WAWANCARA EKSKLUSIF

Kisah Ita Muswita di Jalur Gaza, Relawan MER-C, Seri I

Editor: Duanto AS
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Relawan Medis yang pernah bertugas di Gaza, Ita Muswita (kiri), melakukan sesi wawancara dengan host Tribun Network, Geok Mengwan (kanan), di Studio Tribun Network, Jalan Palmerah Selatan, Jakarta Pusat, Kamis (27/6).

KETUA Tim/Bidan dan Perawat Bedah MER-C, Ita Muswita, berbagi kisah selama menjadi bagi dari tenaga kesehatan (nakes) Indonesia yang ditugaskan di Gaza. Hal itu diceritakan dalam podcast di Gedung Tribun Network, Palmerah, Jakarta, Kamis (27/6).

Sejak minggu pertama Ramadan, Ita sudah bertugas di Gaza membantu persalinan di beberapa rumah sakit.

Baginya, tidak ada rasa kekhawatiran apabila harus mati sahid di medan pertempuran.

"Kebetulan Allah kasih saya di bidang kesehatan. Di MER-C kita nyebutnya jihad profesi. Hanya itu yang bisa kita kasih. Untuk dana, untuk apa. Kami punya keterbatasan," ucapnya.

Ita menyebut selama tugasnya di Gaza, suara ledakan bom dan rentetan tembakan selalu terdengar. Kondisi itu yang membuatnya tidak patah arang, karena warga di Palestina juga demikian. Mereka sehari-hari bertahan hidup dan tidak tahu kapan akan meninggal dengan cara seperti apa.

“Tapi alhamdulillah kita diberikan profesi yang insyaAllah bisa bantu saudara-saudara kita itu. Ini juga saya, kadang-kadang sebenarnya nggak mau cerita gitu. Takut timbulnya antara ria atau apa. Karena yang kita lakukan tuh nggak separah apa yang dirasakan teman-teman kita bertahan di Gaza,” imbuhnya.

Dia melihat orang-orang di Gaza ibertahan dari mereka kecil sampai mereka dewasa mempertahankan tanah mereka. Ita mengerti dirinya sedang belajar ikhlas dari perjalanan hidup. “Itu tuh, kita tuh nggak ada apa-apanya. Jadi kalau keikhlasan ya, ya ikhlasan saja lah di Jakarta pun kita bisa saja meninggal misalnya kecelakaan kan tidak ada yang tahu,” tuturnya.

Namun demikian, keluarganya dan orang tua mendukung penuh keputusan Ita yang memilih jalur menjadi relawan kemanusian di bidang kesehatan.

Simak wawancara Host Tribun Network, Geok Mengwan, dengan Ita Muswita:

Ibu Itamu Suwita ini adalah tenaga kerja medis, bidan dan perawat bedah Ketua Divisi Bantuan dan Logistik MER-C. Apa kabar, Bu?

Alhamdulillah baik

Jadi Ibu baru pulang dari Palestina Gaza, sudah berapa lama kembali ke Indonesia?

Saya pulang, kalau keluar dari Gaza ya, kurang lebih dua minggu yang lalu transit dulu di Jordan. Kebetulan transit itu sebenarnya bisa dua hari tapi kebetulan karena kami harus menemani satu orang dokter gigi yang belum dapat giliran masuk ke Gaza.

Oh, jadi setiap kali ada petugas media yang keluar dan ada yang masuk?

Ya, tapi nggak langsung misalnya hari ini keluar, besok masuk. Itu tergantung acc dari pemerintahan di dalam, otoritas yang berlaku.

Jadi Ibu tiba di Indonesia tanggal berapa?

Hari Sabtu (22/6) kemarin.

Kalau masuk di Gazanya sendiri sejak kapan, Bu?

Minggu pertama Ramadan, tanggal 18 Maret 2024.

Ada beberapa kloter dari MER-C, jadi Ibu kloter ke berapa?

Saya kloter pertama, kebetulan bersama 11 tim kloter pertama Tim TNT MER-C Indonesia.

Dari 11 tim itu apakah ada bidang-bidang tertentu?

Ada dokter spesialis bedah, ortopedi, dokter umum, ada bagian logistik, ada perawat, komplet satu tim.

Boleh diceritain seperti apa saja yang Ibu lakukan saat bertugas di sana sebagai perawat bedah?

Karena kami ditempatkan, jadi dalam satu tim. Saya sendiri dan dua teman saya yang perempuan di rumah sakit El Hilal El Mirati itu rumah sakit rujukan persalinan terbesar di Gaza.

Jadi karena posisi saat itu perang, pada saat posisi perang semua persalinan diarahkan ke rumah sakit itu. Kemudian ada teman kami di rumah sakit Anajar, kemudian satu lagi, public health center itu, PHC itu di KL Sultan. Saya dan teman-teman saya itu, minggu satu dan kedua saya di kamar bedah.

Minggu berikutnya sampai selesai masa dinas saya di situ, tujuh minggu, saya di ruang persalinan. Dan teman-teman tuh gantian. Dua perawat bergantian aja. Jadi mereka ikut membantu di persalinan, ikut di perawatan.

Untuk rumah sakit rujukan itu, sampai sekarang masih aman atau tidak, karena kan kita sempat tahu, ya, kalau beberapa rumah sakit dibombardir?

Kalau untuk El Mirati sekarang tetap beroperasi, tapi bukan rumah sakit rujukan lagi karena wilayah Rafah sudah mulai dikosongkan. Orang-orang bergerak ke Mawashi. Yang terakhir saya tinggal tuh di Mawashi. Jadi kita kan pertama datang tuh di KL Sultan.

Kemudian pindah ke Musabbeh. Dari Musabbeh ada bom lagi di samping, pas di samping guesthouse kami. Kami pindah lagi ke Mawashi, sekarang di tepi pantai.

Jadi tiga kali pindah, ya, Ibu, ya?

Ya, tiga kali pindah. Astagfirullahaladzim.

Berarti posisinya itu bom pada malam hari atau siang hari, lalu bagaimana ceritanya sampai akhirnya pindah?

Waktu itu Jumat tuh, saya ingat banget, teman-teman pulang salat. Kan di situ ada masjid dekat. Jadi teman-teman masjid di sana.

Paling jam tigalah setelah selesai Salat Jumat. Kebetulan saya lagi telepon sama officer kami yang di Jakarta. Bunyi bom seumur-umur saya baru tahu. Bom yang paling teriak selama ini kan, selama di sana. Dengar rentetan senjata apa semua itu terdengar jelas. Cuma nggak ngeliat gitu loh. Nah ini di samping guest house kami kaca-kaca semuanya hancur.

Ibu posisi di mana saat bom itu, apakah di dalam ruangan atau di mana?

Posisi saya itu di kamar pas di bawah hoarding. Kan kalau hoarding itu ada besinya tuh. Besinya itu nimpa saya dan nimpa kepala teman. Itu lumayan-lumayan tiga hari gitu bengkak.

Itu hari Jumat. Kejadiannya kurang lebih jam tiga atau setengah empat agak lupa saya. Langsung saat itu juga kita berkemas. Teman-teman pindah. Kebetulan kita memang sudah survei.

Kita jadi gini. Kita kan cepet tuh harus membaca situasi. Kalau mulai situasi udah mulai memanas. Artinya kita dengar serangan darat itu sudah jelas sekali. Kita nggak tahu di mana. Tapi karena setiap ada serangan darat kami hanya di guest house.

Itu aturan yang diberikan. Kita nggak boleh keluar setelah itu kami langsung observer guest house yang lain. Kita cari daerah yang aman. Jadi ada teman-teman itu cari guest house yang aman. Kira-kira kita harus declare daerah itu harus clean banget nih.

Jadi otoritas Israel, otoritas yang berlaku itu harus clear bahwa ini tidak boleh dibom. Aturannya sih begitu. Kenyataannya nggak juga. Yang kejadian Musabeh itu ya seharusnya sudah clear.

Akhirnya malam itu juga, sore itu juga kami pindah. Lumayan lokasinya kurang lebih, nggak pake macet, ya. Satu jam. Karena kita kan harus kayak orang pindahan rumah. Karena yang kita takutkan biasanya serangan pertama diikutin serang berikutnya.

Jadi kalau misalkan ada perpindahan dari relawan-relawan gitu, Israel tidak mau tahu?

Nggak mau tahu. Ya, kalau ya memang mereka mau bombardir daerah itu, ya, dibombardir saja. Sama halnya rumah sakit, rumah sakit juga gitu kan. Padahal rumah sakit adalah zona yang harusnya bersih. Nggak juga, kenyataannya rumah sakit kena.

Tapi ibu setelah pertama kali mendengar bom, ada khawatiran gitu ingin pulang atau ketakutan gitu kan? Gimana?

Ketika pertama kali berangkat, kita sudah dikasih tahu kemungkinan yang akan terjadi. Jadi kayaknya, ya, sudah mengambil risiko saja. Sampai bicara begini tapi nanti kita disalatin kan, ya, sudah aman gitu.
Jadi kayaknya nggak usah nunggu di sini, di Jakarta juga bisa ketabrak bisa mati. Lebih kepada ikhlas saja.

Tapi untuk keputusan menjadi relawan ini kan sulit, ya, ibu, ya? Pihak keluarga sendiri gimana menanggapi ibu yang memutuskan menjadi relawan?

Saya jadi relawan itu dari tahun 2006, kebetulan ikut semua, hampir ikut kegiatan-kegiatan MER-C dari keluarga nggak pernah ada masalah malahan mendukung.

Malah kadang-kadang dulu waktu ibu saya masih hidup, ibu saya suka ngasih info. Saya kan memang nggak punya TV dan saya jarang sekali nonton TV. Jadi ibu saya bilang, di sana ada bencana, kamu nggak pergi.

Malah ibu saya yang tahu. Baru saya kontak MER-C, kemudian MER-C kasih tahu sedang persiapan.

Di momen apa yang membuat ibu akhirnya tergerak menjadi relawan?

Indonesia, gudang bencana, ya. Kalau nggak kita, siapa lagi. Kebetulan Allah kasih saya di bidang kesehatan. Di MER-C kita nyebutnya jihad profesi. Hanya itu yang bisa kita kasih. Untuk dana, untuk apa. Kami punya keterbatasan.

Tapi alhamdulillah kita diberikan profesi yang insyaAllah bisa bantu saudara-saudara kita itu. Ini juga saya, kadang-kadang sebenarnya nggak mau cerita gitu. Takut timbulnya antara ria atau apa. Karena yang kita lakukan tuh nggak separah apa yang dirasakan teman-teman kita bertahan di Gaza.

Orang Gaza itu bertahan dari mereka kecil sampai mereka dewasa. Itu tuh, kita tuh nggak ada apa-apanya. Jadi kalau keikhlasan, ya, ya, ikhlasan saja lah. (tribun network/reynas abdila)

Berita Terkini