Dekan Fakultas Keolahragaan Universitas Jambi, Pernah Tempuh 60 KM Setiap Hari untuk Bisa Kuliah
TRIBUNJAMBI.COM, JAMBI - Menjadi guru adalah cita-citanya sebelum menjadi mahasiswa. Keinginan untuk menjadi guru berubah ketika melihat profesi dosen lebih menyenangkan saat kuliah.
Adalah DR. DRS. Sukendro, M.KES., AIFO, yang saat ini menjadi Dekan Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Jambi.
Pria kelahiran Banda Aceh, 14 September 1965 ini menceritakan pada masa kuliahnya ditahun 1984 tidak diwajibkan untuk skripsi kalau tidak memiliki keinginan menjadi dosen.
Baca: Safari Ramadan, Prof Johni Najwan Sosialisasikan Kemajuan Unja, Beri Bantuan Masjid Ar-Raudhoh
Baca: Ajak Anak Panti Keliling Naik Moge, Komunitas Moge ROC Berbagi di Bulan Ramadhan
Baca: PASUKAN AS Melongo di Depan Matanya Denjaka Demo Menembak Berhadapan Pakai Peluru Tajam
“Dalam satu kelas ada 40 orang, dua orang yang ambil skripsi karena keinginan untuk menjadi dosen. Namun hanya saya sendiri yang akhirnya menjadi dosen,” ceritanya.
Ia merupakan alumnus IKIP atau yang sekarang bernama Unimed, lulus pada 1990. Sejalan dengan itu ada penerimaan beasiswa tunjangan ikatan dinas dengan syarat IP 2,75. Dulu ia mendapatkan IP 3,02.
Bukan hal mudah pada masa itu untuk mendapatkan IP 3. Sehingga ia mendapat beasiswa dan jadi PNS dosen dan ditempatkan di Jambi.
Baca: Buaya Pemangsa Manusia Ditangkap, Warga Berencana Belah Perut Buaya Tapi Ternyata
Baca: 3 Jembatan Penghubung di Kecamatan Seberang Kota, Tanjab Barat Rusak dan Butuh Perbaikan
Baca: Live di beIN Sports 2, Link Live Streaming Napoli vs Inter Milan, Berebut Tiket ke Liga Champions
“Sebenarnya waktu SMA suka melukis. Kalau tidak olahraga, aktivitasnya menggambar atau melukis. Namun karena saat kelas 3 SMA sudah melanglang buana menjadi atlet lari maka kuliah pun ambil FPOK. Dulu namanya fakultas pendidikan olahraga kesehatan (FPOK) program study pendidikan olahraga (penor),” ungkapnya.
Suami dari Hj. Suharni ini juga mengatakan bahwa dirinya anak satu-satunya yang kuliah dikeluarganya.
Ia merupakan anak terakhir dari 10 bersaudara dan ayahnya meninggal saat ia berusia 40 hari. Ibunya yang berprofesi sebagai pembantu rumah tangga lah yang menghidupinya beserta kakak-kakaknya.
Pada 1984 ia mengikuti kualifikasi PON di Padang dan mendapat 3 medali. Sebagai bonus ia mendapatkan Rp 35 ribu dan ia memiliki keinginan untuk kuliah.
“Tentu saja ibu saya bertanya siapa yang akan membiayai. Saya tidak minta biayai saya hanya minta restu. Uang Rp 35 ribu itu saya beli sepeda,” ceritanya.
Jarak dari rumahnya ke kampus pada saat itu adalah 15 km ditempuh dengan sepeda. Dalam sehari ia menempuh 60 km selama kuliah karena setelah pulang kuliah sore hari harus latihan lagi.
Baca: Ayo Raup Penghasilan dengan Jadi Reseller Pakaian Lebaran Bayi dan Anak, Koleksi Bee Bee Mart Jambi
Baca: Virus Cacar Monyet Merebak di Singapura,Pemprov Imbau Masyarakat Segera Lapor Jika Temukan Gejalanya
Baca: ISTRI Otaki Pembunuhan Suami, Bikin Laporan Palsu Kasus Curas, Bayar 2 Eksekutor Rp 10 Juta
Kegiatan selama kuliah benar-benar tercurah untuk latihan. Pada hari Sabtu ia mengajar dan Minggu kerja di pabrik sepatu. Pernah pula bulan puasa ikut berjualan. Itulah perjuangannya untuk bisa kuliah.
Ayah dari Putri Ayu Lestari dan Fitri Khairunnisa ini telah menerbitkan delapan buku olahraga dan yang terbaru adalah buku berjudul Menelisik Potensi Olahraga Suku Anak Dalam.