TRIBUNJAMBI.COM - Ronny Talapessy, Kuasa Hukum Richard Eliezer Pudihang Lumiu bahwa status justice collaborator kliennya sudah melalui tahapan yang panjang dan prosesnya sangat ketat.
Sehingga menurutnnya bahwa Jaksa Penuntut Umum (JPU) tidak mempertimbangkan status justice collaborator kliennya dalam memberikan tuntutan.
Pernyataan tersebut disebutkan Ronny menanggapi tuntutan jaksa yang menuntut Bharada E dengan pidana penjara selama 12 tahun.
Tuntutan tersebut dibacakan JPU di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada Rabu (18/1/2022) lalu.
Terkait itu Ronny Talapessy menyebutkan bahwa tuntutan tersebut tidak mempertimbangkan rasa keadilan.
Namun terkait pernyataan Jampidum yang menyebutkan bahwa Bharada E tidak layak sebagai justice collaborator juga ditanggapinya.
Dia mengatakan bahwa status tersebut disandang Richard Eliezer dengan telah melalui proses dan tahapan yang panjang.
"Kami mengkoreksi juga ya dalam hal ini kami melihat bahwa terkait dengan perkara ini Richard itu ditetapkan sebagai Justice collabilizer lewat tahapan yang sudah panjang," kata Ronny Talapessy.
Baca juga: Pakar Hukum Sebut Tuntutan Bharada E Sangat Kontroversi: Jaksa Lupa Richard Eliezer yang Mengungkap
"Dari awal lpsk mendampingi, mereka melakukan asesment ini prosesnya dengan sangat ketat dan panjang, Sehingga Richard mendapatkan status sebagai justice collaborator,"
"Dalam perkara ini kalau disampaikan bahwa dia tidak layak sebagai Justice menurut kami tidak tepat,"
"Karena di undang-undang perlindungan saksi dan korban sudah diatur juga terkait dengan tindak pidana lainnya, dimana mengancam dari jiwa dari si Justice collablator,"
Sehingga dengan dituntut 12 tahun tersebut tidak terasa seperti ada penghargaan buat justice collaborator.
"Tentunya kan kami dari tim penasihat hukum kan melihat seperti itu (B.harada E) kami sangat menyayangkan, kenapa, karena dalam proses persidangan kelihatan bahwa Richard Elizer kooperatif, kemudian fakta-fakta persidangan ini banyak keterangan Richard Racer yang membantu proses persidangan ini sehingga berproses berjalan lancar,"
Ronny Talapessy menyebutkan tidak ingin menerka-nerka terkait persepsi publik yang menyebutkan bahwa jaksa masuk angin dan tidak profesional.
Namun yang pasti dia akan menyampaikan perbedaan pandangan dengan jaksa dalam nota pembelaan nantinya.
"Tapi terkait dengan tuntutan kami hormatilah, kami hargai tapi hak kami ketika nanti kami menjawab dalam pledoi atau pembelaan tentunya pandangan-pandangan yang berbeda akan kita sampaikan,"
Baca juga: Respon Reza Hutabarat, Adik Brigadir Yosua Atas Tuntutan Putri dan Bharada E: Mendidih Darahku Bang
Tuntutan Bharada E Kontroversial
Pakar hukum pidana menanggapi tuntutan yang dibacakan Jaksa Penuntut Umum (JPU) terhadap terdakwa pembunuhan berencana Brigadir Yosua Hutabarat.
Menurut Jamin Ginting selaku pakar hukum menyebutkan bahwa tutntutan tersebut kontroversial.
Bahkan kontroversi itu terjadi ditengah masyarakat setelah mendengarkan tuntutan untuk Richard Eliezer Pudihang Lumiu alias Bharada E.
Sebab Bharada E berstatus sebagai justice collaborator.
"Ada tiga kontroversi sebenarnya yang bisa kita lihat dari semua tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU)," ujar Jamin Ginting.
Kontroversi pertama, tuntutan untuk Putri Candrawati.
"Kenapa tuntutan ini hanya dinyatakan sebagai orang yang membantu, nah ini harus dilihat dari konteks peran sertanya dia. Apakah dia sebagai directing mine yang memiliki kehendak terjadinya pembunuhan tersebut bersama sama dengan FS (Ferdy Sambo),"
Kata Jamin Ginting bahwa Ferdy Sambo sudah dinyatakan Jaksa dengan tuntutan seumur hidup karena dianggap sebagai aktor intelektual.
"Yang kedua adalah kontroversi terkait dengan kedudukan Richard Eliezer yang dituntut 12 tahun oleh JPU," tambahnya.
Baca juga: Jadi Eksekutor Pembunuhan Brigadir Yosua, Status JC Richard Eliezer Meringankan Tuntutan
JPU menuntut Bharada E karena dianggap sebagai orang yang melakukan tindak pidana. Bukan orang yang peran kecil.
"Tapi Jaksa Penuntut Umum lupa bahwa Richard Eliezer ini adalah orang yang mengungkapkan suatu tindak pidana tersebut,"
Sehingga bebas tugas penyidik dan penuntut umum lebih banyak dibantu oleh fakta fakta hukum dari Richard Eliezer.
"Bahkandalam dakwaan Jaksa Penuntut Umum dalam perhitungan saya 95 persen itu adalah keterangan yang disampaikan Richard Eliezer dalam persidangan,"
Sehingga dia menyayangkan pernyataan yang menyebutkan bahwa Richard Eliezer tidak pantas mendapatkan hukuman yang lebih ringan.
Sebelumnya Jampidum yang menyebutkan bahwa aktor utama tidak dapat dijadikan sebagai justice collaborator.
Selain itu tuntutan yang disampaikan jaksa tersebut sudah berdasarkan pertimbangan dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
Bahkan jika tidak ada pertimbangan tersebut maka tuntutan Richard Eliezer dapat dituntut lebih berat.
"Itu kalau konteksnya dia sebagai pelaku utama atau aktor intelektual atau directing mind, itu satu, itu bisa saja terjadi dan saya setuju," kata Jamin Ginting.
Namun Jamin mengatakan bahwa posisi Bharada E berbeda dalam mengungkap perkara tersebut.
"Satu, dia adalah pangkat terendah dibandingkan dengan orang yang menyuruh dia. Apakah ini jadi bahan pertimbangan enggak bagi mereka, sebenarnya dia melakukan ini atas perintah di bawah relasi kuasa,"
Kedua kata Jamin Ginting yakni yang harus diperhatikan apa yang dilakukan selama dalam persidangan.
Mulai dari ditahan diperlakukan sebagai JC, perlakuan pertanyaan-pertanyaannya itu beda sekali dilakukan JC, semua seakan-akan dilakukan seperti JC.
Baca juga: JPU: Ricky Melucuti Senjata Brigadir Yosua Atas Kehendak Putri Candrawati
"Tapi setelah selesai, akhir, dia diberikan hukuman yang jauh berbeda dengan orang-orang yang dalam memberi keterangan itu berbelit-belit dan tidak kooperatif itu dalam pemberatan," ujarnya dikutip dari Metrotvnews.
Sehingga menurutnya bahwa tuntutan 12 tahun pidana penjara ke Bharada E sangat kontroversial.
"Saya kira itu (tuntutan 12 tahun) sangat kontroversial, tidak memberikan rasa keadilan bagi orang yang mengungkapkan kejahatan ini," tandasnya.
Diketahui, Nofriansyah Yosua Hutabarat alias Brigadir Yosua menjadi korban pembunuhan berencana yang diotaki Ferdy Sambo pada 8 Juli 2022 lalu.
Brigadir Yosua tewas setelah dieksekusi di rumah dinas Ferdy Sambo, Duren Tiga, Jakarta Selatan.
Pembunuhan itu terjadi diyakini setelah Putri Candrawati bercerita kepada Ferdy Sambo karena terjadi pelecehan seksual di Magelang.
Ferdy Sambo saat itu merasa marah dan menyusun strategi untuk menghabisi nyawa dari Yosua.
Dalam perkara ini Ferdy Sambo, Putri Candrawati, Bripka Ricky Rizal alias Bripka RR, Kuwat Maruf dan Bharada Richard Eliezer alias Bharada didakwa melakukan pembunuhan berencana.
Kelima terdakwa didakwa melanggar pasal 340 subsidair Pasal 338 KUHP juncto Pasal 55 ayat 1 ke (1) KUHP dengan ancaman maksimal hukuman mati.
Tak hanya dalam kasus pembunuhan berencana Brigadir Yosua, khusus untuk Ferdy Sambo juga turut dijerat dalam kasus perintangan penyidikan atau obstruction of justice bersama Hendra Kurniawan, Agus Nurpatria, Chuck Putranto, Irfan Widianto, Arif Rahman Arifin, dan Baiquni Wibowo.
Para terdakwa disebut merusak atau menghilangkan barang bukti termasuk rekaman CCTV Komplek Polri, Duren Tiga.
Dalam dugaan kasus obstruction of justice tersebut mereka didakwa melanggar Pasal 49 juncto Pasal 33 subsidair Pasal 48 ayat (1) juncto Pasal 32 ayat (1) UU ITE Nomor 19 Tahun 2016 dan/atau dakwaan kedua pasal 233 KUHP subsidair Pasal 221 ayat (1) ke 2 KUHP juncto pasal 55 ayat 1 ke (1) KUHP.
Simak berita Tribunjambi.com lainnya di Google News
Baca juga: Arti Mimpi Potong Rambut Pendek, Bakal Ada Perubahan yang Lebih Baik
Baca juga: Ceuta 0-5 Barcelona: Blaugrana Mencapai Perempat Final Copa del Rey Dengan Nyaman
Baca juga: Gagasan Batik dan Perempuan yang Berdaya Jadi Sebuah Pameran Seni di Jambi
Baca juga: 9 Korban Pembunuhan di Bekasi Dibunuh Wowon Cs, Jenazah Dikubur di Rumah dan Ada Dibuang ke Laut