Ketika pertama kali berangkat, kita sudah dikasih tahu kemungkinan yang akan terjadi. Jadi kayaknya, ya, sudah mengambil risiko saja. Sampai bicara begini tapi nanti kita disalatin kan, ya, sudah aman gitu.
Jadi kayaknya nggak usah nunggu di sini, di Jakarta juga bisa ketabrak bisa mati. Lebih kepada ikhlas saja.
Tapi untuk keputusan menjadi relawan ini kan sulit, ya, ibu, ya? Pihak keluarga sendiri gimana menanggapi ibu yang memutuskan menjadi relawan?
Saya jadi relawan itu dari tahun 2006, kebetulan ikut semua, hampir ikut kegiatan-kegiatan MER-C dari keluarga nggak pernah ada masalah malahan mendukung.
Malah kadang-kadang dulu waktu ibu saya masih hidup, ibu saya suka ngasih info. Saya kan memang nggak punya TV dan saya jarang sekali nonton TV. Jadi ibu saya bilang, di sana ada bencana, kamu nggak pergi.
Malah ibu saya yang tahu. Baru saya kontak MER-C, kemudian MER-C kasih tahu sedang persiapan.
Di momen apa yang membuat ibu akhirnya tergerak menjadi relawan?
Indonesia, gudang bencana, ya. Kalau nggak kita, siapa lagi. Kebetulan Allah kasih saya di bidang kesehatan. Di MER-C kita nyebutnya jihad profesi. Hanya itu yang bisa kita kasih. Untuk dana, untuk apa. Kami punya keterbatasan.
Tapi alhamdulillah kita diberikan profesi yang insyaAllah bisa bantu saudara-saudara kita itu. Ini juga saya, kadang-kadang sebenarnya nggak mau cerita gitu. Takut timbulnya antara ria atau apa. Karena yang kita lakukan tuh nggak separah apa yang dirasakan teman-teman kita bertahan di Gaza.
Orang Gaza itu bertahan dari mereka kecil sampai mereka dewasa. Itu tuh, kita tuh nggak ada apa-apanya. Jadi kalau keikhlasan, ya, ya, ikhlasan saja lah. (tribun network/reynas abdila)