. Karena apa namanya kesediaan untuk mengorbankan dirinya untuk memperjuangkan integritas moral tersebut.
Lalu bagaimana perjuangan tersebut itu adalah untuk rakyat banyak. Nah, dan sebetulnya ini ada dalam undang-undang juga terkait dengan pemberian gelar pahlawan nasional ini menurut kami ada banyak PR terkait dengan Presiden Soeharto.
Nah, selama PR itu belum diselesaikan, maka sebetulnya kita belum bisa untuk menyebut beliau sebagai pahlawan nasional, karena ada banyak pihak yang mereka menjadi korban dari kebijakan-kebijakan yang diambil oleh Presiden Soeharto.
Itu dulu yang harus diklarifikasi. Pada saat beliau menjadi presiden, beliau membuat Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Beliau selalu menyatakan bahwa kita harus, pada akhirnya kita akan memaafkan Pak Soeharto, tapi harus melalui proses rekonsiliasi, Kebenaran dan Rekonsiliasi itu.
Itu bahkan sudah dibentuk timnya, jadi komisinya itu sudah dibentuk, sudah dikirim ke Afrika Selatan untuk belajar dari Komisi Kebenaran, Keadilan, dan Rekonsiliasi yang dibuat oleh Nelson Mandela pada saat mereka selesai dari apartheid.
Nelson Mandela itu membuat sebuah konsep pendekatan di mana semua pihak yang melakukan pelanggaran HAM itu masuk dulu ke pengadilan.
Setelah kemudian dibuktikan dan mengakui. Jadi, kebenarannya itu sudah muncul maka semua keluarga korban juga diminta untuk memaafkan. Itu membuat kemudian integrasinya, jadi masa fase sejarah itu selesai.
Yang korban tidak merasa dikhianati dan dihargai pengorbanannya; keluarga korban itu dihargai bahwa mereka menjadi korban, tetapi juga pada saat yang sama, mereka kemudian bisa menutup bab itu, kemudian maju ke langkah yang lebih progresif menuju kemajuan negaranya.
Sayangnya, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi itu waktu itu kemudian tidak dilanjutkan pada zaman Ibu Megawati, jadi memang tidak ada proses pengungkapan kebenarannya.
Ketika proses pengungkapan kebenarannya ini tidak ada sementara catatan dari pihak-pihak yang menjadi korban, kebijakan yang diambil oleh presiden Soeharto ini kan kemudian menjadi luka-luka lama yang sebetulnya belum sepenuhnya pulih itu, jadi meradang. Kita masih punya PR soal itu.
Lebih kesana kami penolakannya itu. Lebih ke kriteria pahlawan nasional, itu ditentukan lebih konsisten, lalu kedua kalau masih ada PR luka-luka sejarah itu dulu yang harus diselesaikan.
Kalau kita tidak terbiasa menutup luka secara baik, luka sejarah bangsa secara baik maka ke depan hal-hal itu akan berulang terus dan ini lebih berbahaya.
Barangkali hal-hal semacam ini kenapa terus berulang di Indonesia ya karena kita tidak belajar, belum selesai nih kita belajarnya. Kan kata orang bijak ‘sebuah pelajaran kehidupan itu akan berulang terus sampai kita memang kita mau berubah’.
Simak berita terbaru Tribunjambi.com di Google News
Baca juga: Link Donwolad Kalender 2026 dari Kemenag, Libur dan Cuti Banyak di Bulan Maret dan Mei
Baca juga: 10 Jabatan Strategis di Merangin Jambi Dibuka untuk Seleksi JPT 2025
Baca juga: Kerinci Jambi Dapat Puluhan Irigasi dari Pusat, Petani Rasakan Dampak Langsung
Baca juga: Mission Success! 4 Polisi Bongkar Jaringan Penculik Anak Makassar-Jambi dan Selamatkan Bilqis
Artikel ini telah tayang di Tribunnews.com dengan judul Putri Gus Dur Tolak Penganugerahan Pahlawan kepada Soeharto: Akui Korban Sebelum Gelar Diberikan,
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/jambi/foto/bank/originals/20251111-Alissa-Wahid-dan-Soeharto-soal-gelar-Pahlawan-Nasional.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.