"Oh, ini cerita saya mulai ngelantur. Waktu itu kan begini.
Baca juga: Heboh, Warga Temukan Mayat Bayi Lagi Disantap Biawak, Terungkap Sosok Sang Ibu Kandungnya
Baca juga: Jadwal Liga Italia Nanti Malam, Ada AC Milan vs AS Roma, Prediksi Pertandingan hingga Prediksi Skor
Baca juga: Khawatir Terpapar Covid-19, Jadi Alasan Pengunduran Diri Komisioner KPU Kota Jambi
Baca juga: Kelurahan Lebak Bandung Terima CSR dari Toko Buku Gramedia dan Bantuan dari Dinas PPKB Kota Jambi
Baca juga: Pjs Gubernur Jambi Sebut lndonesia Menuju Negara Maju Tahun 2045, Ingatkan Pelajar SMA, SMK & MAN
Katanya jam lima sore sudah harus kumpul di asrama Kramat " jelas Kwee Thiam Hong
“Waktu itu datang dalam barisan pandu sambil menabuh genderang atau bagaimana?"
Mendengar kata menabuh genderang, Kwee Thiam Hong tertawa terbahak-bahak.
la mempunyai kenangan tersendiri tentang hal itu.
"Waktu itu kami datang sendiri-sendiri. Saya mengajak tiga teman, Ong Kay Siang, John Liaw Tjoan Hok dan Tjio Jin Kwie. Sayangnya mereka semua sudah meninggal. Waktu itu, rapatnya dibuka agak telat lantaran harus ada izin dari polisi. Tapi untunglah intelijen lah yang datang."
"Ketika Pak Budiman sampai. sudah banyak yang datang?"
"Lumayan! Ada sekitar lima ratus orang.
"Kok banyak banget? Kan gedungnya kecil?"
"Ya, memang banyak. Gedung itu jadi penuh dan sebagian ada di luarnya. Tapi saya bisa masuk. Ha, ha, ha!" ujarnya.
"Masih ingat bagaimana ketika Sugondo membacakan ikrar itu?"
"Masih!" Pak Budiman menjawab tegas dan mengangguk dalam-dalam.
"Waktu itu sudah malam. Sugondo membacakannya dengan khidmat. Semua berdiri kecuali yang dari P.I.D. Itu, dinas intelijennya Belanda. Malam itu, Supratman juga memainkan lagu Indonesia Raya dengan violnya. Aduh, dengar lagu itu, hati ini bukan main dah," kata Kwee Thiam Hong sambil memegang dada. Suaranya bergetar dan matanya berkaca-kaca.
"Cuma itu waktu, lagunya agak beda dengan yang sekarang."
Sampai di sini, raut muka Kwee Thiam Hong berubah.