Para murid tidak terlalu peduli dengan perkataan Yesus ini, bahkan mereka sibuk dengan pikiran masing-masing seraya berdiskusi siapa dari antara mereka yang paling besar. Demikian nanti ketika terjadi penangkapan Yesus, semua murid lari meninggalkan Yesus.
Semua peristiwa ini disikapi Yesus dengan arif, bijaksana, lemah lembut dan tetap mengendalikan diri. Sikap ini secara simbolis nampak dalam perilaku Yesus ketika memasuki Yerusalem dengan menunggangi keledai. Dia tidak menunggang kuda yang menjadi lambang kekuatan, kejayaan, wibawa dan keperkasaan. Yesus menggunakan tunggangan keledai yang muda, lemah, sulit dikendalikan.
Ini adalah gambaran peristiwa yang akan dihadapi oleh Yesus. Peristiwa itu adalah tuduhan palsu, penolakan, persekongkolan, vonis mati hingga penyiksaan dan penyaliban Yesus. Dalam semua peristiwa ini Yesus dapat mengendalikan diri dan tetap berpegang pada kehendak Bapa ketika berhadapan dengan kekuatan-kekuatan yang mencoba menjungkirbalikkan kebijaksanaan, kekuatan yang mencoba membatasi gerak Utusan Ilahi yang sedang datang ke Yerusalem.
Penginjil Matius mengajak kita untuk melihat kewibawaan Yesus yang nampak dalam sikapnya sebagai Tuhan yang lemah lembut. Dengan demikian nanti dalam mengikuti kisah penghinaan, penderitaan, penyalibannya kita tetap dapat melihat sisi Yesus yang anggun dan berwibawa itu.
Cerita ini mau mengatakan bahwa Yesus sanggup menyetir hal yang sukar. Maka jelas yang hendak dikatakan: ia orang yang penuh kearifan. Ia dapat menyatukan kejayaan dan kelemahlembutan, dua keutamaan yang sulit dibayangkan ada bersama pada diri orang yang sama.
Yesus tetap setia pada jalannya. Setia pada misinya. Misi-Nya adalah menampakkan wajah Allah yang berbelaskasih, lemah lembut, arif, bijaksana, menguasai diri. Dia setia dan taat kepada Dia yang mengutusNya, yaitu Allah Bapa.
Ketaatan dan Salib
Penderitaan dan salib yang digambarkan dalam kisah sengsara mau menunjukkan ketaatan manusia kepada Allah. Rupanya masih ada tokoh manusia, yakni Yesus dari Nazareth, yang sama seperti kita ini, mau taat secara penuh kepada Allah, hingga rela mati di kayu salib.
Penderitaan dan kematiannya adalah bukti ketaatan-Nya kepada Bapa. Dosa adalah ketidaktaatan kepada kehendak Bapa yang mengakibatkan manusia jauh dari Allah, tetapi ketaatan kepada Bapa yang ditunjukkan oleh Yesus kepada Allah memperdamaikan kembali manusia dengan Allah. Dan ini dilakukan oleh Yesus.
Dia yang datang dari Surga, diutus oleh Bapa, datang ke dunia, merangkul semua manusia untuk membawa manusia kembali kepada Bapa. Dialah wakil kita yang patuh dan taat kepada Allah. Dan ketaatan-Nya ini memperdamaikan kita manusia dengan Allah yang telah putus karena dosa Adam.
Orang boleh berharap bahwa kesaksian yang dibuat oleh Yesus ini diterima oleh Allah dan kebangkitan Yesus menjadi kesaksian Allah bagi manusia, sebagai penegasan bahwa harapan manusia terpenuhi.
Oleh karena itu, tidak ada alasan untuk meratapi penderitaan Yesus. Yang ada adalah alasan untuk mempercayai kisah sengsara ini sebagai khabar Gembira yang memberi harapan, yang menyelamatkan. Dia berhasil menyetir dan mengarahkan tunggangan yang sukar. Inilah kebesaran utusan ilahi yang dirayakan selama Minggu suci yang berpuncak pada Paskah.
(nat/tri bun-medan.com)
Artikel ini telah tayang di tribun-medan.com dengan judul Ini Renungan Jumat Agung dari Uskup Agung Medan Mgr Kornelius Sipayung,
Penulis: Natalin Sinaga
Editor: Juang Naibaho