Kisah Sukses Taaruf Lewat Aplikasi Cari Jodoh Secara Syari, Ada yang Awalnya Asing dan Kaku Tapi

Editor: Nani Rachmaini
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Aplikasi jodoh muslim

"Tujuannya tidak ada foto, karena kami ingin memuliakan perempuan."

"Kami tidak ingin orang hanya menilai fisik saja. Tapi kan ada inner beauty atau inner handsome yang lebih penting," ujar Mirza.

Sama seperti Rumah Taaruf, kegagalan di aplikasi Taaruf Online biasa terjadi di tahap pertukaran biodata atau ketika melihat foto.

Selain itu, gagal juga biasa terjadi di pihak keluarga akhwat.

Kendati demikian, Mirza menampik anggapan taaruf seperti beli kucing dalam karung.

Ia mengatakan seperti halnya Tinder atau metode kencan lainnya, Taaruf memberi keleluasaan individu untuk memilih pasangan sesuai harapan, lalu memberi kesempatan untuk pendekatan yang tentunya sesuai syariat Islam.

Mirza dan kawan-kawan kini masih berusaha untuk mengenalkan konsep taaruf.

Menurutnya tak ada yang perlu ditakuti atau dikhawatirkan.

"Kalau pernikahan itu dimulai dengan cara yang baik, pasti hasilnya akan baik juga," kata dia.

Tren hijrah

Menariknya, pengguna aplikasi Taaruf Online banyak yang berasal dari kota metropolitan.

Selain Semarang yang jadi basis Taaruf Online, Jakarta Selatan menempati peringkat kedua kota dengan pengguna terbanyak, sebanyak 157 orang.

Menyusul kemudian Jakarta Timur, Bekasi, dan Bandung. Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Wahyudi Akmaliah menduga gerakan hijrah dan pasarnya tumbuh subur seiring dengan kebangkitan kelas menengah di perkotaan.

"Naiknya kelas menengah Indonesia dan adanya semacam kehausan untuk belajar agama, tetapi di sisi lain tidak mau terlibat dalam organisasi seperti Muhamamdiyah dan NU.

Ilustrasi taaruf online

Di sini faktor globalisasi di mana orang ingin kembali kepada agama menjadi suatu yang penting juga," ujar Wahyudi.

Menurut Wahyudi, banyak kelas menengah yang ingin belajar agama dan menjadikan agama sebagai solusi persoalan hidup.

Fenomena mendekatkan diri ke agama ini, kata Wahyudi, menciptakan pasar untuk berbagai kebutuhan hidup. Mulai dari pakaian, makanan, properti, hingga urusan jodoh.

"Saya menyebut fenomena ini sebagai Pop-Islamisme, di mana orang menggunakan medan budaya pop untuk ideologi islamisme mereka," kata Wahyudi.

"Di sini, tautan antara pasar yang membentuk identitas dan simbol-simbol mereka dengan agensi para ustaz online yang membentuk itu, dengan mengikuti pola perkembangan platform media sosial di internet," lanjutnya.

Bukan tak mungkin, sarana taaruf online akan tumbuh besar bersaing dengan Tinder dan aplikasi pencari jodoh sejenis.

Bagimu jodohmu, dan bagiku lah jodohku.

(Nibras Nada Nailufar)
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Taaruf di Dunia Maya, Saat "Mimin" Jadi “Mak Comblang”", .


Berita Terkini