"Pertanyaannya kemudian, apakah ketika anak-anak itu ikut demonstrasi menolak UU Cipta Kerja, mereka ikut atas kemauan sendiri, atau karena dieksploitasi oleh pihak lain?," tanya Fadli Zon.
"Saya kira para pelajar kita, terutama anak-anak SMA dan STM, bukanlah anak-anak kemarin sore," tambahnya.
Baca juga: Aktivis KAMI Dipertontonkan dan Diborgol Saat Jumpa Pers, Politisi PAN: Memperburuk Citra Polisi
Surat Edaran Dikti Layak Dikecam
Bahkan sejak zaman Belanda, para pelajar setingkat SMA sudah terlibat dalam berbagai aksi politik.
Begitu juga yang terjadi pada tahun 1966, atau 1998, para pelajar dengan kesadarannya sendiri sudah biasa turun ke jalan.
Pada usia itu, mereka memang sudah melek politik.
Jadi, kalau ada orang yang meragukan atau mengecilkan kesadaran politik anak-anak SMA dan STM, orang itu pastilah buta sejarah.
Kalau pelajar saja sejak dulu sudah biasa terlibat dalam aksi unjuk rasa, apalagi mahasiswa.
"Sehingga, saya cukup heran membaca surat edaran Dirjen Dikti kemarin. Surat semacam itu harus dikecam, karena merupakan bentuk intervensi terhadap hak-hak politik dan kewargaan yang dimiliki para mahasiswa," ungkap Fadli Zon.
Baca juga: Detik-detik Pernikahan Taqy Malik-Sherel Thalib Sore Ini, Salmafina Sunan Posting Ayat di Alkitab
Surat semacam itu ditegaskan Fadli Zon adalah preseden buruk.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, menurutnya, telah melanggar batas kewenangannya.
Perlu diketahui, berbeda dengan pelajar, para mahasiswa umumnya telah berusia lebih dari 17 tahun, sebuah usia yang dalam sistem perundang-undangan tak lagi dianggap sebagai anak-anak.
Pada usia itu, negara ditegaskannya telah memberi mereka hak pilih, serta sejumlah hak politik lainnya, termasuk kebebasan untuk berserikat dan berkumpul sebagaimana halnya warga negara senior lainnya.
Hak politik itu melekat pada para mahasiswa dalam statusnya sebagai warga negara, bukan dalam status kemahasiswaan mereka.
Sehingga, mengintervensi hak-hak politik kewargaan itu melalui status kemahasiswaan mereka, adalah bentuk tindakan sewenang-wenang, tidak arif, serta cenderung anti-demokrasi.