Sebagai prajurit komando, situasi buruk dan mendesak merupakan santapan sehari-hari, sehingga walaupun dalam batin mengelak, mereka harus melaksanakan tugas dengan sebaik-baiknya.
Baca: Detik-detik Menjelang Kematian Soekarno, Bahasa Belanda ini Jadi Kata Terakhir ke Bung Hatta
Baca: Cuma Rp 20 Ribu untuk Menyantap Menu Lengkap di Buzz Cafe
Pagi hari tanggal 1 April 1958, Kompi Benny, yang kali ini hanya disertai 1 Kompi PGT diterbangkan menuju Medan.
Ketika mesin Dakota sudah bersiap untuk heading menuju landasan pacu, Lettu Fadhillah, Komandan Kompi B/RPKAD dan juga sahabat Benny nampak berlari menghampirinya.
"Ben, Benny! Tunggu!" Benny menoleh, tidak paham apa yang dikehendaki oleh sahabat sekaligus seniornya di Baret Merah itu.
"Sek yo, iki ambi. Pakai cincin saya biar kamu selamat!" Kata Fadhillah sambil mengacungkan sebentuk cincin ditangannya.
Sayup-sayup Benny mendengar penjelasan perwira komando asal Tegal itu bahwa cincin yang diberikannya merupakan hadiah dari seorang Kepala Suku Dayak di pedalaman Kalimantan, tempat ia pernah bertugas.
Dengan hati bimbang antara ya dan tidak, karena ia seorang penganut Katholik yang taat, Benny menerima pemberian seniornya itu.
Baca: Jelang Penutupan Asian Games, Jokowi Bertemu Jack Ma. Ini yang Dibahas
Baca: Peraih Medali Emas Ini Pun Ikutan Antre, Demi Mendapatkan Suvenir Asian Games 2018
Kini cincin "bertuah" itu melingkar dijari tangan kirinya. Diakhiri lambaian tangan, dua orang sahabat itupun berpisah.
Benny harus mengejar jadwal penerjunan agar serangan ke kota Medan tidak tertunda lagi, sedangkan Lettu Fadhillah memimpin pasukannya menyerbu Payakumbuh.
Ternyata pertemuan di Landasan Tanjung Pinang itu merupakan pertemuan terakhir mereka buat selamanya.
Tanggal 3 April 1958, dalam serangan komando untuk menduduki posisi pertahanan pasukan pemberontak di Desa Jegar, wilayah Lubuk Jambi, Riau Daratan, Lettu Fadhillah tertembak di tengah pertempuran, peluru 7.62 mengoyak perut perwira komando ini dan gugur seketika.
IKUTI KAMI DI INSTAGRAM: