Fadli Zon Tegaskan Mahasiswa dan Pelajar Berhak Demo dan Bebas Intervensi

Editor: Rohmayana
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Tangkap Layar YouTube ILC Fadli Zon di ILC

TRIBUNJAMBI.COM, JAKARTA -  Setelah disahkannya UU Cipta Kerja, tidak hanya para buruh yang melakukan aksi demo, tapi juga pelajar dan mahasiswa.

Aksi demonstrasi di berbagai daerah yang dilakukan oleh para mahasiswa dan pelajar pasca-pengesahan RUU Cipta Kerja telah diberi stigma buruk oleh pemerintah.

Padahal, demonstrasi bukanlah perbuatan kriminal atau bentuk kejahatan, melainkan hak konstitusional warga negara yang dijamin hukum dan konstitusi.

Hal tersebut disampaikan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia, Fadli Zon. 

Stigma buruk itu dibuktikannya lewat munculnya surat edaran Dirjen Pendidikan Tinggi bernomor 1035/E/KM/2020 yang meminta agar pimpinan perguruan tinggi mengimbau para mahasiswanya untuk tidak ikut serta dalam aksi demonstrasi menolak UU Cipta Kerja.

Selain itu adanya ancaman ‘blacklist’ Surat Keterangan Cukup Kelakuan (SKCK) dari pihak kepolisian kepada para pelajar yang ikut demonstrasi.

Baca juga: 10 Foto Seksi Nia Ramadhani Pakai Bikini di Pantai & Kolam Berenang, Istri Ardi Bakrie Tampil Cantik

Baca juga: Putra Amien Rais, Hanafi Rais Kecelakaan di Tol Cipali, alami Luka Berat

Baca juga: Ini Jenis Olahraga yang Tidak Berat dan Bisa Mengecilkan Lemak di Perut, Bisa Dilakukan di Rumah

Kedua hal tersebut menurutnya merupakan bentuk intimidasi yang menyalahi ketentuan dan melanggar prinsip-prinsip demokrasi bahkan hak azasi manusia (HAM).

"Berdemonstrasi, atau aksi mengeluarkan pendapat lainnya yang dilakukan secara damai bukanlah tindak pidana dan bukan pula suatu kejahatan," ungkap Fadli Zon dalam siaran tertulis pada Minggu (18/10/2020).

"Tak pantas kalau aparat pemerintah membuat stigmatisasi negatif kepada para pelaku aksi tadi, atau menakut-nakuti mereka dengan sejumlah ancaman hukum," tegasnya.

Baca juga: Sesumbar Aurel Hermansyah Sebut Atta Halilintar Tak Punya Mantan Pacar, Jangan Ngaku-ngaku!

Ditegaskannya, aparat Kepolisian tidak bisa dan tidak boleh melarang para pelajar ikut berdemonstrasi, karena memang tidak ada satu undang-undangpun yang melarangnya.

Sama seperti halnya warga negara lain yang telah dewasa, para pelajar juga memiliki hak konstitusional untuk menyampaikan pendapat di muka umum.

Anak-anak Boleh Ikut Unjuk Rasa

"Silakan baca di UU Perlindungan Anak, tidak ada larangan sebagaimana yang dikesankan oleh polisi," imbuh Fadli Zon.

Undang-undang lanjutnya, hanya melarang anak-anak itu dieksploitasi.

Kalau mereka dieksplotasi, seperti dibayar, atau sejenisnya, ini yang ditegaskannya dilarang oleh undang-undang.

Sehingga apabila ikut demonstrasi karena kesadarannya sendiri, aparat pemerintah tak boleh menghalang-halangi mereka.

"Pertanyaannya kemudian, apakah ketika anak-anak itu ikut demonstrasi menolak UU Cipta Kerja, mereka ikut atas kemauan sendiri, atau karena dieksploitasi oleh pihak lain?," tanya Fadli Zon.

"Saya kira para pelajar kita, terutama anak-anak SMA dan STM, bukanlah anak-anak kemarin sore," tambahnya.

Baca juga: Aktivis KAMI Dipertontonkan dan Diborgol Saat Jumpa Pers, Politisi PAN: Memperburuk Citra Polisi

Surat Edaran Dikti Layak Dikecam

Bahkan sejak zaman Belanda, para pelajar setingkat SMA sudah terlibat dalam berbagai aksi politik.

Begitu juga yang terjadi pada tahun 1966, atau 1998, para pelajar dengan kesadarannya sendiri sudah biasa turun ke jalan.

Pada usia itu, mereka memang sudah melek politik.

Jadi, kalau ada orang yang meragukan atau mengecilkan kesadaran politik anak-anak SMA dan STM, orang itu pastilah buta sejarah.

Kalau pelajar saja sejak dulu sudah biasa terlibat dalam aksi unjuk rasa, apalagi mahasiswa.

"Sehingga, saya cukup heran membaca surat edaran Dirjen Dikti kemarin. Surat semacam itu harus dikecam, karena merupakan bentuk intervensi terhadap hak-hak politik dan kewargaan yang dimiliki para mahasiswa," ungkap Fadli Zon.

Baca juga: Detik-detik Pernikahan Taqy Malik-Sherel Thalib Sore Ini, Salmafina Sunan Posting Ayat di Alkitab

Surat semacam itu ditegaskan Fadli Zon adalah preseden buruk.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, menurutnya, telah melanggar batas kewenangannya.

Perlu diketahui, berbeda dengan pelajar, para mahasiswa umumnya telah berusia lebih dari 17 tahun, sebuah usia yang dalam sistem perundang-undangan tak lagi dianggap sebagai anak-anak.

Pada usia itu, negara ditegaskannya telah memberi mereka hak pilih, serta sejumlah hak politik lainnya, termasuk kebebasan untuk berserikat dan berkumpul sebagaimana halnya warga negara senior lainnya.

Hak politik itu melekat pada para mahasiswa dalam statusnya sebagai warga negara, bukan dalam status kemahasiswaan mereka.

Sehingga, mengintervensi hak-hak politik kewargaan itu melalui status kemahasiswaan mereka, adalah bentuk tindakan sewenang-wenang, tidak arif, serta cenderung anti-demokrasi.

"Kalau saja Dirjen Dikti hanya memberikan imbauan agar pimpinan perguruan tinggi mengingatkan mahasiswanya untuk mematuhi protokol kesehatan dalam melaksanakan aktivitasnya sehari-hari, itu tidak apa-apa," jelas Fadli Zon.

"Imbauan itu memang harus mereka sampaikan. Tetapi, begitu masuk ke isu demonstrasi omnibus law Cipta Kerja, itu sudah ‘offside’," tegasnya.

Baca juga: Razia di Tebo, Seratusan Orang Terjaring Karena Tidak Memakai Masker

Begitu juga imbauan agar kampus melakukan sosialisasi UU Cipta Kerja.

Hal itu ditegaskannya merupakan bentuk intervensi terhadap kebebasan mimbar akademik di kampus.

"Imbauan semacam itu telah merendahkan martabat perguruan tinggi kita, seolah mereka adalah kaki tangan rezim yang tugasnya sekadar menjadi humas pemerintah. Padahal, perguruan tinggi seharusnya diposisikan sebagai cagar alam intelektualitas," jelas Fadli Zon.

Lagi pula, imbauan untuk mengkaji omnibus law adalah ajakan yang sangat basi.

Mestinya, ajakan itu disampaikan ketika UU Cipta Kerja sedang dibahas di parlemen, agar kampus bisa ikut mengkritisi dan memberi catatan.

"Kalau sudah disahkan, apa gunanya diberi catatan? Jadi, ajakan untuk mengkaji UU Cipta Kerja, menurut saya, mengandung sesat pikir," imbuhnya.

Baca juga: Razia di Tebo, Seratusan Orang Terjaring Karena Tidak Memakai Masker

Lebih lanjut ditegaskannya, demonstrasi adalah bentuk ekspresi politik dan hak kewargaan yang dijamin tegas oleh konstitusi.

Pemerintah, baik polisi atau Kemendikbud, tidak bisa menjadikan pandemi sebagai dalih untuk membatalkan hak yang dimiliki oleh para pelajar dan mahasiswa.

Sebab, apabila pemerintah saja percaya bisa mengatur lebih dari 100 juta orang pemegang hak pilih pada Pilkada 2020 untuk mematuhi protokol kesehatan, kenapa tak bisa mempercayai ratusan, atau ribuan pelajar dan mahasiswa bisa berdemo dengan memperhatikan protokol serupa.

"Saya berharap, polisi dan Kemendikbud seharusnya belajar menjadi pengayom," ungkap Fadli Zon.

"Kepada adik-adik pelajar dan mahasiswa, situasi saat ini memang dilematis. Saya paham, sikap diam akan cenderung dianggap sebagai persetujuan atas berbagai hal buruk yang saat ini tengah berlangsung. Namun, pandemi ini juga tidak bisa diabaikan," jelasnya.

"Tetap perhatikan protokol kesehatan saat sedang berada di jalanan untuk memperjuangkan hak-hak kewargaan yang telah dijamin oleh konstitusi kita," tutup Fadli Zon. (*)

Artikel ini telah tayang di Wartakotalive dengan judul Pelajar dan Mahasiswa Harus Tahu, Fadli Zon Tegaskan Mereka Berhak Demo dan Bebas Intervensi,


Berita Terkini