Berkat lindungan Allah subhanahu wa ta'ala beliau dapat menghindarkan diri. Tetapi para durjana itu masih sempat menembak anak bungsu beliau Adik Irma Suryani sehingga luka-luka berat dan beberapa hari kemudian meninggal.
Seorang di antara ajudan-ajudan beliau yang tanpa kecurigaan apa-apa keluar menemui mereka, mereka culik dan mereka bawa ke Lubang Buaya.
Dalam pada itu, sebelum mereka sampai ke rumah Pak Nas, dan melucuti pengawal beliau yang tidak menaruh kecurigaan, mereka telah mencoba pula melucuti pengawal Pak Leimena yang tinggalnya hanya dipisahkan satu rumah.
Seorang pengawal, Ajudan Inspektur Polisi (Anumerta) Karel Satsuitubun mengadakan perlawanan sampai ia gugur kena tembakan gerombolan. Jenazahnya ditinggalkan di pekarangan rumah Pak Leimena.
Para korban yang dibawa ke Lubang Buaya, yang masih hidup, mengalami penganiayaan dan penghinaan-penghinaan oleh segenap anggota gerombolan yang berkemah di sana termasuk beberapa ribu anggota Pemuda Rakyat, Gerwani dan Sobsi yang selama berbulan-bulan telah dilatih dan dipersiapkan di tempat itu.
Akhirnya mereka disudahi nyawanya dan dilemparkan ke dalam sumur tua lalu ditimbun dengan lumpur, sampah, dan daun-daunan.
Dalang-dalang dan lakon yang dipersiapkan
Lettu Dul Arief tidaklah bergerak sendiri. Ia didalangi oleh sesuatu kekuatan gelap yang telah beberapa lama menantikan saat untuk memainkan lakon yang kita persaksikan pada tanggal 1 Oktober 1965 itu.
Adapun persiapan-persiapan khusus terakhir bagi pelaksanaannya dibicarakan dalam serangkaian rapat gelap yang mempertemukan tokoh-tokoh utama daripada petuangan itu.
Tokoh-tokoh itu terdiri atas dua golongan, yakni golongan “pembina” dan golongan yang dibina.
Para “pembina" terdiri atas petugas-petugas PKI, sedangkan yang dibina (dalam hal ini) adalah perwira-perwira ABRI.
Yang dibina tidak selalu saling mengenal selaku orang-orang yang se-ideologi ; untuk keperluan-keperluan khusus kadang-kadang mereka dipertemukan oleh para pembinanya.
Demikianlah, Untung diberitahu oleh pembinanya yang bernama Sujono, bahwa pada tanggal 3 September akan ada rapat di mana ia akan diperkenalkan dengan (eks) Kolonel Latief, Komandan Brigade I Infantesri/Jayakarta, (eks) Major Udara Sujono, Komandan Resimen Pasukan Pengawal Pangkalan (P3) PAU Halim.
Rapat pada tanggal 3 September 1965 itu merupakan rapat pertama untuk merupakan persiapan terakhir bagi gerakan 1 Oktober 1965.
Yang hadir dari pihak “pembina" adalah: Sam dan Supono (yang menurut eks- Kolonel Latief adalah “pengawal” D.N. Aidit), sedang dari pihak yang dibina adalah: Latief, Untung, Sujono dan tuan rumah (eks) Kapten Wahyudi.
Dalam rapat itu Sam memberi briefing mengenai adanya “Dewan Jenderal” yang dipimpin oleh Jenderal Nasution dan Jenderal Yani yang merencanakan suatu kup.
Sam meminta supaya para perwira yang hadir merencanakan sesuatu guna menghalangi rencana “Dewan Jenderal” tersebut.
Rapat yang paling penting karena meletakkan dasar-dasar daripada “G-30-S" adalah rapat tanggal 19 September 1965 bertempat di rumah (eks) Kolonel Latief di Cawang.
Pada rapat itulah Sam menunjuk Untung selaku “pemimpin” daripada “G-30-S".
Ketentuan-ketentuan yang khusus mengenai pencetusan “G-30-S" dilakukan pada dua rapat terakhir.
Pada rapat tanggal 29 September di rumah Sam, tokoh PKI itu memutuskan bahwa komplotan mereka diberi nama “Gerakan 30 September" dan bahwa Hari-H jatuh pada malam keesokan harinya, meskipun Jam-J akan jatuh pada dinihari tanggal 1 Oktober.
Dalam pada itu dalam beberapa rapat sebelumnya kepada (eks) Kolonel Latief telah ditugaskan untuk menyusun rencana operasi.
Menurut rencananya, operasi diberi nama Operasi Takari dan dibagi atas 3 komando:
1. Komando Penculikan dan Penyergapan yang dipimpin oleh Dul Arief dari Cakrabirawa; 2. Komando Penguasaan Kota yang dipimpin oleh (eks) Kapten Suradi dari Brigade I Infanteri/Jayakarta dan 3. Komando Basis yang dipimpin oleh (eks) Major Udara Gatot Sukresno.
Ketiga komando itu bertanggung jawab kepada Central Comando atau Cenco.
Pada tanggal 30 September pagi diadakan rapat terakhir di Lubang Buaya. Yang hadir adalah (eks) Brigadir Jenderal Suparjo, Latief, Sujono, (eks) Mayor Bambang Supeno (Dan Yon 530 Para), Gatot Sukresno, (eks) Kapten Kuncoro (Wadan Yon 454 Para), Suradi, Dul Arief, Sugito dan dua orang sipil yang tidak dikenal.
Keputusan-keputusan yang terpenting adalah:
1. Hari-H adalah, tanggal 1 Oktober dan Jam-J adalah jam 04.00.
2. Nama samaran bagi masing-masing komando adalah:
a. Pasopati buat komando Dul Arief;
b. Bimasakti buat komando Suradi
c. Gatotkaca buat komando Gatot Sukresno.
3. Jakarta dibagi atas 6 sektor, yakni:
a. Sektor I (sekitar istana)
b. Sektor II (Jatinegara)
c. Sektor III (Priok)
d. Sektor IV (Kota)
e. Sektor V (Dukuh Atas-Semanggi)
f. Sektor VI (Kebayoran Baru).
Perkembangan selanjutnya
Ketika pasukan Pasopati di bawah pimpinan Dul Arief melaksanakan tugas mautnya, para benggolan “G-30-S" baik “pembina"-nya maupun yang dibina terus berkumpul, mula-mula di Lubang Buaya dan kemudian ke gedung film Perusahaan Negara Areal Survei (PENAS) di Jakarta Bypass.
Di sanalah diputuskan untuk mengirimkan delegasi kepada Presiden yang terdiri atas Suparjo, Latief, (eks) Kolonel Udara Heru Atmojo, (eks) Major Sukirno (Dan Yon 454 Para) dan (eks) Mayor Bambang Supeno (Dan Yon 530 Para).
Pada waktu itu pula Sam mengajukan draft pengumuman bagian penerangan “G-30-S" yang sudah sama kita kenal.
Setelah disetujui oleh semuanya, naskah itu dikirimkan kepada (eks) Kapten Suradi di RRI untuk disiarkan.
Siarannya jadi dilakukan pada jam 07.20. Kemudian “delegasi" berangkat ke istana, meskipun mula-mula diputuskan bahwa mereka akan berangkat pada jam 06.00 sesudah ada laporan dari Dul Arief mengenai misinya.
Tetapi karena Dul Arief sampai jam itu belum juga datang, telah diputuskan supaya “delegasi" toh berangkat saja.
Baru pada jam 08.00 Dul Arief tiba untuk menyampailkan laporan bahwa semua tugas “terlaksana dengan baik".
Tak lama sesudah laporan itu Sam menjodorkan konsep “Dekrit Pertama" mengenai pendemisioneran Kabinet Dwikora dan penentuah Letnan Kolonel selaku pangkat tertinggi di dalam ABRI.
Konsep itu belum sempat dibahas karena rombongan pindah ke PAU Halim.
Tak lama sesudah itu “delegasi” tiba dari istana dengan tangan hampa. Presiden tidak ada di istana.
Lagipula dari posko istana diperoleh kabar bahwa Jenderal Nasution telah lolos. Seketika itu juga Sam mengatakan, bahwa Jenderal Nasution harus ditangkap.
Untung lalu memerintahkan supaya diambil tindakan-tindakan untuk menangkap Jenderal Nasution.
Siang itu beberapa di antara gembong-gembong “G-30-S" telah berhasil menghadap Presiden di sesuatu tempat di luar istana dan telah melaporkan mengenai tindakan terhadap para Jenderal.
Ketika kembali mereka berkata kepada Untung, bahwa Presiden telah mengangkat Men/Pangad sementara, yakni Major Jenderal Pranoto Reksosamodra.
Pada jam 15.00 sekali lagi Sam menjodorkan “Dekrit Dewan Revolusi" kepada Untung dll. Setelah ditelaah, “Dekrit" itu ditandatangani oleh Untung, Supardjo dan Heru selaku pimpinan “Dewan Revolusi". (Yang dua orang lagi, yakni Kolonel Laut Sunardi dan AKBP Anwas Tanumjaya tidak hadir).
Dokumen itu kemudian oleh (eks) Mayor Udara Suyono disuruh dibawa ke RRI untuk disiarkan.
Siang dan sore itu Presiden, yang telah berada di PAU Halim, memanggil beberapa pejabat tinggi negara, yakni Pak Leimena dan Men/Pangal Laksannana Madya E. Martadinata.
Kemudian datang Men/Pangak Irjen Pol. Sucipto Yudodiharjo yang naik pesawat dari Sukabumi. Ketiga pejabat itu menganjurkan kepada Presiden supaya pergi ke Bogor.
Dan pada jam 21.00 Presiden meninggalkan PAU Halim menuju Bogor dengan berkendaraan mobil dan disertai oleh Pak Leimena dan Pak Sucipto Yudodiharjo dengan kawalan satu peleton Cakrabirawa/Polisi dibawah pimpinan Komisaris Polisi Mangi.
Di sekitar tengah malam beliau tiba di Bogor dengan selamat.
ABRI beserta rakyat bangkit
Pada pagi hari tanggal 1 Oktober itu Major Jenderal Soeharto, Panglima Kostrad menerima informasi bahwa sesuatu yang serius telah terjadi.
Jenderal Yani dan beberapa pejabat tinggi Angkatan Darat telah diculik atau dibunuh oleh suatu gerombolan bersenjata.
Beliau segera berangkat menuju ke Markas Kostrad di Medan Merdeka Timur untuk menganalisa keadaan.
Beliau mengambil kesimpulan bahwa telah terjadi suatu pengkhianatan oleh sesuatu komplotan kontra-revolusioner.
Karena kenyataan bahwa dengan hilangnya Jenderal Yani selaku Men/Pangad terdapat vakum di lingkungan Angkatan Darat, sesuatu hal yang amat berbahaya, Pak Harto dengan advis dari beberapa perwira tinggi TNI memutuskan untuk memegang pimpinan Angkatan Darat sementara situasi belum jelas.
Setelah mengadakan kontak dengan Panglima Daerah Militer V/Jakarta, Pak Harto berpikir cepat dan bertindak cepat.
Pertama kali diusahakan untuk menetralisir pasukan-pasukan yang masih mengambil stelling di sekitai Medan Merdeka.
Pada jam 16.00, Yon 530 Para (minus satu kompi yang dibawa oleh Dul Arief) sudah menarik diri dari stelling dan dibawah pimpinan Wadan Yon Kapten Sukarbi melaporkan diri kepada Pak Harto.
Sayang sekali Yon 454 Para dapat terus disalahgunakan oleh “G-30-S" hingga mereka mengundurkan diri ke PAU Halim dan dicerai-beraikan disana oleh RPKAD.
Setelah tahap pertama selesai, Pak Harto segera menyusul dengan tahap kedua, yakni menduduki kembali gedung Pusat Telekamunikasi dan RRI.
Tugas itu diserahkan kepada RPKAD dengan konsinye: sedapat mungkin menghindarkan pertumpaban darah.
RPKAD dengan manuver yang jitu dalam waktu 20 menit saja telah berhasil menduduki kedua gedung itu tanpa melepaskan satu tembakan pun.
Dengan terlaksananya tahap kedua itu, Pak Harto segera melaksanakan tahap ketiga, yakni pada jam 20.00 berbicara di depan radio, menjelaskan kepada seluruh Rakyat Indonesia apa yang telah terjadi dan menerangkan tindakan-tindakan apa yang telah beliau ambil.
Dengan tegas “G-30-S" disebut gerakan kontra-revolusioner. Dengan serta-merta seluruh Rakyat merasa lega karena tahu duduk persoalan yang sesungguhnya dan tahu bahwa siaran-siaran “G-30-S" adalah siaran-siaran palsu.
Untuk memberikan pukulan maut kepada komplotan “G-30-S" Pak Harto kemudian melancarkan tahapan keempat.
Yakni merebut PAU Halim. Tugas itu dipercayakan kepada RPKAD dengan bantuan Yon 328 Para “Kudjang”/Siliwangi.
Tugas konsolidasi di dalam kota diserahkan kepada Kodam V/Jaya dengan bantuan KKO/AL dan BRIMOB/AKRI.
Tahapan keempat itu baru dilaksanakan keesokan harinya pada tanggal 2 Oktober, dan berhasil dengan baik dengan hanya makan seorang korban.
Dengan demikian selesailah sudah kisah petualangan “G-30-S" di ibukota. Caranya menyelesaikan dilakukan dengan gaya khas Pak Harto: tenang tapi tegas dan pasti, tahap yang satu disusul dengan tahap yang berikutnya di dalam urut-urutan yang serasi.
Itulah rangkaian peristiwa yang terjadi satu tahun yang lalu pada tanggal 1 Oktober. Marilah kita peringati dengan khidmat dan tekad bulat.
(Oleh Drs. Nugroho Notosusanto, mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada Kabinet Pembangunan IV. Seperti pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Oktober 1966)
Artikel ini telah tayang di intisari online
Subscribe Youtube
Pertempuran Brutal di Desa Mapu, Kopassus vs Pasukan Elite Inggris pada Bulan April, Musuh Hancur
Siapa Sebenarnya Tatang Koswara? Sniper Legendaris Kopassus, Bawa 50 Peluru 49 Tewas
Perwira Ini Bocorkan Rencana Penculikan Para Jenderal saat G30S PKI ke Soeharto, Malah Dipenjara
Ibu Tien Marah Besar, Soeharto Ketahuan Temui Ratna Dewi Soekarno Momen G 30S PKI
VIDEO: Mencekam Tengah Hari Macam Malam, Langit di Jambi Berubah Oranye Akibat Kebakaran Lahan