Wawancara Ekslusif
Wawancara Ekslusif Tetua Kenali Asam Jambi di 'Zona Merah' Pertamina: Saya Siap Mati
Berikut petikan wawancara jurnalis Tribun Jambi, M Yon Rinaldi bersama tetua di kawasan Kenali, Suprayitno.
Penulis: M Yon Rinaldi | Editor: Mareza Sutan AJ
Polemik tumpang tindih sertifikat antara warga dan Pertamina belum menemukan titik terang. Kondisi ini melibatkan 5.500 sertifikat warga yang diklaim masuk zona merah.
Lalu bagaimana ceritanya warga bisa mendapatkan sertifikat tanah hal milik?
Berikut petikan wawancara jurnalis Tribun Jambi, M Yon Rinaldi bersama tetua di kawasan Kenali, Suprayitno.
Tribun: Bapak tinggal di sini sejak kapan?
Suprayitno: Saya tinggal di sini sejak dilahirkan, artinya Kenali Asam ini tumpah darah saya.
Jadi kalau di hitung-hitung sudah empat generasi kami tinggal di sini, sejak jaman nenek saya.
Orang tua saya dulunya juga karyawan Pertamina. Namun saat ini saya mendengar tempat tinggal saya ini masuk zona merah, setelah saya pelajari ternyata zona merah itu artinya tanah saya ini di anggap milik Pertamina.
Tribun: Dulu waktu nenek bapak tinggal di sini apa sudah ada Pertamina?
Suprayitno: Dulunya di sini perkebunan karet di masa penjajahan Belanda, kemudian timbul perusahaan minyak Belanda Bernama Niam. Sekitar tahun 1922.
Saya waktu itu belum lahir. Jadi saat ini saya kaget kok saat ini masuk zona merah. Setelah kemerdekaan kebun tersebut keluarga bapak kelola.
Setelah kemerdekaan kan semua perusahaan Belanda tersebut bubar semua. Jadi karena ada tanah kosong maka kita garap kawasan.
Tribun: Setelah itu, bagaimana bisa disertifikat?
Suprayitno: Saat itu kan, kita tidak tau tanah ini milik siapa, setelah itu datanglah Pertamina membuat sumur minyak di sini.
Tribun: Bagaimana Pemerintah mengeluarkan sertifikat untuk masyarakat di sini.
Suprayitno: Jadi gini, saya punya data; pada tahun 1967 Pertamina itu ditagih pajak oleh Pemerintah Batanghari (pajak PBB).
Kemudian dibalaslah oleh pimpinan Pertamina saat itu, jika mereka tidak bisa membayar seluruh tagihan pajak seluruhnya.
Yang bisa mereka bayar adalah, sumur-sumur yang masih produksi, kantor Pertamina, splatur, kemudian tiang listrik sepanjang area yang di gunakan, hingga lapagan Pertamina yang mereka gunakan.
Selebihnya dikembalikan ke negara. Itu bunyi surat balasan yang dibuat Pertamina.
Tribun: Setelah di kembalikan kepada negara gimana ceritanya?
Suprayitno: Setelah itu, pemerintah meminta warga yang menggarap tanahnya untuk membuat Sertifikat Hak Milik. Kala itu pemerintah (Kabupaten Batanghari) membentuk TIM A untuk mengukur area Pertamina.
Tim tersebut terdiri dari Pejabat pemerintah termasuk ABRI, Kejaksaan, Agraria (BPN), Dinas Pendapatan Daerah, Kejaksaan, Polisi dan Kepala Kampung.
Oleh TIM A menentukan beberapa persyaratan untuk biaya sertifikat dan berapa radius tanah yang bisa di sertifikati dari tanah Pertamina.
Berdasarkan data tersebut, pemerintah memberikan SHM-nya.
Setelah itu barulah warga mulai mendapatkan sertifikat ya, Pak? Berapa banyak yang membuat sertifikat saat itu.
Suprayitno: Banyak saat itu yang buat sertifikat. Jadi kalau yang diberitakan itu 5.500 sertifikat, saya yakin jumlahnya lebih banyak lagi.
Tribun: Tahun berapa pemerintah memberikan sertifikat?
Suprayitno: Tahun 1970 an, saat itu masih berada di bawah Kabupaten Batanghari, sepuluh tahun setelahnya kawasan ini masuk ke kawasan Kota Jambi.
Tribun: Apa saat itu pemerintah sangat pro-rakyat, Pak?
Suprayitno: Jadi dasarnya kan itu begini; ada surat dari pemerintah pusat, di mana tanah yang tidak digarap dikembalikan kepada pemerintah.
Jadi itulah dasar pemerintah memberikan tanah itu ke masyarakat. Itu zaman Suharto.
Tribun: Apa yang bapak rasakan saat ini, setelah 4 generasi tinggal di sini, kemudian tanah ini diklaim Pertamina?
Suprayitno: Kalau saya secara pribadi sangat menyayangkan sekali, dasarnya apa Pertamina mengkalim zona merah ini?
Jika memakai peta Jaman Belanda, berarti kita kembali ke zaman Belanda. Jika itu digunakan saya siap mati untuk melawan itu.
Jadi begini, jika masyakat memiliki sertifikat, berarti hak milik mereka. Maka ketika Pertamina mengkalim tersebut, maka kami sangat kecewa sekali dengan kebijakan ini.
Katanya kita negara merdeka, masak kembali ke zaman Belanda dengan kembali memakai peta zaman Belanda, ini artinya kami disuruh pernah lagi seperti zaman Belanda.
Karena jika peta tersebut kembali digunakan ya hancur semua, kami tentu akan kembali melakukan perlawanan.
Saya dengar juga wali kota kita sedang memperjuangkan hak kita, semoga membuahkan hasil ya.
Tribun: Pernah melihat peta zona merah tersebut?
Suprayitno: Sampai sekarang saya belum lihat petah itu.
Tribun: Ada tidak, Pertamina menyosialisasikan aset mereka?
Suprayitno: Belum ada sampai sekarang, saya juga yakin mereka juga gak tau gimana kondisi saat ini.
Tribun: Bapak pernah tidak, melihat Pertamina turun mengecek aset mereka?
Suprayitno: Tanpa harus saya jawab, Pertamina pasti merasa, yang mereka kunjungi itu hanya sumur yang masih produktif saja. Sumur yang sudah mati saya yakin mereka tidak tau.
Tribun: Jika Pertamina ngotot mengklaim ini tanah mereka, bagaimana, Pak?
Suprayitno: Berapapun besarannya ganti rugi saya gak mau, kami tidak mungkin beranjak dari rumah ini.
Tonton cuplikan wawancara ekslusif di sini:
(Tribunjambi.com/M Yon Rinaldi)
Baca juga: Wanita Paruh Baya di Jambi Koma setelah jadi Korban Tabrak Lari di Mayang Mangurai
Baca juga: Suami Istri Hilang Nyawa di Tangan Dukun Pengganda Uang yang Campur Sianida dalam Kopi
Baca juga: Eks Kades Terpidana Pembunuhan di Tebo yang Dapat Remisi juga Terjerat Korupsi Dana Desa
KISAH Zaid Siswa SMAN 2 Kota Jambi Jadi Paskibraka Nasional, Tahfiz Quran Jadi Pengibar di IKN |
![]() |
---|
Kisah Seorang Pengacara yang Kini Menjadi Pj Bupati Muaro Jambi |
![]() |
---|
Wansif Anggota KPU dan Pengamat Hukum Imbas Gugatan Partai Prima Pada Pemilu di Provinsi Jambi |
![]() |
---|
Serli Napitu, Pencipta Lagu untuk Brigadir Yosua, Akan Bikin Dua Lagu Lagi |
![]() |
---|
Anwar Sadat Bicara Potensi Pertanian di Tanjab Barat Hingga Wajah Baru Pariwisata |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.