Predator Anak di Kota Jambi
Predator Anak di Jambi, Luka Batin yang Tak Terlihat dan Upaya Pemulihan
Kasus predator anak yang kembali mencuat di Kota Jambi bukan hanya menjadi isu hukum dan sosial, tetapi juga menyisakan luka psikologis
Penulis: Syrillus Krisdianto | Editor: Nurlailis
TRIBUNJAMBI.COM, JAMBI – Kasus predator anak yang kembali mencuat di Kota Jambi bukan hanya menjadi isu hukum dan sosial, tetapi juga menyisakan luka psikologis mendalam bagi korban.
Menurut psikolog Jambi, Dessy Pramudiani, M.Psi, kejahatan seksual terhadap anak meninggalkan dampak jangka panjang yang memengaruhi emosi, kepercayaan diri, dan masa depan korban.
“Dampaknya bukan hanya pada fisik, tetapi jauh lebih dalam. Merusak perkembangan emosi, kepercayaan, dan masa depan anak sebagai korban,” katanya saat dihubungi Tribunjambi.com, pada Minggu (7/9/2025).
Baca juga: Breaking News Predator Anak di Pasir Putih Kota Jambi Ditangkap Polisi
Dessy menuturkan, dari perspektif psikologi, pelecehan seksual pada anak dapat memicu trauma psikologis jangka panjang.
“Biasanya, korban (anak) sering mengalami Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD) berupa mimpi buruk, kilas balik, dan ketakutan berlebihan,” tuturnya.
Selain PTSD, korban biasanya akan mengalami gangguan emosi.
“Gangguan tersebut berupa kecemasan, depresi, hingga perasaan bersalah yang salah tempat,” jelasnya.
Ketua HIMPSI Wilayah Jambi sekaligus Ketua Jurusan Psikologi FKIK Universitas Jambi itu menerangkan, korban akan mengalami kesulitan relasi sosial.
“Kesulitan tersebut berupa menurunnya kepercayaan pada oranug dewasa atau teman sebaya,” terangnya.
Baca juga: Orang Tua Korban Predator Anak di Jambi Kecewa Lapor Polresta, Disebut Belum Kategori Pencabulan
Penjelasan Secara Teoritis Psikologi
Dessy mengutip teori Erikson tentang perkembangan psikososial.
“Anak usia sekolah berada pada tahap industry vs inferiority, yaitu ditentang usia hingga 12 tahun,” katanya.
Dia menuturkan, saat anak menjadi korban kejahatan seksual, rasa percaya dirinya hancur.
“Dia bisa merasa rendah diri, gagal, dan sulit membangun kepercayaan sosial,” tuturnya.
Dessy juga mengutip teori trauma menurut Judith Herman, 1992. Teori itu juga menegaskan bahwa pengalaman traumatis yang melibatkan kekerasan interpersonal (seperti kekerasan seksual).
“Merusak rasa aman dasar anak, sebab dia akan kesulitan membedakan mana lingkungan aman dan mana yang berbahaya,” jelasnya.
Dia menerangkan, setiap luka fisik bisa sembuh dengan obat, namun berbeda dengan luka psikologis.
“Tetapi luka psikologis akibat kekerasan seksual membutuhkan cinta, dukungan, dan waktu yang panjang,”’terangnya.
Pemulihan Psikologis Korban Asusila
Dessy mengatakan, pemulihan korban tidak bisa hanya berfokus pada aspek medis atau hukum.
“Sebab pemulihan itu perlu pendekatan psikologis holistik,” katanya.
Dia mengutip kembali beberapa strategi pemulihan berbasis teori.
“Yang pertama, Tahap Stabilisasi menurut Herman, 1992. Korban perlu dipastikan dalam kondisi aman secara fisik dan psikologi. Sebab, dukungan keluarga menjadi kunci utama,” tuturnya.
Dia menjelaskan, melalui terapi Melalui terapi kognitif-perilaku (CBT) maupun play therapy, anak dibantu untuk mengekspresikan ketakutannya.
“Teori psikodinamik menyebutkan bahwa emosi tertekan harus disalurkan agar tidak berkembang menjadi gangguan psikologis,” jelasnya.
Dessy menerangkan, Dukungan lingkungan sekolah, komunitas, dan masyarakat sangat penting untuk mengurangi stigma.
“Korban dibantu membangun narasi hidup yang baru tanpa merasa identitasnya hancur oleh peristiwa tersebut. Sebab bukan sekadar korban, mereka adalah jiwa-jiwa kecil yang berhak pulih, berhak bahagia, dan berhak merasa aman kembali,” terangnya.
Tips Antisipasi terhadap Predator Seksual
Dessy memberikan tips terhadap predator seksual.
Menurutnya, pencegahan adalah langkah terpenting. Dari perspektif psikologi perkembangan dan teori ekologi Bronfenbrenner.
“Anak berkembang dalam lingkaran sistemik (keluarga, sekolah, masyarakat, media). Semua lingkungan ini perlu terlibat untuk melindungi anak,” katanya.
Dia menuturkan, ada lima langkah antisipasi terhadap hal tersebut.
“Yang pertama, edukasi sejak dini. Anak diajarkan konsep body autonomy (hak atas tubuhnya sendiri). Misalnya, mengenal ‘area pribadi’ yang tidak boleh disentuh orang lain,” tuturnya.
Langkah kedua, komunikasi terbuka di keluarga. Dessy menekankan pentingnya ikatan aman antara anak dan orang tua.
“Mengutip dari teori attachment Bowlby, anak yang merasa dekat dengan orang tuanya lebih berani bercerita ketika menghadapi ancaman,” jelasnya.
Dessy menerangkan, pengawasan lingkungan memiliki peran penting terkait hal itu.
“Sekolah, masjid, dan tempat ibadah harus memiliki SOP ketat agar anak tidak sendirian dengan orang dewasa yang bukan keluarganya,” terangnya.
Dia menambahkan, literasi digital dan sosial turut memiliki peran penting.
“Predator seksual sering memanfaatkan media sosial atau modus sederhana seperti iming-iming makanan. Orang tua perlu mengawasi aktivitas digital anak sekaligus melatih anak agar lebih waspada,” ujarnya.
Dia menegaskan, penindakan hukum yang tegas harus digalakkan terkait kasus tersebut.
“Efek jera bagi pelaku menjadi bagian dari proteksi psikologis masyarakat, sehingga menumbuhkan rasa aman,” tegasnya.
Pesan Dessy Untuk Masyarakat
Dessy menuturkan, kasus predator anak di Jambi adalah alarm keras bagi masyarakat.
“Dari sisi psikologi, luka yang dialami anak korban bukan hanya hari ini, tetapi bisa terbawa hingga dewasa bila tidak ditangani dengan tepat,” tuturnya.
Sehingga, pemulihan harus menyentuh hati anak, sementara pencegahan harus melibatkan seluruh ekosistem kehidupan mereka.
“Seperti kata tokoh psikologi perkembangan Urie Bronfenbrenner, Anak membutuhkan lingkungan yang konsisten, aman, dan penuh kasih sayang agar tumbuh sehat,” terangnya.
Sebab itu, menjaga anak dari predator seksual bukan hanya tugas orang tua, melainkan tanggung jawab kolektif.
“Keluarga, sekolah, masyarakat, bahkan negara. Karena masa depan mereka adalah masa depan kita semua.” Tegasnya.
Update berita Tribun Jambi di Google News
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/jambi/foto/bank/originals/Dosen-Psikologi-Universitas-Jambi-Dessy-Pramudiani5656.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.