Nah, kemiripan warna baret ini sering juga menjadi masalah.
Para Anggota RPKAD berpendapat Tjakrabirawa tidak pantas memakai baret warna merah (yang untuk mendapatkannya saja perlu keringat dan darah dalam suatu seleksi pelatihan para komando yang sangat ketat).
Sebaliknya prajurit Tjakrabirawa pun selalu merasa paling penting karena kedudukannya sebagai pelindung langsung keselamatan Presiden Sukarno.
*
Usai insiden Lapangan Banteng terjadi. Jakarta belum mencapai tengah hari, saat Mayor Benny Moerdani (Komadan Batalyon 1 RPKAD) usai bermain tenis tengah berkendaraan jip menuju pulang ke Asrama Cijantung, Jakarta Timur.
Saat jip-nya melaju di pintu gerbang asrama, tiba-tiba beberapa truk tempur yang dipenuhi prajurit-prajurit RPKAD berpakaian sipil melaju kencang, berpapasan dengan mobilnya.
Sejenak Benny tertegun dan mengamati laju truk sampai menghilang di pertigaan jalan.
Ah, bukan anak-anak Yon 1, biarin aja deh, pikirnya.
Namun niat Benny untuk meneruskan laju kendaraannya masuk asrama terhenti, begitu beberapa saat kemudian seorang petugas piket menghampirinya dalam wajah panik.
“Lapor Pak, anak-anak Yon 2 keluar semua!”, teriak petugas piket itu .
Benny langsung menginjak rem. “Lho, emangnya ada apa?“
“Siap, tidak tahu, Pak. Mereka keluar tanpa izin!”
Sebagai seorang militer yang sudah makan asam garam, Benny langsung berpikir cepat: keluar asrama tanpa ijin sudah melanggar prosedur militer, pasti ada apa-apa.
Lantas tanpa pikir panjang, dia langsung memutar arah jip dan mengikuti konvoi tanpa izin itu dari kejauhan.
Baca: Misteri Abu Kematian Freddie Mercury Dirahasiakan Hingga Kini, Vokalis Queen yang Fenomenal
Baca: Kisah Unik dan Lucu, Ketika Presiden Soekarno Membeli Kutang di Amerika
Acuan gerakan pasukan tersebut bagi sang Mayor hanya satu: truk paling belakang. Lepas dari Jatinegara, Jakarta Timur, Benny semakin mencium sesuatu yang tidak beres: sepanjang jalan masyarakat terlihat sangat panik, sebagian berlarian, sebagian lagi bergerombol sambil menunjuk-nunjuk ke arah Pasar Senen.