TRIBUNJAMBI.COM, MEDAN - Umat Kristen di seluruh dunia akan memperingati hari wafatnya Yesus Kristus pada Jumat (10/4/2020).
Jika biasanya rangkaian ibadah seperti Kamis Putih, Jumat Agung, dan Paskah digelar di gereja, maka kali ini ibadah terpaksa dilaksanakan di rumah akibat wabah Corona.
Berbagai pihak, termasuk Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) Sumatera Utara telah meminta umat Kristen mematuhi instruksi pemerintah terkait upaya pencegahan virus corona.
Semua rangkaian ibadah Paskah, termasuk Jumat Agung, dilaksanakan di rumah masing-masing.
Inilah renungan Jumat Agung dari Uskup Agung Medan, Mgr. Kornelius Sipayung O.F.M. Cap.
Nama lain yang dipakai untuk sebutan hari kematian Yesus Kristus adalah Jumat Agung. Begitulah orang Kristen menyebut hari pada waktu orang Kristen di seluruh dunia memperingati hari wafatnya Sang Juruselamat manusia.
Jumat Agung sebenarnya ditempatkan dalam konteks Minggu Suci waktu satu minggu yang kita sebut dengan minggu hari-hari di mana Yesus mengalami sengsara dan wafat. Dalam minggu itu ada berbagai rangkaian kisah hari-hari terakhir hidup Yesus hingga wafat-Nya.
Kita sengaja melihat peristiwa ini secara menyeluruh agar kita semakin mamahami motif pembunuhan, keterlibatan tokoh yang membadankan kekuatan yang membatasi bahkan menolak kehadiran utusan Ilahi dan yang terutama bagaimana Yesus, sang utusan Ilahi menghadapi situasi sulit sebagai tanda ketaatanNya kepada kehendak Bapa.
Peristiwa Satu Minggu
Puncak peristiwa atau drama kematian itu berjalan sekitar satu minggu. Itu mulai dengan bagaimana Yesus memasuki Yerusalem sebelum perayaan Paskah orang Yahudi.
Kenangan akan peristiwa ini dirayakan secara liturgis pada Hari Minggu Palma (hari Minggu sebelum hari Jumat Agung) dalam mana diperingati kedatangan Yesus memasuki Yerusalem dan disambut oleh orang banyak dengan mengelu-elukanNya dengan daun Palem, orang menghamparkan pakaiannya di jalan dan kepada-Nya diserukan “Hosanna Putera Daud, terpujilah yang datang dalam nama Tuhan”.
Setelah peristiwa ini timbullah gonjang-ganjing dan reaksi para imam dan tua-tua orang Yahudi, yang merasa diri terancam dan kehilangan pengaruh setelah menyaksikan antusiasme orang banyak menyambut Yesus memasuki Yerusalem.
Sebagaimana diinformasikan kepada kita bahwa peristiwa itu terjadi sekitar Pesta Paskah orang Yahudi yang dirayakan setiap tahun di Yerusalem.
Yesus dan para murid-Nya juga mengadakan pesta paskah di sebuah rumah di Yerusalem. Pesta ini disebut kemudian dengan Perjamuan Malam Terakhir Yesus dengan para murid.
Peristiwa ini diperingati oleh Gereja secara liturgis dengan nama Perayaan Kamis Putih dalam mana dikenangkan perjamuan terakhir Yesus bersama para murid dan dilanjutkan dengan peristiwa Yesus berdoa di taman Getsemani.
Di taman Getsemani inilah Yesus ditangkap, kemudian dibawa pertama-tama ke Mahkamah Agama Yahudi. Dari Mahkamah Agama, Yesus dibawa ke Pengadilan Sipil, pengadilan di depan Pilatus. Wali Negeri ini cuci tangan dan menyerahkan Yesus kepada para pemimpin Agama untuk aksi penyaliban. Di kayu Salib Yesus mati dan kemudian dikuburkan.
Semua rentetan peristiwa dan adegan berdarah hingga pembunuhan ini justru terjadi pada Pesta Paskah Orang Yahudi, hari-hari penuh rakhmat dan kesempatan menyucikan diri dimana sebenarnya orang Jahudi datang ke Yerusalem untuk mengucapkan syukur kepada Allah, membawa persembahan sebagai ungkapan syukur, memohon bantuan Allah agar dapat menjalani tahun dengan baik.
Motif Pembunuhan
Mengapa Yesus yang adalah Utusan Ilahi, yang datang ke dunia mewartakan Kerajaan Allah, yang mengajak manusia bertobat, mengajarkan pesan-pesan Ilahi, menampakkan wajah Allah yang berbelas kasih lewat perbuatan menyembuhkan, membuat mukjizat bahkan membangkitkan orang mati (Lazarus) akhirnya mengalami nasib tragis disalibkan dan mati?
Jika kita perhatikan bacaan-bacaan harian Minggu sebelum hari Minggu Palma ini kita secara manusiawi mengerti mengapa peristiwa ini terjadi dengan Yesus.
Penginjil menghantar para pendengar untuk mengerti latar belakang peristiwa bersejarah ini. Rupanya peristiwa ini banyak dipicu oleh adanya ketegangan antara Yesus dengan tokoh agama.
Kehadiran Yesus yang adalah Utusan Ilahi ini menjadi ancaman bagi Pemuka agama Yahudi. Pemuka agama Yahudi itu adalah para imam, ahli-ahli Taurat, penatua-penatua agama.
Mereka ini sebenarnya panutan dalam hal keagamaan, dianggap sebagai orang yang dekat dengan Allah, orang suci dan seharusnya mereka inilah kekuatan yang memuluskan gerak Utusan Ilahi datang ke dunia.
Tetapi sering bahwa tokoh agama ini dianggap seperti orang yang munafik, membebani umat Allah dengan banyak peraturan. Para pemuka agama inilah pihak yang membadankan kekuatan-kekuatan yang hendak membatasi gerak utusan ilahi yang datang ke Yerusalem itu.
Aksi Profetis Yesus
Gerak Utusan Ilahi yang datang ke dunia nyata dalam aksi profetis Yesus Kristus. Dalam khotbah-khotbah dan pengajaran-Nya, Yesus diposisiskan oleh para pengarang Injil sebagai tokoh yang sungguh berwibawa.
Dia tidak hanya mengajarkan hukum dan aturan-aturan, tetapi mencoba menggali nilai dan roh dari setiap peraturan yang ada, kemudian menyadarkan pendengar akan pentingnya itu semua.
Sedemikian banyak orang kagum dengan pengajaran Yesus. Para pemimpin agama tadi, merasa diri kurang laku apalagi mereka ini dikritik oleh Yesus dengan perkataan, “Jika hidup keagamaanmu tidak lebih baik dari pada hidup keagamaan alhi-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, kamu tidak akam masuk dalam Kerajaan Sorga”.
Selain mengajar, Yesus juga membuat banyak aksi yang membuat mata orang melihat bahwa Utusan Ilahi sedang ada di antara mereka.
Yesus menyembuhkan orang lumpuh, mentahirkan orang kusta, memelekkan mata orang buta, dan sering terjadi bahwa peristiwa ini terjadi pada hari Sabat sehingga mengundang reaksi kritis dari para pemuka agama yang berpegang pada aturan bahwa manusia tidak boleh bekerja pada hari Sabat.
Semakin para pemuka agama itu mengkritik Yesus semakin tidak laku mereka di hadapan khalayak ramai. Situasi ini memicu ketegangan antara Yesus dengan pemuka agama.
Kehadiran Yesus sungguh menggelisahkan dan menjadi ancaman bagi para pemimpin agama ini. Sedemikian menggelisahkan maka mereka ini sering juga mengamat-amati Yesus sekedar mencari kesalahan, terutama kesalahan yang melanggar hukum Taurat.
Mereka sering mengajukan pertanyaan kepada Yesus atau kepada murid Yesus tentang komitmen Yesus akan hukum Taurat. Mereka sering menguji Yesus dengan pertanyaan dan persoalan yang menjerat.
Persekongkolan untuk Menyingkirkan
Para pemimpin agama yang merasa terancam kepentingannya mulai mengadakan persekongkolan.
Biasanya orang-orang yang sama-sama merasa terancam akan gampang bersatu dan sepakat untuk menyingkirkan ancaman yang bisa menghalangi kepentingannya.
Injil mengisahkan bagaimana dituturkan penolakan sekaligus komplotan kaum pemimpin elite Yahudi yang berencana mau membunuh Yesus.
Mereka makin bertekad bulat menyingkirkan Yesus karena ketakutan akan pengaruh Yesus yang semakin kuat dan meluas dengan tanda-tanda mukjijat yang dilakukan-Nya apalagi setelah membangkitkan Lazarus.
Bahaya besar untuk agama Yahudi jika orang banyak percaya dan mengikuti Yesus. Jika orang banyak mengikuti Yesus, akan menjadi persoalan besar untuk orang bangsa Yahudi, persoalan keberadaan sebagai bangsa yang melekat dengan agama. Maka mereka bersepakat bahwa Yesus harus disingkirkan. Tetapi dengan jalan apa?
Dalam diskusi para imam, mereka mencari-cari alasan untuk dapat menjerat Yesus. Kayapas, Imam Besar pada masa itu berkata: "Kamu tidak tahu apa-apa, dan kamu tidak insaf, bahwa lebih berguna bagimu jika satu orang mati untuk bangsa kita dari pada seluruh bangsa kita ini binasa" (Yoh 11:48-50).
Dengan pernyataan ini, Yesus mau dijadikan tumbal-korban dan dibunuh tentunya. Akhirnya ditemukanlah alasan itu yang sering kita sebut sebagai penistaan Agama. Alasan ini akan sangat manjur, hati pemeluk agama akan mendidih jika kesalahan seseorang dikait-kaitkan dengan penistaan agama.
Dan, terbukti dalam Mahkamah Agama, imam Besar Kayafas menuduh Yesus itu sebagai seorang yang menghujat Allah. Alasan ini cukup menjadi alasan untuk menyeret Yesus ke pengadilan sipil untuk dijatuhi hukuman mati.
Menjalani Kehendak Bapa
Yesus tahu apa yang akan terjadi dengan diriNya. Dia tahu bahwa diri-Nya akan ditolak oleh para pemimpin agama yang bersekongkol untuk menyingkirkan-Nya. Apa yang Dia ketahui ini disampaikannya kepada para murid-Nya.
Tiga kali dia memberitahukan ini kepada para murid-Nya “Anak manusia akan diserahkan kepada imam-imam kepala dan ahli-ahli taurat, dan mereka akan menjatuhi dia dengan hukuman mati”.
Para murid tidak terlalu peduli dengan perkataan Yesus ini, bahkan mereka sibuk dengan pikiran masing-masing seraya berdiskusi siapa dari antara mereka yang paling besar. Demikian nanti ketika terjadi penangkapan Yesus, semua murid lari meninggalkan Yesus.
Semua peristiwa ini disikapi Yesus dengan arif, bijaksana, lemah lembut dan tetap mengendalikan diri. Sikap ini secara simbolis nampak dalam perilaku Yesus ketika memasuki Yerusalem dengan menunggangi keledai. Dia tidak menunggang kuda yang menjadi lambang kekuatan, kejayaan, wibawa dan keperkasaan. Yesus menggunakan tunggangan keledai yang muda, lemah, sulit dikendalikan.
Ini adalah gambaran peristiwa yang akan dihadapi oleh Yesus. Peristiwa itu adalah tuduhan palsu, penolakan, persekongkolan, vonis mati hingga penyiksaan dan penyaliban Yesus. Dalam semua peristiwa ini Yesus dapat mengendalikan diri dan tetap berpegang pada kehendak Bapa ketika berhadapan dengan kekuatan-kekuatan yang mencoba menjungkirbalikkan kebijaksanaan, kekuatan yang mencoba membatasi gerak Utusan Ilahi yang sedang datang ke Yerusalem.
Penginjil Matius mengajak kita untuk melihat kewibawaan Yesus yang nampak dalam sikapnya sebagai Tuhan yang lemah lembut. Dengan demikian nanti dalam mengikuti kisah penghinaan, penderitaan, penyalibannya kita tetap dapat melihat sisi Yesus yang anggun dan berwibawa itu.
Cerita ini mau mengatakan bahwa Yesus sanggup menyetir hal yang sukar. Maka jelas yang hendak dikatakan: ia orang yang penuh kearifan. Ia dapat menyatukan kejayaan dan kelemahlembutan, dua keutamaan yang sulit dibayangkan ada bersama pada diri orang yang sama.
Yesus tetap setia pada jalannya. Setia pada misinya. Misi-Nya adalah menampakkan wajah Allah yang berbelaskasih, lemah lembut, arif, bijaksana, menguasai diri. Dia setia dan taat kepada Dia yang mengutusNya, yaitu Allah Bapa.
Ketaatan dan Salib
Penderitaan dan salib yang digambarkan dalam kisah sengsara mau menunjukkan ketaatan manusia kepada Allah. Rupanya masih ada tokoh manusia, yakni Yesus dari Nazareth, yang sama seperti kita ini, mau taat secara penuh kepada Allah, hingga rela mati di kayu salib.
Penderitaan dan kematiannya adalah bukti ketaatan-Nya kepada Bapa. Dosa adalah ketidaktaatan kepada kehendak Bapa yang mengakibatkan manusia jauh dari Allah, tetapi ketaatan kepada Bapa yang ditunjukkan oleh Yesus kepada Allah memperdamaikan kembali manusia dengan Allah. Dan ini dilakukan oleh Yesus.
Dia yang datang dari Surga, diutus oleh Bapa, datang ke dunia, merangkul semua manusia untuk membawa manusia kembali kepada Bapa. Dialah wakil kita yang patuh dan taat kepada Allah. Dan ketaatan-Nya ini memperdamaikan kita manusia dengan Allah yang telah putus karena dosa Adam.
Orang boleh berharap bahwa kesaksian yang dibuat oleh Yesus ini diterima oleh Allah dan kebangkitan Yesus menjadi kesaksian Allah bagi manusia, sebagai penegasan bahwa harapan manusia terpenuhi.
Oleh karena itu, tidak ada alasan untuk meratapi penderitaan Yesus. Yang ada adalah alasan untuk mempercayai kisah sengsara ini sebagai khabar Gembira yang memberi harapan, yang menyelamatkan. Dia berhasil menyetir dan mengarahkan tunggangan yang sukar. Inilah kebesaran utusan ilahi yang dirayakan selama Minggu suci yang berpuncak pada Paskah.
(nat/tri bun-medan.com)
Artikel ini telah tayang di tribun-medan.com dengan judul Ini Renungan Jumat Agung dari Uskup Agung Medan Mgr Kornelius Sipayung,
Penulis: Natalin Sinaga
Editor: Juang Naibaho